"Bagaimana jika aku menolaknya?" tanya Ran Xieya.Lian Xia Tian tak langsung menjawab melainkan diam sembari memerhatikan Ran Xieya yang tengah mengusap perutnya itu. "Xieya, aku mencintaimu meski hanya ini yang bisa kuberikan padamu," ucapnya."Memberikan hidupmu? jangan bercanda," celetuk Ran Xieya.Lian Xia Tian tersenyum kecil. "Xieya, pertimbangkan lagi tawaranku, demi kebaikanmu." Pria itu berucap sambil berdiri kemudian lenyap bagaikan bayangan. Ran Xieya kembali larut dalam lamunannya hingga Baise tiba. "Yang Mulia, ini sudah malam," tegur Baise. "Baiklah, aku akan kembali," ucapnya.Ran Xieya menatap sendu kehampaan malam dari kamarnya. Ia mencintai suaminya dan kadangkala takut pada dirinya sendiri, Ran Xieya menoleh menatap cermin yang menampakkan dirinya yang cantik jelita dengan rambut hitam yang tergerai panjang. "Apakah aku kehancuran?" tanya Ran Xieya sendiri. "Tidak, bukan kau tapi aku," jawab pantulan dirinya dari cermin, tak lain An Tian. Ran Xieya terkejut hin
Bunyi dari gemersik daun yang tertiup angin, bunyi aliran air dari air terjun, serta bunyi kicauan burung yang saling sahut bersahutan. Seorang pria muda duduk bersila disalah satu batu yang ada di tepian sungai tenang itu, kedua matanya terpejam dengan damai menampaki bulu mata lentik yang indah, wajah rupawan yang putih dengan tubuh kokoh dilapisi oleh jubah putih. “Seharusnya kau segera kembali ke perbatasan, bukankah katamu besok seharusnya Yang Mulia Ran Xieya melahirkan?” “Mhn,” Deham seorang pria. Kedua kelopak mata terbuka, menampaki sepasang iris biru langit dengan jernih. “Kakak tertua, Han Xue Tian tidak tahu kedatanganmu.” Pria muda itu berucap sambil menunduk hormat dan santun. Sementara pria lain hanya mengulum senyuman. “Kau berhasil memulihkan energimu bukan?” tanya pria tinggi yang tak kalah rupawannya itu, dia masih berdiri menatap Sang Adik sambil melipat kedua tangannya kebelakang. Pria beriris biru itu mengangguk singkat sebagai jawabannya, dia memang tak b
Ratusan orang berkumpul di halaman istana, memenuhi udara dengan nyanyian sukacita dan harapan. Ran Xieya menggendong putranya bersama Han Xue Tian, yang memandang dengan bangga ke arah bayi kecil yang terbaring di pangkuan Ran Xieya.Pangeran Mahkota, pewaris takhta yang baru, adalah cahaya harapan bagi seluruh kerajaan Shizu Ran. Wajahnya yang masih lembut dipenuhi dengan senyum yang menggambarkan kedamaian dan kebaikan yang melekat pada hati murninya. Di tengah gemerlap pesta dan sorak-sorai di luar istanam ada kedamaian yang melingkupi istana. Setiap orang merasakan kehadiran yang agung, menandakan permulaan dari masa yang baru.Di dalam istana beralih pada perjamuan oleh petinggi Klan yang penting. Shin Chen Jun yang sudah menaiki posisi jadi kepala Klan Shin, Han Suiren Hua yang merupakan Kepala Klan Han dan Ran Hua Zhen yang masih belia menempati kepala Klan Jhan. Mereka menempati ruangan perjamuan khusus yang juga terdapat Ran Xieya sembari menggendong bayinya didampingi oleh
"Ran Xieya, aku tidak pernah setuju dengan ide gilamu!" bentak Han Xue Tian pada Ran Xieya. Malamnya usai semua tamu pulang dari perjamuan, kedua kekasih ini terlibat perkelahian kecil. Tak lain karena keduanya punya keinginan sendiri untuk keutuhan keluarganya, sayangnya Ran Xieya memilih pengorbanan dirinya dan Han Xue Tian memilih untuk menjaga keutuhan keluarga kecilnya ini. Ran Xieya terdiam menatap Han Xue Tian yang senantiasa datar itu mampu meluapkan emosional amarah padanya. Ran Xieya menoleh ke bawah sebentar sembari tersenyum kecil, padahal tak sanggup berhadapan dengan kedua mata biru yang menyalang padanya itu."Ini hidupku, aku bebas untuk mengorbankannya demi Xie Tian kecil kita," ucap Ran Xieya. Han Xue Tian menyambar kedua bahu kecil istrinya itu. "Xieya, aku suamimu, demi langit dan surgawi, kerajaan ini bukan apapun tanpamu apalagi A-Xie kecil kita," sahut Han Xue Tian dengan kedua mata biru yang bergetar. Pria itu semula murka kemudian memelas karena dia tak san
"Tidak mengapa karena aku sudah lelah hidup abadi sebagai terror kematian raga-raga kalian." Awal musim salju pun turun. Ran Xieya mengingat ucapan An Tian tempo waktu lalu. Ia tak dapat merelakan hidup An Tian namun dirinya sendiri semakin rapuh. Pagi mendung yang sejuk ini, Ran Xieya menikmati secangkir teh hangat buatan Baise sembari mengendong bayinya. Ia usai menyusui bayinya itu. Dari dalam ruangannya yang dibiarkan terbuka, menampaki langsung pepohonan wisteria yang diselimuti salju. Ran Xieya hanya duduk bersipu sembari menggendong bayinya yang tertidur pulas dalam gulungan selimut berbahan domba halus itu. "Tian, Tian, kecil Ibu, kesayangan Ibu," gumam Ran Xieya sembari menimang bayinya itu. Ia beri kecupan disetiap wajah mungilnya dan tersenyum haru. Ruangan yang dijaga oleh prajurit pun dimasuki oleh Han Xue Tian yang baru melepas zirah besinya. Ia menatap punggung kecil Ran Xieya yang sedang menimang anak mereka sembari menatap buliran salju yang turun dari langit. "T
"Tian-Tian, Bibi sudah bilang jangan bermain di dekat gua!" teriak Seorang Wanita. Ia mendatangi bocah berusia lima tahun itu kemudian menjewer telinganya. "Dasar anak keturunan Iblis, sulit diberitahu nanti jika Tuan Muda Kedua Han sampai tahu malah jadi aku yang dimarah," omel Wanita itu.Bocah kecil itu menangis sambil memengangi telinganya, padahal dia bermain kemari karena mengikuti kelinci-kelinci yang berlarian ke hutan. Dia hanya anak kecil yang kesepian dan mencari teman, dia bahkan tak mengerti jika semua orang di Klan Han membencinya."Ampun," ucap Anak kecil itu. Kedua mata birunya berkaca-kaca dan sembab."Ayo kita kembali ke kediaman Teratai, dasar anak merepotkan," omel Wanita itu sembari menyeret Bocah kecil yang rupawan itu.Ini sudah berlalu sejak lima tahun lalu insiden penyerangan di Kerajaan Shizu Ran. Kabar mengenai Ran Xieya, Sang Ratu pun sirna bagai di telan bumi. Tiada yang menemukan jasadnya namun saksi mata yang melihatnya tewas di gantung dan pedang yang b
"Perhatikan bicaramu, Ran Hua Zhen," peringat Ra Byusha. Ran Hua Zhen mengangguk. "Baiklah Guru," ucap Ran Hua Zhen. Gadis itu kini bergantian menggendong Tian-Tian kecil kemudian meletakkannya di atas kursi bambu. Ran Hua Zhen mengelap permukaan wajah Tian-Tian dengan sapu tangannya karena wajah menggemaskan anak itu tampak kotor. "Guru, jika Kakak Ipar datang untuk menjemput Tian-Tian, jangan berikan dia pada ayahnya itu," celetuk Ran Hua Zhen.Ra Byusha menghela napas. Ia paham mengapa Ran Hua Zhen jadi begitu agresif pada kakak iparnya itu karena Han Xue Tian memang menjadi berubah ketika Ran Xieya menghilang usai insiden itu. Ra Byusha mendatangi muridnya itu kemudian membelai wajah Tian-Tian yang mirip dengan Ran Xieya namun versi laki-laki."Han Xue Tian tetap ayah kandungnya karena tidak ada orang tua yang membenci anaknya sendiri," ucap Ra Byusha. Ran Hua Zhen menghela napas. "Semua orang berduka karena kakakku tapi sikapnya tetaplah salah," sahut Ran Hua Zhen."Hua Jie J
"Tian-Tian mengikuti anak-anak itu ke sana, padahal aku sudah mencegahnya tapi dia tidak mau," sadu Ran Feng Zhi. "Oh tidak, tidak," ucap Ran Hua Zhen panik. "Tenanglah, kita pasti menemukannya," ucap Shin Chen Jun sembari memengang kedua bahu Ran Hua Zhen. Bunyi derapan langkah kuda pun terdengar dari arah belakang mereka. Itu Han Xue Tian tiba dengan menunggangi kudanya. Ia menatap Ran Hua Zhen dengan panik. "Kemana putraku?" tanyanya seolah tahu. "Aku juga sedang mencarinya!" bentak Ran Hua Zhen. "Aku tidak bisa merasakan jimat itu dari anakku, kau bilang akan menjaganya," ucap Han Xue Tian dingin pada Ran Hua Zhen. Ran Hua Zhen bergidik takut karena Han Xue Tian benar-benar murka padanya namun Shin Chen Jun segera menghadang dan menegahi. "Tenanglah, Tuan Muda Kedua Han, ini bukan kesalahan siapapun, selagi masih dekat lebih baik kita cari Tian-Tian," usul Shin Chen Jun. Han Xue Tian langsung beranjak menyusuri pasar seorang diri. "Dia tetap anakku," tegas Han Xue Tian pa