“Ngomong-ngomong soal kebelet kawin, apa yang kalian lakukan semalam?” tanya Ziana curiga. Lintang dan Arjuna saling pandang dengan ekspresi aneh sebelum sama-sama merinding. “Aku nggak ketemu dia semalam. Siapa yang kau maksud?” tanya balik Lintang.“Tentu saja kamu dan kakakku, Lintang. Siapa yang bilang kamu sama Arjuna sih? Stres.”“Salahmu ‘lah. Kalau nanya yang lengkap dikit. Kan jadi salah paham.”“Berani kamu nyalahin istriku, Arjuna!”Arjuna nyengir kuda ke arah Mahanta yang melotot kepadanya, lalu meraih menu sarapan diatas meja. Pagi itu maid sudah menyiapkan pilihan sarapan roti panggang dan nasi goreng yang lezat. Lintang juga melakukan hal yang sama agar mereka bisa segera berangkat ke rumah sakit. “Pertanyaanku nggak dijawab ‘loh,” ucap Ziana mengingatkan Lintang lagi. “Kenapa, Na? Nggak boleh ya kalau aku ingin lebih mengenal calon istriku sendiri. Lagian beberapa hari lagi, aku akan menjadi kakak iparmu, adik ipar.” Lintang tersenyum manis sambil menaik turunkan al
“Apa kamu mau turun sekarang?” tanya Lintang setelah dua orang yang mereka lihat tadi masuk ke dalam mobil. “Aku tidak menyangka om Hasan dan tante Intan datang bersama untuk menjenguk Jay. Apa kau masih tidak mau bicara dengan mereka, Maha?” Arjuna menoleh ke belakang menatap Mahanta yang menatap keluar jendela dingin.“Tidak ada yang perlu kubicarakan dengan mereka.”“Sampai kapan, Maha?”“Aku tidak tahu. Hatiku masih sakit mengingat perlakuan mereka pada Ziana. Aku tahu mereka tidak tahu, tapi setidaknya jangan menghina Ziana. Darah kotor, rendahan, semua hinaan itu masih memenuhi kepalaku sampai sekarang. Ziana tidak bersalah, tapi keluargaku membencinya.”“Kudengar kalau om Hasan sudah minta maaf pada Ziana. Dan Ziana sudah memaafkannya ‘kan?”“Tetap saja aku masih sakit hati. Ayo kita turun,” ajak Mahanta enggan mendengar ucapan Arjuna dan Lintang lagi. Mereka turun dari mobil lalu berjalan menuju lobby rumah sakit. Dari bagian informasi, mereka mengetahui kalau Jay dirawat di
Rianti menoleh sejenak lalu kembali mencoba melepaskan genggaman tangan Zaidan pada ujung rambut panjangnya. “Bayi Zaidan menarik rambut saya, nona. Genggamannya kuat sekali ya. Agak sulit melepaskannya.”“Oh. Biar aku bantu.”Ziana membantu melepaskan genggaman tangan Zaidan dari rambut Rianti, lalu mengambil alih bayinya. Sambil menimang bayinya, Ziana menatap Rianti yang sedang merapikan rambutnya. “Kita akan ke rumah sakit hari ini. Sudah waktunya Zaidan imunisasi. Bersiaplah.”“Baik, nona.”Rianti dengan cekatan menyiapkan semua keperluan bayi Zaidan. Satu tas khusus untuk perlengkapan bayi Zaidan pun sudah siap mereka bawa. Sekali lagi Rianti mengecek satu persatu barang-barang di dalam tas itu sebelum menatap Ziana lagi. “Semuanya sudah lengkap, nona. Kita berangkat sekarang?”“Iya. Tapi sebelum itu ganti baju Zaidan dulu ya. Aku harus menelpon seseorang dulu.”Rianti mengangguk lalu mengambil alih bayi Zaidan lagi. Ziana yang baru teringat belum memberitahu Mahanta, menjauh
Sesampainya di rumah sakit, Ziana dan Rianti segera menuju ruang imunisasi. Ziana sudah mengatur temu janji dengan dokter anak dan tiba tepat waktu. Sebelum mereka sampai di depan ruangan dokter anak, keduanya bertemu dengan dokter Kavya. “Halo, Ziana. Apa kabar?” “Baik, Kavya. Kamu apa kabar?” balas Ziana sambil mendekat untuk memeluk Kavya. “Baik dong. Bayimu gimana? Mau imunisasi ya?” tebak Kavya. Dokter wanita itu menatap gemas bayi Zaidan yang tertidur lelap dalam gendongan Ziana. “Iya nih. Mana ketiduran lagi. Susah dibangunin. Kavya mau kemana?” “Mau visit bentar. Tapi tunggu deh, aku mau lihat bayimu imunisasi. Siapa namanya?” “Zaidan. Ayo, kita ke ruang dokter anak dulu,” ajak Ziana. Dokter Kavya mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya menatap Rianti yang masih stand by di samping Ziana. Keningnya mengerut mencoba mengingat dimana dirinya pernah melihat Rianti sebelumnya. “Dia siapa, Na?” tanya dokter Kavya sambil tersenyum tipis pada Rianti. “Dia Rianti. Dia yang
“Baik. Pak Jay apa kabar? Sedang apa disini?” Ziana benar-benar hanya ingin berbasa-basi sambil menunggu Rianti kembali. Posisinya saat ini sangat aman karena berada di lobby rumah sakit yang terdapat perawat dan sekuriti. Jadi kecil kemungkinannya kali Jay ingin melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi tetap saja hati Ziana tidak bisa tenang. “Kamu masih saja formal ya, Na. Kamu boleh kok panggil aku Jay seperti Maha memanggilku.”“Saya tidak enak, Pak. Sudah kebiasaan. Biarlah tetap begitu.”Jay mengangguk lalu beralih menatap Zaidan di gendongan Ziana. “Kamu ngapain disini, Na? Sendirian?”“Nggak, Pak. Saya sama Rianti, pengasuhnya Zaidan. Sebentar lagi dia akan kembali ke sini. Saya baru selesai imunisasi Zaidan. Sejak lahir, dia belum diimunisasi.”Jay menghela nafas panjang lalu tersenyum pada Ziana. “Maafkan Sherena ya. Kecemburuan dan ambisi membuatnya buta. Aku sangat bersyukur karena Zaidan baik-baik saja dan segera ditemukan saat itu.”“Saya memang sudah memaafkan Sh
Rianti buru-buru berdiri dan melepaskan dirinya dari pelukan Arjuna. Wanita itu menatap Arjuna dengan sorot mata yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Begitu pula dengan Arjuna yang tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Rianti. Pria itu memindai wanita cantik di hadapannya seolah Rianti adalah benda seni yang dipajang di museum. “Arjuna, syukurlah kamu sudah datang. Ayo cepat kita pulang. Zaidan mulai rewel,” ucap Ziana yang buru-buru mendekati Arjuna. Tidak ada tanggapan dari Arjuna membuatnya menoleh menatap Rianti dan Arjuna bergantian. Jiwa keponya meronta-ronta ingin tahu apa yang suda terjadi diantara mereka berdua. “Kalian berdua saling kenal?” “Tidak.” “Iya.” Keduanya kompak menjawab bersamaan tapi dengan jawaban yang tidak sinkron. Rianti menjawab ‘tidak’, sedangkan Arjuna menjawab ‘iya’. “Apa? Jadi yang benar yang mana? Riantia, kamu kenal Arjuna?” tanya Ziana sambil menatap Rianti yang sedikit pucat. “Jelas kenal ‘lah. Kami dulu__” “Nona, sebaiknya ki
“Lepasin!” pinta Rianti tertahan. Wanita itu khawatir ada orang yang akan memergoki mereka sekarang. Saat Rianti mencoba melepaskan pelukan Arjuna, pria itu justru mempererat pelukannya. “Aku tidak mau balikan dengan pria brengsek sepertimu. Arjuna, lepasin aku. Kita sudah berakhir. Pergi!” “Tidak. Kau pikir berapa lama aku menunggu saat seperti ini, babe. Kau hutang banyak penjelasan padaku,” bisik Arjuna membuat Rianti semakin meronta. Tiba-tiba terdengar suara dari ujung lorong yang mereka berada saat ini. Rianti mulai panik dan wajahnya terlihat pucat. Dia benar-benar tidak ingin siapapun memergoki mereka. Rianti tidak ingin pekerjaannya terusik hanya karena hubungan masa lalunya dengan Arjuna. “Arjuna, aku peringatkan kamu. Lepasin aku. Ada orang kesini,” pinta Rianti cemas. “Kenapa? Biar mereka semua tahu, kau milikku, Rianti.”“Jangan gila.”Rianti tidak punya pilihan ketika suara-suara itu semakin mendekat. Sebentar lagi seseorang akan muncul di belokan lorong dekat kamar
Suasana pagi itu memancarkan keheningan yang mencekam di dalam sebuah kamar hotel. Ziana membuka matanya perlahan mengikuti irama detak jantungnya yang terasa berdegup kencang. Sejenak Ziana mencoba mengenali keberadaannya saat ini. Namun, dalam sekejap, keterkejutan menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang gelap.“Aku dimana?! Bajuku?!”Tubuhnya terbungkus dalam selimut yang hangat, menghadap langit-langit kamar hotel yang asing baginya. Perlahan, ingatan bergelut memecahkan kebimbangan yang merayapi pikirannya. Di mana dia? Apa yang terjadi semalam? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya, mencari jawaban yang sesak terkekang.Ziana memperhatikan setiap sudut kamar dengan tatapan waspada. Namun, tak ada yang menyambut, kecuali gemerisik halus suara air dari arah kamar mandi, menciptakan harmoni suara alam yang bersahaja. Detik demi detik berlalu, mengoyak kebingungan yang berputar di sekelilingnya. Suara air itu menjadi penanda keberadaan seseorang di ruangan itu.“Aku