selamat membaca. jangan lupa tinggalin jejak ya. makasih banyak sudah baca ceritanya
Bab 30 Sombong (Pov Ning)Sejak semalam, aku memutar otak bagaimana mengganti uang dua ratus ribu. Meminta ke ibu sepertinya mustahil. Beliau mati-matian mengumpulkan uang dengan segala cara untuk keperluan Mbak Titin. Seperti barusan aku meminta, tetapi hanya tangan kosong hasilnya. "Bu, uang dua ratus ribu yang diminta Lik Marni mana?" "Uang apa? Itu tanggung jawabmu, Ning. Ibu kan nggak nyuruh kamu ngasih ke Marni." "Ya Allah Bu. Lik Marni kan meminta haknya. Lagian buat periksa anaknya yang sakit lho." "Kamu kan bisa alasan lain, Ning. Lagian ibu pinjam juga pasti membayarnya. Ini juga belum jatuh tempo." Pagi-pagi di rumah sudah riuh perdebatanku dengan ibu di dapur. Mbak Titin kulihat sempat berdiri di ambang pintu. Setelahnya, ia justru menutup telingan dan masuk ke kamar lagi. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Uangnya mana, Bu?" seruku biar Mbak Titin turut mendengar. Namun, justru bapak yang menyela dari arah kamar. "Ada apa ta, Ning? Pagi-pagi sudah ramai,"
Bab 31 Terhibur (Pov Ning)Aku meninggalkan kumpulan ibu-ibu tukang gosip dengan sedikit kesal. Sudah tambah pening kepalaku. Aku yakin di tempat Pak Haji bisa terhibur. Sebab di rumahnya aku bisa tenang membicarakan kegiatan Mas Eko putranya yang menjadi sopir di kampus ternama di Yogya. "Ning, kamu benar nggak tertarik merantau di kota saja seperti Eko," tutur Pak Haji. Hatiku mengambang, seketika pening pun hilang. "Apa mungkin, Pak Haji? Saya pakai modal apa ke sana. Mbak Titin pun nggak bisa diandalkan untuk membantu usaha keripik bapak," terangku. "Ya, siapa tahu kamu bisa mengubah nasib di sana. Eko minggu depan pulang. Bapak biasanya minta tolong padanya kalau ada lowongan di kampus jangan menutup mata dan telinga. Ajaklah para tetangga menikmati kesuksesan bersama." "Pak Haji memang baik hati dan tidak sombong. Selalu begitu berbagi kebahagiaan dengan orang lain," ujarku membuat Pak Haji mengulas senyum. Aku melanjutkan kegiatan menyapu halaman, sedangkan Pak Haji masih
Bab 32 Sengketa tanah (Pov Ning)"Bapak dimaki-maki sama Pakde No. Katanya bapak menanam ketela di lahannya." Amir masih menarik napas panjang. "Pakde No adu mulut dengan bapak, Mbak." "Apa?!" Gegas aku berlari tanpa mempedulikan Zen dan Mbak Vina yang terpaku melihatku dan Amir. Aku bergegas mencari bapak di kebun. "Pak Rahmat tutup mata ya? Jelas-jelas batas lahan ini di sini kenapa jadi berpindah setengah meter ke lahan saya?!" "Pakde, bukannya batas lahan kebun ini dari dulu sudah di sini? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?" Kulihat bapakku mempertahankan diri. "Ada apa, Pak?" tanyaku sambil memegang erat lengannya. Bapakku membalas dengan memegang tanganku tanpa bersuara. Aku paham maksudnya menenangkanku. "Ning, bapakmu dikasih tahu. Jangan menanam lagi di lahan orang lain, dosa. Mengambil hak orang jelas rejeki yang didapat juga haram." "Tapi, Pakde. Sejak dulu juga ini
Bab 33 Gejala Struk "Maaf, Pak Rahmat harus segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut." Dokter yang bermukim di salah satu desa sebelah tengah memeriksa bapak. Aku bersyukur bapak sudah saadar dari pingsannya. Namun, beliau tidak mampu bersuara. Alhasil dokter menyarankan untuk bapak dibawa ke rumah sakit di kota. "Mari, Bu. Saya antar bapak ke kota." Zen dengan sukarela mengantar bapak ke rumah sakit di kota. Kami duduk di mobil mewah yang kata Zen milik kampus. Namun, aku masih meragukannya. Ah, kenapa juga harus memikirkan itu. Yang penting Zen syka membantu dan tidak sombong. Sepertinya benar dia memang bukan terlahir dari orang kaya raya. Tidak sampai satu jam, mobil sudah sampai di pelataran rumah sakit. Bapak didorong menggunakan brankar masuk ke IGD. Kami yang mengantar menunggu dnegan was-was di luar ruang periksa. Hanya ibuku yang menemani bapak. "Zen, makasih sudah mau direpotkan ya. A
Bab 34 Kena Tipu (Pov Ning)Esok pagi, aku sudah bersiap mengantarkan dagangan keripik ke warung langganan bapak. Selain itu, aku juga keliling dan menghampiri tempat pertemuan. "Bu, apa Pakde No benar. Kemarin Pakde berdebat dengan bapak mengenai batas kebun." "Sudah, kamu anak kecil nggak usah ikut campur. Sekarang berangkat saja!" Ibuku masih sama bersikap dingin dan ketus. Namun, aku tetap menyayanginya. Beliau masih mau menyiapkan sarapan untukku juga penghuni rumah. Meski hanya sayur bening lauk tempe goreng. Aku selalu mendoakan ibuku agar mau memandangku penuh cinta. Entah kapan suatu hati nanti pasti akan sampai saat yang kuharapkan itu. "Tin, buruan sarapan. Nanti terlambat ke rumah Jono," teriak ibuku. Aku hanya menggelengkan kepala. "Ayo, Mir!" Aku dan Amir berpamitan pada ibu untuk mengantar dagangan keripik. Beruntung Amir sudah selesai ujian jadi tidak ada pelajaran di sekolah. "Mir, kita ke sekolah kamu
Bab 35 Jebakan (Pov Ning)"Mas Jono ada, Bu?" Pagi sekali sebelum ke rumah Pak Haji, aku sempatkan ke rumah Jono. Kebetulan hari ini belum menyiapkan dagangan keripik karena kemarin seharian keliling. "Jon, ada yang nyari." Setelah ibu paruh baya masuk, keluarlah laki-laki berpakaian rapi tetapi tatapannya sinis ke arahku. "Mas, maaf sebelumnya, Ning mau tanya kenapa Mbak Titin nggak lolis seleksi jadi model? Bukankah kakakku sudah mengeluarkan banyak uang?" tanyaku pelan, tak ingin mengumbar emosi. "Memangnya harus ya ketrima?" Deg,Sikap Jono terlihat angkuh. Padahal Mbak Titin kan begitu dekat dengannya. "Tapi, Mas. Bukankah Mas Joni berniat membantunya." "Uang yang aku minta kan masih kurang banyak. Lagian aku tunggu beberapa hari nggak nambah-nambah, ya sudah diambil orang slotnya." Mataku melebar, jadi benar hanya karena uang Mbak Titin nggak diterima. Pantas saja ibu murka padaku. Sebagian uang
Bab 36 Doa Ibu (Pov Author)Flashback OffKarena di tancapkan beberapa kali jarum di pergelangan, Ning merespon kesakitan. "Dokter, pasien kesakitan." "Iya, tenang, Mas!" "Han, sabar, ya! Kumohon kamu yang kuat, ya!" Zen membisikkan kalimat penyemangat di telinga kanan Ning. Rintihan demi rintihan lirih keluar dari mulut, Ning. Matanya tetap setia terpejam, tapi racau kesakitan keluar dari mulutnya. "Tenang, Mbak! Kami masih mencari tempat yang tepat untuk dipasang jarum infus," ungkap suster. "Coba pindah lagi tangan kanan, Sus!" ujar dokter. Sudah ketiga kalinya jarum pun diganti. Dua yang tadi jarum melengkung sudah tidak bisa dipakai lagi. Suster berdecak membuat Zen menegang. "Belum berhasil juga, Dok," ucap pasrah suster. Dokter segera menggantikan posisi suster. "Bismillah." Terlihat dokter pun merapalkan doa menyertai ihtiarnya menolong pasien. "Di
Bab 37A Menjaga Syam berlari sepanjang koridor rumah sakit. Ia ke IGD ternyata Ning sudah dipindahkan ke ruang rawat inap kelas III sesuai pendaftaran yang dilakukan Mita. Sejatinya Syam ingin langsung memindahkan Ning ke ruang VIP. Namun ia belum tahu kondisi saat ini. Dari kejauhan duduk sahabat Ning bernama Ayu dan dua lainnya perempuan yang sedang menunduk. "Di mana, Ning?" "Sedang diperiksa di dalam, Syam," Syam baru sadar ada ibunda Ning setelah Bu Romlah mendongak dan menoleh ke arahnya. "Syam." "Lho ibu di sini? Maaf, saya tidak tahu." "Kenapa perempuan itu bersama kamu, Syam?" tunjuk Bu Romlah pada Vina yang sejak tadi nebeng Syam dari kampus. Perempuan itu penasaran kemana perginya Zen padahal acara kemahasiswaan belum selesai. "Oh, teman saya, Bu. Namanya Mbak Vina." Vina tersenyum menyeringai saat Syam memperkenalkan dirinya di depan Bu Romlah. "Mbak, kenalin ini ibunya, Ning." Vina mengulurkan tangan disertai rasa canggung. Namun, Bu Romlah enggan membalas. Tan