Perahu yang Fasya dan Adnan naiki perlahan mulai menepi. Dari jauh, mereka bisa melihat kakek dan semua anggota keluarga yang lain mulai berdatangan. Dahi Fasya berkerut melihat itu. Kenapa semua orang berkumpul di danau? "Oke, acara dimulai," ucap Adnan menarik napas dalam. "Acara apa?" "Kamu bakal tau sendiri nanti." Fasya merubah ekspresi wajah penasarannya dengan senyuman saat kakek mulai mendekat. Pria itu tersenyum melihat Fasya dan Adnan yang menghabiskan waktu berdua. Dari jauh kakek sudah melihat mereka yang tengah menaiki perahu berdua. Saat tahu jika Adnan dan Fasya tidak tidur satu ranjang, ada rasa sakit di hatinya. Namun ketika melihat interaksi keduanya sekarang, rasa pesimis itu berangsur berkurang. Adnan adalah tipe pria yang sulit untuk didekati. Dia terbiasa acuh tak acuh pada semua orang yang tidak berhubungan dengannya. Namun dengan Fasya dia menjadi pribadi yang berbeda. Mungkin untuk saat ini masih belum ada perasaan di hati mereka, tetapi suatu h
Sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk, Adnan duduk di ujung kasur. Dia membuka ponselnya dan menghela napas kasar saat tidak melihat ada satu pun notifikasi dari Kinan. Baiklah, sebagai seorang pria seharusnya Adnan yang memberi kabar, tetapi tak ada salahnya bukan jika wanita yang lebih dulu menghubungi? Adnan tak ingin pikir panjang. Dia sudah tahu bagaimana sifat Kinan yang jauh dari kata romantis. Ia akui jika dirinya sendiri juga bukan pria yang romantis. Namun Kinan berbeda, dia tidak seperti wanita pada umumnya yang bersikap manja dan selalu ingin diperhatikan. Sebenarnya itu juga yang membuat Adnan tertarik. Dia tidak suka direpotkan, tetapi ada saatnya dia ingin memiliki seseorang yang bergantung padanya. Suara dering ponsel membuat Adnan mengalihkan pandangannya. Dia melirik ponsel Fasya yang tengah mengisi daya. Dia melirik kamar mandi sebentar dan mendengar air yang masih mengalir. Gadis itu masih membersihkan diri setelah berenang mendadak di danau. Adn
Malam terakhir di puncak membuat perasaan Adnan sedikit lega. Akhirnya sebentar lagi dia bisa bebas dan tak lagi berpura-pura. Adnan tahu jika dia kadang bertingkah menyebalkan pada semua orang, tetapi Adnan tidak bisa menahannya. Sulit baginya untuk berpura-pura baik-baik saja di saat keadaan tidaklah baik-baik saja. Dibalik semua yang ia miliki, Adnan sadar akan kekurangannya. Dia terbiasa sendiri sehingga sulit untuk membuka diri. Mungkin itu yang membuat Rina, sepupu terkecilnya memanggilnya zombie. Namun ada satu hal yang pasti, Adnan tidak membenci keluarganya, kecuali Denis dan Tante Sarah tentu saja. Dia hanya sulit untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Adnan menutup kopernya saat baju terakhir sudah ia masukkan. Dia berdiri dan melihat ke arah ranjang. Tak heran jika dia tidak mendengar apapun sedari tadi, ternyata Fasya sudah masuk ke dalam alam mimpi. Adnan menghampiri tempat tidur dan menggaruk lehernya pelan. Melihat Fasya yang sudah tidur lelap tak mungkin jik
Keadaan ruang tamu yang hening membuat suasana menjadi canggung. Baik Adnan dan Kinan belum ada yang membuka suara sedari tadi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing dan kemungkinan yang akan terjadi nanti. Terkejut? Tentu saja, baik Adnan dan Kinan tidak pernah berpikir akan berada di situasi seperti ini. "Jadi?" tanya Kinan sambil melihat jam tangannya. Masih ada waktu untuk jam istirahatnya sebelum kembali ke kantor. "Aku bisa jelasin semuanya." "Oke, jelasin sekarang." Kinan menatap mata Adnan lekat. Dia tidak melihat ada rasa gugup ataupun bingung di wajah Adnan. Pria itu sangat pintar untuk menyembunyikan ekspresinya. "Apa yang mau kamu tau?" Kinan menghela napas kasar, "Semuanya, Adnan. Semuanya." Adnan menggaruk alisnya dan mulai berpikir. Tidak ada jalan lain selain berkata jujur. Dia hanya perlu menggunakan kata yang lebih halus agar Kinan tidak marah. Beruntung Fasya bisa diajak kerja sama dan memilih diam dan mengurung diri di kamar. Biar dia y
Tempat tidur yang empuk tidak lagi membuat Fasya tertarik. Setelah masuk ke dalam kamar, dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa empuk yang membuat tubuhnya sedikit tenggelem. Fasya meraih bantal kecil dan menutup mulutnya sebelum akhirnya berteriak keras untuk meluapkan kekesalannya. Deru napas yang tidak beraturan membuat Fasya mulai memejamkan mata untuk mengatur emosinya. Entah kenapa hari ini begitu melelahkan untuknya dan semua orang juga kompak membuatnya kesal. Fasya tahu jika tidak sepantasnya dia mengeluh, tetapi dia benar-benar merasa lelah. Lelah dengan semua drama yang ada di hidupnya. Jika sedang terpuruk seperti ini pertanyaan Fasya hanya satu. Kapan semuanya akan berakhir? Fasya pikir dia akan tenang setelah pulang ke rumah, ternyata harapannya sia-sia saat melihat Kinan yang juga berada di rumah ini. Fasya tahu bukan tanpa alasan wanita itu berada di sini. Setelah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Adnan, Kinan mulai berubah. Bahkan Fasya merasa jika
Pukul delapan malam, Adnan dan Fasya sudah sampai di rumah sakit. Napas mereka terengah karena harus berlarian di lorong rumah sakit agar bisa segera sampai. Saat ini baik Adnan dan Fasya tengah dilanda kepanikan. Jatuh di kamar mandi bukanlah pertanda baik. Mereka tidak bisa tenang sebelum melihat keadaan Kakek Faris secara langsung. Adnan membuka pintu kamar dengan tergesa. Apa yang ia lakukan membuat suara tawa dari dalam ruangan terhenti. Semua orang menatap kedatangan Adnan dan Fasya dengan bingung, apalagi ditambah wajah panik mereka. "Kakek?" Adnan mendekat dan melihat keadaan Kakek Faris lebih dekat. "Kakek nggak apa-apa?" Kali ini Fasya yang bertanya dengan khawatir. Kakek Faris tersenyum dan menyentuh bahu Adnan dan Fasya bersamaan. "Kakek udah nggak apa-apa sekarang, tadi emang agak pusing makanya bisa jatuh di kamar mandi." "Darah kakek sempet naik tadi," lanjut Niko. "Kakek mikirin apa?" tanya Fasya sedih. "Nggak mikirin apa-apa. Salah makan kayaknya."
Sikap seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Perubahan itu bisa menimbulkan tanda tanya besar di kepala. Terutama untuk orang terdekat yang hampir setiap hari berjumpa. Itu yang Adnan rasakan saat ini. Sambil memasang dasi, dia melirik Fasya dari pantulan cermin. Gadis itu tengah merias wajahnya di atas tempat tidur, tempat yang jauh dari dirinya saat ini. Otak Adnan tengah berpikir keras sekarang. Tak biasanya gadis itu menjadi pendiam seperti ini. Biasanya ada saja tingkahnya yang membuat Adnan kesal. Jika memang sedang diam pun, bukan wajah kaku dan datar yang Fasya tunjukkan. Apa yang Fasya lakukan sedikit mengganggu Adnan. Tidak, bukan karena kemarahan Fasya. Adnan hanya takut jika kakeknya menyadari sikap Fasya yang mendadak berubah. Sebisa mungkin Adnan harus menjaga keharmonisan rumah tangannya di depan kakek. Setelah selesai merapikan diri, Adnan memilih untuk duduk di sofa. Dia tidak ke luar lebih dahulu dan memilih untuk menunggu Fasya. Entah apa yang ia pikirkan
Sambil memainkan kunci mobil, Adnan mulai memasuki rumahnya. Langit yang sudah gelap menandakan jika dia pulang terlambat hari ini. Bukan karena sibuk, melainkan dia harus membeli sesuatu untuk Fasya. Entah apa yang dipikirkan Adnan saat ini tetapi diamnya Fasya sedikit mengganggunya. Dia sudah terbiasa berdebat dengan gadis itu setiap harinya. Aneh memang, tetapi itu yang Adnan rasakan saat ini. Adnan bukanlah tipe pria yang romantis, tetapi sejauh yang ia tahu wanita akan senang jika diberi barang-barang yang mahal. Oleh karena itu dia membeli sebuah tas yang sepertinya cocok untuk Fasya. Bukan perhatian, tetapi Adnan bermaksud untuk membuat Fasya kembali berbicara padanya. Setidaknya memberi tahu kesalahannya yang membuatnya diam 1000 bahasa seperti ini. "Kenapa baru pulang?" tanya Kakek Faris yang baru saja keluar kamar. Ia berpapasan dengan Adnan yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Beli titipan Fasya dulu, Kek. Kakek kenapa belum istirahat?" "Kakek nunggu kamu." A