Di ruang kerjanya, Adnan meremas ponselnya dengan kesal. Dia baru saja selesai mendapat telepon dari Om Adit. Pria itu membicarakan pernikahan Denis dan memintanya untuk ikut serta dalam pengukuran baju seragam. Terpaksa Om Adit yang memberitahunya langsung karena Adnan selalu menolak panggilan dari Om Bayu. Rasa kesalnya pada Denis karena mempengaruhi kakek belum hilang hingga saat ini. Lalu sekarang pria itu kembali berulah dengan rencana pernikahannya yang dipercepat. Mungkin semua orang berpikir jika ini adalah niat yang baik, tetapi sayangnya Adnan tidak sebodoh itu. Dia tahu jika Denis hanya mengejar harta kakek. Dengan menikah, maka kakek akan memberikan hadiah yang cukup besar. Bukan iri yang Adnan rasakan. Dia hanya tidak suka jika perjuangan keluarganya dinikmati oleh manusia-manusia licik seperti Denis dan ibunya. Andai saja wanita itu tidak berulah tentu perang antar keluarga ini tidak akan terjadi. Untuk sekarang, Adnan harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Me
Suara detik jam yang terdengar jelas menunjukkan jika ruangan itu benar-benar sunyi dan senyap. Pria yang duduk di sofa itu menghela napas kasar dan melempar kertas yang ia baca ke atas meja. Setelah itu ia menatap seorang gadis yang tengah membaca buku di atas kasur. Fasya, gadis itu terlihat sangat sibuk seolah fokusnya hanya tertuju pada buku. Padahal semua orang juga tahu jika ia jarang atau bahkan tidak pernah membaca buku. Fasya tidak serajin itu, tetapi entah kenapa malam ini dia bertingkah aneh dengan membaca banyak buku. Adnan, pria itu kembali menghela napas kasar. Sudah berapa kali dia katakan jika ia tidak suka didiamkan. Namum sepertinya itu tidak berlaku untuk Fasya. Setelah mengungkapkan keinginan terdalamnya, Fasya semakin menjaga jarak. Gadis itu menjauh bahkan juga tak berbicara dengannya. Sebelumnya Fasya memang sudah menjaga jarak, tetapi kali ini berbeda. "Sejak kapan kamu baca buku?" Fasya melirik Adnan sebentar dan kembali fokus pada bukunya. "Mau nger
Ketukan pintu kamar membuat mata Fasya terbuka lebar. Dia langsung terbangun dengan rasa pusing yang menyerang kepalanya. Fasya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua pagi. Siapa yang mengetuk pintu di dini hari seperti ini? "Mbak Fasya?" Suara itu membuat Fasya mengerutkan dahinya. Dia melirik ke samping dan tidak melihat Adnan di sana. Ternyata pria itu belum kembali. Dengan lemas, Fasya bangkit dan bergegas membuka pintu kamar. Kenapa Pak Yanto membangunkannya? Saat pintu terbuka, Fasya terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Pak Yanto menatapnya khawatir sambil memapah tubuh seseorang. Siapa lagi jika bukan Adnan? Keadaan pria itu begitu kacau. Fasya yakin jika Adnan setengah sadar kali ini. "Mas Adnan kenapa, Pak?" tanya Fasya panik. "Saya kurang tau, Mbak. Tadi ada taksi yang anter Pak Adnan. Turun-turun Pak Adnan udah mabuk dan luka gini." Fasya meringis melihat wajah Adnan. Terdapat luka di sudut bibirnya. Apa pria itu kembali bertengkar? Mema
Di sebuah lorong rumah sakit, terlihat sudah banyak orang yang berkumpul. Hampir semua keluarga Atmadja satu-persatu mulai datang untuk melihat kondisi kakek. Kesehatannya yang tiba-tiba menurun pagi ini membuat semua orang panik. Termasuk Fasya dan Adnan, mereka merasa bersalah dengan apa yang terjadi. Seharusnya mereka bisa menjaga kakek, tetapi kenyataannya mereka malah menambah beban tentang masalah keluarga mereka. Meskipun sudah berusaha untuk menutupi semuanya, tetap saja perlahan semua akan segera terbongkar. "Sudah berapa kali kesehatan kakek menurun sejak tinggal sama kalian? Ini yang bikin Tante nggak percaya sama kalian!" Tante Sarah tampak marah pada Fasya dan Adnan. Mendengar kemarahan itu, Fasya hanya bisa menunduk. Membantah pun percuma karena dia memang merasa bersalah di sini. Seharusnya dia bisa menjaga kakek dengan baik, bukan malah membuat kesehatannya menurun. Fasya bukanlah seorang Atmadja, tentu beban yang ia tanggung jauh lebih besar. Adnan sendiri tidak men
Hanya tinggal menunggu waktu. Untuk saat ini, satu detik pun sangatlah berharga. Apa yang Adnan katakan pada Mitha adalah seperti menanam sebuah bom. Jika waktunya tiba, maka bom itu akan meledak. Di saat itu terjadi, Adnan akan duduk manis menikmati drama kehancuran Denis. Jahat? Adnan tidak munafik. Dia tidak mau membohongi dirinya sendiri jika menghancurkan Denis adalah hal yang tidak ia sukai. Selama ini Adnan hanya diam karena ia sangat menghormati kakek dan Om Bayu. Namun setelah dilihat-lihat, Denis dan Ibunya benar-benar tak tahu malu. Mereka semakin berulah dengan mengusik kehidupan pribadi Adnan. Adnan memang pendiam, tetapi bukan berarti dia suka jika harga dirinya diinjak atau kehidupannya diusik. Intinya jangan mematikan kobaran api dengan minyak tanah. "Makan dulu," ucap Adnan pada Fasya yang melamun. Saat ini mereka berdua tengah berada di kantin rumah sakit. Bertujuan untuk mengisi perut kosong setelah jam makan siang sudah lewat dua jam yang lalu. Meski
Malam gelap telah Datang. Terlihat seorang pria tengah berjalan menjauh dari pintu utama sebuah rumah. Denis, pria itu berjalan lesu dengan tatapan sedih. Bukannya langsung pergi, dia malah bersandar pada Mobil tanpa tenaga. Kepalanya masih terngiang-ngiang akan kalimat perpisahan yang Mitha ucapkan. Wanita itu memilih mundur. Menyerah pada hubungan mereka karena kebohongan yang ia buat. Seperti karma, bukan hubungan Adnan dan Fasya yang hancur, melainkan hubungannya dengan Mitha yang berada di ujung tanduk saat ini. Wanita itu tidak mau menemuinya lagi. Tentu Denis menyesal, dia menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Meskipun dia menyembunyikan semua masalahnya dengan Adnan pada Mitha, bukan berarti perasaannya adalah sebuah kebohongan. Denis berani bertaruh apapun jika perasaannya pada Mitha terbukti palsu. Pria itu benar-benar mencintai calon istrinya. Ah, mantan calon istrinya. Hati Denis kembali sakit mengingat fakta tersebut. Itu juga yang membuatnya dengan nekat mene
Dari balik pintu, Fasya membuka telinganya lebar. Terdengar suara ribut dari luar kamar. Malam sudah semakin larut, tetapi secara tiba-tiba suara gaduh mulai membangunkan tidurnya. Apa terjadi sesuatu di luar sana? "Nek!" teriak Fasya sambil memukul pintu. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tidak mungkin jika tiba-tiba ada perampok, bukan? "Nenek!" teriaknya mulai panik. Fasya kembali mendekatkan telinganya untuk mendengar sesuatu. Kali ini dia tidak mendengarkan apapun. Fasya benar-benar khawatir. Dia takut jika terjadi sesuatu pada kakek dan neneknya. Suara telepon membuat Fasya terkejut. Dengan cepat dia menghampiri kasur dan memgambil ponsel jadul dari bawah bantal. Dia harus cepat sebelum kakek mendengar suara dering yang nyaring itu. Adnan, pria itu mengubunginya. "Halo, Mas?" sapa Fasya cepat. "Kakek larang saya buat ketemu kamu." Fasya menutup mulutnya tidak percaya. Jadi suara ribut yang ia dengar itu karena kedatangan Adnan. Pria itu benar-b
Gila. Sepertinya Fasya sudah benar-benar gila. Entah bagaimana bisa dia berakhir di dalam mobil bersama Adnan. Semua terjadi begitu saja dan ia memilih untuk melarikan diri. Adnan tidak menculiknya. Fasya dengan sadar dan tanpa paksaan setuju menerima ajakan pria itu. Tanpa peduli bagaimana orang rumah akan bereaksi setelah tahu jika ia menghilang. Genggaman hangat membuat Fasya menoleh. Melihat senyum Adnan yang teduh membuat perasaan Fasya menghangat. Seolah menerbangkan semua rasa khawatir yang menyerangnya sedari tadi. Otak Fasya berpendapat jika apa yang ia lakukan saat ini adalah salah, tetapi sayangnya hatinya berkata lain. Fasya senang berada di dalam mobil ini, bersama Adnan, menjauh dari masalah. "Kita mau ke mana, Mas?" "Ke tempat yang jauh." "Ke mana?" "Puncak?" tanya Adnan ragu. "Oke." Mendengar jawaban Fasya, Adnan kembali tersenyum lega. Genggaman tangannya semakin erat, seolah tidak ingin kehilangan gadis itu lagi. Membawa Fasya pergi adalah rencana