Prince memanjat naik kursi dan segera duduk. Tangan mungilnya menjangkau segelas susu dan meminumnya. Kepala Prince bergerak ke sisi memperhatikan Leonardo yang kini mengeluarkan dua piring menu makanan dari dalam sebuah oven. Leonardo membawanya dan meletakannya di hadapan Prince, “Awas panas.” Prince mengangguk dengan senyuman. “Terima kasih,” ucap Prince begitu Leonardo memberikan sarapan untuknya. Leonardo segera bergabung duduk dan memulai sarapan paginya bersama-sama. Cukup lama Leonardo diam, akhirnya dia mulai angkat bicara kepada Prince. “Prince, apa hari ini kamu mau ke rumah Sea?” tanya Leonardo tiba-tiba. Prince mengunyah rotinya perlahan, anak itu tidak langsung menjawab karena harus menelan makanannya terlebih dahulu. Prince menggeleng, dan menatap ayahnya dengan bingung. “Semalam kami bertemu, lagi pula Sea sudah berjanji akan sering ke sini. Nanti Sea bosan jika aku sering ke sana.” Ada cemberutan kecil yang terlukis di bibir Leonardo. “Sea tidak akan bosan jika
“Yang benar yang mana? Kalian pacaran atau tidak?” tanya Michael lagi dan kembali berdiri. Sekali lagi Rosea menggeleng, begitu pula Atlanta yang kembali mengangguk. “Yang benar yang mana?” Wajah Atlanta terangkat, membalas tatapan tajam Michael yang kini sudah siap melayangkan tongkatnya lagi kepada Atlanta. “Aku menyukai Sea, namun dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Dia orang yang pernah aku ceritakan kepada Kakek beberapa tahun yang lalu, sekarang sudah cukup?” Michael langsung terdiam begitu mendengar jawaban Atlanta, perlahan dia mundur dan kembali duduk. “Benar, begitu Sea?” Tanya Michael dengan suara yang melembut, kemarahannya hilang entah kemana. Bibir Rosea terangkat hendak menjawab, namun dia kembali mengatupkannya karena sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan Michael. Apa yang harus Rosea katakan? Haruskah Rosea berbohong untuk menyelesaikan pembicaraan ambsrud mereka pagi ini? Rosea mengangguk dengan terpaksa. “Benar” jawabnya samar. “Sea
Siang itu terlihat cerah, Rosea mengenakan pakaian golf sambil menjinjing tas yang membawa stick golf kesayangannya. Rosea baru selesai bermain golf sekadar menemani kliennya yang membutuhkan perhiasan dan meminta bertemu untuk bermain golf bersama. Beruntungnya masalah pertemuan ini berjalan sukses. Hari ini terasa melelahkan dan berbeda dari biasanya untuk Rosea, semua itu karena kakacauan tadi pagi yang membuat Rosea malu setengah mati. Rosea butuh teman curhat. Namun sahabatnya Karina, dia tidak bisa di hubungi karena kini Karina berada di Amerika melakukan kencan dengan kekasihnya. Begitu pula dengan Frans yang menghilang bak di telan bumi usai membuat Rosea terjebak dalam masalah bersama Atlanta. Rosea akan menjambak rambut Frans jika nanti mereka bertemu. Suasana damai tempat golf membuat Rosea memutuskan pergi memasuki sebuah restaurant yang tersedia di sana. Rosea butuh segelas minuman untuk memperbaiki moodnya. Rosea langsung mengambil tempat duduk, wanita itu bersedek
Kepulan asap panas kopi sudah tersaji di temani roti bakar. Cuaca yang dingin cukup cocok dengan apa yang di pilihkan Leonardo. Rosea masih duduk di tempatnya, dia sedikit tidak nyaman karena sejak duduk berhadapan dengan Leonardo, pria itu terus memperhatikannya seakan ada sesuatu di wajah Rosea. Ada sesuatu yang berbeda dengan pria itu. Rosea menyadarinya, tatapan dingin dan acuh Leonardo sudah berubah. Namun apa yang membuat Leonardo berubah? Rosea mengambil garpu dan pisau, dia memotong roti dan memakannya dengan lahap. Makan adalah pengalihan terbaik Rosea dari Leonardo yangterus menerus memperhatikannya. Rosea mendorong ke sisi piringnya yang kosong, lalu mengambil gelas kopinya, dia meminumnya. Sekali lagi Rosea melihat Leonardo, rupanya pria itu masih memperhatikannya dengan tatapan hangatnya. “Kenapa menatapku terus?” Rosea memberanikan diri untuk bertanya. Telunjuk Leonardo menekan permukaan meja, pria itu menurunkan pandangannya. “Aku juga tidak tahu” jawab Leonardo
“Mengapa kamu sendirian di sini?” tanya Leonardo. “Aku baru bertemu klien di sini. Kami bermain golf bersama.” Leonardo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, pria itu bersedekap menatap Rosea penuh tanya. Mengapa untuk masalah perhiasan saja, Rosea harus bertemu dengan orang lain di tempat-tempat yang tidak seperti biasa pada umumnya? “Kenapa bertemu di sini?” tanya Leonardo lagi. Rosea tersenyum samar. “Aku mencoba mendapatkan klien orang-orang penting, terkadang mereka memiliki banyak kesibukan. Aku mencoba menemui mereka secara langsung dan mendengarkan apa yang mereka inginkan sesungguhnya, kepuasan pelanggan kesan baik mereka sangat penting untukku.” “Kamu menemui semua jenis pelanggan?” “Ya” jawab Rosea menggantung, pikirannya melayang teringat beberapa kejadian yang terkadang tidak mengenakan. Seperti pria hidung belang yang mencoba menyentuhnya, bertengkar dengar isteri klien karena salah paham. Tapi ini bisnis, pekerjaan apapun pasti ada baik buruknya. “Pacarm
Suasana yang tidak menyenangkan dapat di rasakan, kecanggungan satu sama lainnya terasa sedikit menyesakan. Rosea tersinggung, benar-benar tersinggung dengan perkataan tersirat Leonardo dan sikapnya yang sedikit-sedikit baik, sedikit-sedikit marah. “Kamu marah?” tanya Leonardo hati-hati. “Dari pada marah, aku merasa terhina.” “Sea” “Apa yang kamu tanyakan, mencerminkan apa yang sering kamu lakukan dan apa yang kamu pikirkan.” Potong Rosea menyela, Rosea bersedekap dan membuang mukanya, menyembunyikan sepercik kesedihannya. “Apa yang kamu tanyakan sama aku sudah sering aku dengar dari banyak pria, mereka menawarkan uang padaku dan berpikir bahwa aku bisa menjual diri.” Ucapan Rosea berhasil menampar Leonardo karena dia salah satu dari pria yang sering membeli wanita untuk kesenangannya di ranjang. Leonardo menarik napasnya dengan sesak. Hari ini dia sudah mengacaukan harinya dengan keangkuhannya sendiri. “Maaf. Aku benar-benar menyesal,” ucap Leonardo sungguh-sungguh. Rosea lan
Rosea merelai pelukannya dan menatap Prince dalam-dalam, “Kenapa menangis? Ada yang mengganggu kamu?” “A-aku sedih” Prince kembali terisak tidak dapat mengendalikan emosi di dalam dirinya. Tangan mungilnya meremas kuat celana pendeknya hingga lusuh. “Teman-temanku bilang aku tidak punya ibu. Aku juga ingin punya ibu dan pergi ke sekolah bersama ayah dan ibuku seperti teman-temanku, ta-tapi aku tidak bisa. Aku sudah berusaha menjadi anak yang baik meski sendirian di sini, namun mereka membuatku malu karena terus meledekku,” cerita Prince tersenggal-senggal mencoba menyelsaikan kalimatnya. Leonardo menarik napasnya dalam-dalam, hatinya begitu sakit mendengarkan pengakuan Prince yang tidak pernah sekalipun dia dengar sebelumnya. Mata Rosea berkaca-kaca merasa sedih, di raihnya wajah mungil Prince dan mengusapnya. “Prince, kamu itu berharga. Kamu sendirian di sini karena Tuhan tahu kamu itu anak yang kuat dan luar biasa. Kamu jangan malu, karena kamu juga punya ayah dan ibu, mereka san
Prince tersenyum lebar sambil menopang dagunya, anak itu terlihat begitu senang karena hari ini Rosea datang ke sekolahnya dan membantu Prince lebih dekat dengan teman-temannya di sekolah. Tangan mungil Prince menutup mulutnya yang tertawa begitu teringat jika tadi untuk pertama kalinya dia menanam pohon di halaman kelasnya bersama ayahnya dan di temani Rosea. Meski hanya ada mereka bertiga karena teman-temannya sudah pulang, Prince merasa begitu bahagia sampai tidak sabar ingin segera menelpon pamannya dan memamerkannya. “Sea, mau makan siang bersama?” tawar Leonardo. “Aku masih memakai pakaian golf dan sudah kotor, langsung ke rumah saja.” Tanpa bertanya lagi, Leonardo mengangguk setuju meski di dalam hatinya menyimpan sedikit kecewa karean tidak bisa menahan Rosea lebih lama lagi untuk bersama denganya. Hari ini terasa berjalan begitu cepat untuk Leonardo, Leonardo sendiri sampai tidak percaya bahwa manusia gila kerja seperti dia sampai benar-benar lupa dengan pekerjaannya ka