Senna menyetir dengan pikiran yang kacau, wajah yang murung. Sudah berapa kali melesat dengan laju dengan menghinari lampu lalu lintas. Bahkan masih mengenakan piyama pasien Rumah Sakit. Senna mendecak sendiri. "Aku bisa dikira pasien kabur," gumam Senna. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti di sebuah gang yang sempit, gelap dan hanya sebuah lampu jalan yang menerangi. Gadis bersurai hitam legam itu menghembuskan napas, sesekali mengusap kedua tangannya yang terasa mendingin.Senna keluar dari mobil hitam itu setelah memparkirkannya didekat gang sempit ini, kedua iris kenarinya menatap was-was karena cemas jika terdapat orang suruhan Xuanze yang mengincarnya. Biar bagaimanapun ia baru saja pulih, walaupun bisa menghadapi mereka Senna tetap saja merasakan tubuhnya masih lemah.Tiba di tempat semasa kecilnya dihabiskan, Senna diam meratapinya. Tampaknya sangat sepi. Rumah Susun yang jauh dari kata sederhana, dalam ruang sepetak yang hangat tersimpan kenangan yang manis. "Aku pulang.
Senna berdecak kagum kemudian memalingkan wajahnya. “Aiya ... bodohnya aku meragukan Pemuda ini!" Senna kagum tapi sadar jika ekspresinya berlebihan maka dari itu Senna langsung memalingkan wajahnya. “Aiya ... bodohnya aku meragukan pemuda ini," gumam Senna lirih sendiri. Tak lama Senna kembali penasaran jadi ia menatap Pria Biru itu yang sedang melayangkan serangan, satu hal yang Senna sadari jika Xuanze Rhein Qita tidak membunuh orang-orang itu. “Tidak membunuh? ” Senna bertanya pada dirinya sendiri, saat memperhatikan Xuanze Rhein Qita aka Han Xue Tian itu. Pemuda beriris biru itu hanya melayangkan pedangnya untuk menangkis setiap serangan dari senjata tajam segerombolan orang berjubah hitam ini. Ia memiliki ilmu selaras dengan jiwanya yang kuat. Pria itu mengendalikan pedangnya bergerak menangkis serangan dengan mudah. Senna terlalu fokus memperhatikannya hingga tiba-tiba dia merasakan suara yang masuk dari benaknya itu. “Xieya?” sebuah suara bergumam padanya. Senna terper
Kedua iris matanya memandang pantulan siluet indah yang terpatri dari pantulan cermin kaca. Wajah cantik dipoles riasan tipis memasang raut yang sulit digambarkan oleh kata-kata. Banyak pertanyaan yang membuatnya penasaran. Dia nyaris gila memikirkannya. Gaun berwarna hitam membalut tubuhnya, seolah warna hitam sudah menjadi warnanya sejak tiba di Shizu Ran kemudian kembali kedunianya lagi. Bibir ramum tersenyum tipis. Senna Cassia Charlisle, merasa. Jika kedua orang tuanya memiliki hubungan dengan keluarga Xuanze dan Yue. Semua upaya yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mencari titik terang kedua orang tuanya. “Ck. Lucu bukan?”Gumamnya sendiri sambil memasang anting-anting berbandul kristal hitam didaun telinganya. Usai mempersiapkan dirinya. Senna keluar dari apartemen tak lupa memasukkan stick gioknya kedalam tas kecil yang dibawa oleh Senna, disana Chang Banri sudah menunggu dari dalam mobilnya. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mendehem dengan wajah memerahnya. Sen
Senna mengangguk “Hai Kek, namaku Senna Casia Charlisle. Mendengarmu memanggil Xue Tian, mungkin aku bisa mengenalkan diriku yang lain. Ran Xieya.” Kakek itu bangkit berdiri “Masuklah, tak perlu terburu-buru.”Ucapnya mengajak dua sejoli itu untuk masuk kedalam kediaman tradisional ini. Xuanze Rhein Qita membakar tumbuhan kering yang ia masukkan kedalam sebuah wadah, sehingga menghasilkan aroma wangi yang menenangkan. Pemuda itu juga membantu menuangkan teh dari teko ke cangkir kecil kakeknya. Kemudian menuangkannya kembali ke cangkir Senna. Kakek ramah itu tertawa pelan “Bagaimana cucuku? Apa dia menyulitkanmu Tuan Puteri?”Goda kakek tua itu padanya. Senna menggeleng pelan “Dia melindungiku dengan baik, merawatku sedang sakit dan memasak dengan baik pula. Calon isteri yang baik bukan?”Senna meledek Xuanze Rhein Qita. Pemuda itu hanya menatap dengan raut datar seraya menduduki dirinya disebalah Senna. “Tak sopan jika tidak mengenalkan diri pria tua ini pada tuan puteri yang legend
Sinar mentari pagi menyapu kulitnya dengan hangat, Seorang gadis menikmati cuaca bagus hari ini dengan duduk di sebuah bangku taman Universitas. Senyumanya merekah dengan manis, dikala surai pendek legamnya diguyur oleh angin dengan lembut. Sejam yang lalu gadis berperawakan kecil ini mencapai seperempat pencapaiannya. Ditangannya menggengam sebuah map berisi lembaran-lembaran penelitiannya.“Bagus ... bagus ... diterima atas dasar diperbaiki ... hari yang bagus," ucap Senna dengan kedua kelopak mata tertutup menikmati panas mentari diwajahnya.Saat sedang nyaman bersantai, suara riuh dari sekelompok mahasiswa lain turut mendekat dipendengarannya. “Senna Jie! Congrats!” teriak sorak-sorak yang riang. Senna mengangguk dengan senyum merekah manisnya. "Terima kasih," ucap Senna sembari mengulumsenyuman.“Lihatlah dirimu, hari ini hari bahagiamu Jie-jie, berbahagialah, teman-temanmu merayakan kebahagiannya juga. Kenapa kau hanya berjemur di halaman Universitas?" tanya dari suara Gadis it
"Apa tak lelah?” tanya Xuanze Rhein Qita. “Tidak akan," jawab Senna.Senna meraih ujung jas hitam milik pemuda itu. “Sebenarnya, aku juga ingin memastikan sesuatu. Ayo, ki-kita langsung saja," ujar Senna dengan semu kemerahan dipipinya. Sejujurnya, ia sedikit malu ketika bertemu lagi dengan pemuda ini.“Hn. Ayo," sahut Xuanze Rhein Qita. kemudian diraihnya pergelangan tangan Senna.Pemuda itu hanya diam sambil menyetir buggati metalik miliknya, tampang serius pemuda beriris biru ini tampak berbeda. Sikapnya yang tenang bahkan tampak elegan hanya menyetir, Xuanze Rhein Qita memang Pria yang serba bisa dan anggun dalam setiap tindakannya. Semua itu sama di Shizu Ran dan di dunia modern. Sama halnya dengan Senna, dia pun turut diam di bangku penumpang tepat disebelah pemuda itu seraya meremat stick giok yang sudah lama ia pegang sembari melirik sosok Xuanze Rhein Qita. “Uhm ... Xue Tian.” Senna berucap sembari memandangi tangan Pemuda itu yang meremat kemudi dengan keras. Raut waj
“Hn. Cantik. Xieya, Senna selalu cantik.”Ran Xieya memengangi pipinya yang memanas. “Uhm ... Terima kasih,"sahut Ran Xieya yang sebenarnya dia hanya ingin memastikan, jika Han Xue Tian menganggap dirinya.“Kalian, tampaknya baru dari perjalanan yang jauh. Selamat datang kembali, Tuan Puteri," ucap Han Suiren Hua. Pemuda berwibawa itu hanya tersenyum-senyum melihat duo sejoli ini, bahkan sejak tadi pula mendengarkan percakapan keduanya.Ran Xieya lantas memberi hormat, dia baru menyadari keberadaan pria terhormat ini. "Oh, iya, hehe, terimakasih Pemimpin Han.” Ran Xieya mengangguk gugup.“Anggap He Hua seperti Shizu Ran, walaupun ini bukan istana lebih seperti ke diaman para murid Han.”“Tentu, He Hua begitu dingin. Sangat nyaman," pujinya. Ran Xieya tersenyum kala melihat beberapa baris anak remaja yang tampak sedang berlatih ilmu bela diri. Kini iris magenta Ran Xieya beralih menoleh ke arah Pemuda biru itu. “Han Xue Tian, pernah kukatakan ingin berkunjung kemari untuk menjadi murid
Setelah senja citrus berlalu, Ran Xieya tampak merebahkan diri dengan tenang di dalam sebuah ruangan bambu ke diaman utama He Hua. Kamarnya ini terletak lumayan jauh dari kediaman Han Xue Tian. Sejak lima jam yang lalu Han Xue Tian menghantarnya, Gadis berrambut legam ini hanya berbaring malas-malasan didalam kediaman ini.Dia tak sesungguhnya bermalas-malas, padahal sengaja tetap terjaga hanya pura-pura merebahkan diri karena dia sudah sadar tengah diawasi oleh seseorang. Bahkan sejak tadi, dia berkomunikasi dengan gurunya melalui telepati.“Apa He Hua memang sengaja memata-mataiku?” tanya Ran Xieya dari telepatinya. “Pikirkan saja Gadis bodoh, senang merepotkan gurumu. Aku tengah meneguk minuman bagus mereka.”“Maafkan aku Guru Ra, apakah Ran Xieya ini menganggumu?” tanya Ran Xieya.Terdengar suara decihan dari luar pintu. “Keluar murid bodoh.” Ra Byusha berucap sembari menggedor pintu. Ia yang tiba dengan sebotol minuman beraroma khasnya itu seraya membanting pintu bambu kamar Ran