Setelah dari rumah Silvi, aku mengajak Abang ke pusat perbelanjaan.
“Katanya mau ke salon? Gak jadi?” tanya Abang saat dalam perjalanan.
“Gak ah! Nanti Abang genit-genit lagi!” sahutku mengerucutkan bibir.
“Genit-genit gimana?”
“Di salon kan banyak cewek cantik. Nanti pas Abang nungguin Ayu, lirik-lirik lagi!”
Aku bersedekap, memandang luar jendela. Abang tertawa renyah.
“Ngapain genit ke cewek lain, mending genit sama istri sendiri, bisa sambil grepe-grepe. Hahaha.”
“Huuuhh ... maunya!”
“Maulah .... kenyal sih!”
Kenyal? Menoleh pada Abang.
“Kenyal apanya?”
Abang tersenyum mesum. Hem, pasti omes nih. Abang melirik dadaku sekilas. Spontan menutupi dengan kedua tangan.
“Ngapain ditutupi
PoV Mang Supri Aku melajukan motor matic dengan kecepatan tinggi, menghindari kalau-kalau si Boris mengejar. “Bang! Turunin saya di depan situ!” Setengah berteriak Dahlia menyuruh menghentikkan motor. Namun tidak aku gubris, tetap melaju menuju rumah kontrakanku. Si Boris dan wanita itu pasti akan mencari Dahlia lagi. “Eh, Bang! Turunin saya! Turunin!!” Kedua tangan ringkih itu menarik-narik jaket yang aku kenakan. Aku tetap bergeming. Sampai akhirnya Dahlia terdiam. Tiba di depan kontrakan petak, mematikan mesin motor, lalu menyuruh Dahlia masuk ke dalam kontrakan tanpa membuka masker dan helm. “Kamu siapa? Kenapa mau nolong saya?” Dahlia merasa keheranan saat kusuruh ia tinggal di kontrakan dulu. “Tunggu saya di sini.” Aku bergegas keluar, mengunci pintu, kembali ke gang tadi untuk menjemput Mas Dira. Kecepatan tinggi melajukan motor. Mas Dira pasti sudah sangat terlambat. Atau jangan-jangan Mas Dira dipukulin Boris. Pikiranku semakin tak menentu. Untung saja tahu jalan pint
PoV AbangEsok harinya, pukul tujuh pagi, aku dan Ayu kembali pulang ke rumah Bunda. Semakin hari, semakin beruntung memiliki istri seperti Ayu. Dia sungguh istri yang baik. Semakin hari pula, rasa cintaku padanya semakin besar. Tidak sia-sia aku mencintainya dalam diam bertahun-tahun lamanya.Aku tahu, tidak ada wanita yang sempurna di dunia ini. Akan tetapi, bagiku Ayu adalah wanita yang sempurna. Bukan kecantikannya saja yang membuatku jatuh hati, sebab kecantikan tidak akan kekal selamanya. Bisa luntur dimakan usia atau waktu.Sekarang Ayu berwajah cantik, putih, dan mulus, bisa saja saat ia tua nanti, tidak secantik sekarang. Aku tidak mau mencintainya sekadar fisik karena kuyakin, jika hanya itu alasan mencintainya, tidak akan bertahan bersama sampai menua nanti.Aku mencintai Ayu karena ketulusan hatinya. Kebaikan budi pekerti dan jiwa sosial yang ia miliki sangat tinggi.&n
PoV AbangUsai berberes, aku dan Ayu keluar kamar. Menemui Bunda hendak pamit. Wanita yang telah melahirkanku duduk di kursi depan teras.“Bun, kami pamit. Bunda baik-baik di sini.” Tatapan Bunda tetap ke depan, tidak menoleh sedikit pun. Aku menghela napas, sementara Ayu berjongkok di sisi kursi tersebut.“Bunda ....” Ayu memanggil dengan lembut“Silakan. Silakan kalau kalian mau pergi. Toh semua ini sudah Bunda duga sebelumnya.”Sepertinya bakal terjadi pembicaraan panjang. Aku duduk di kursi sebelahnya, begitu pun dengan istriku.“Maksud Bunda apa udah diduga sebelumnya?”Bunda menarik napas panjang, menyandarkan tubuh, lengan kanan kiri tertumpu pada pegangan kursi.“Kalau kalian menikah, pasti akan ninggalin Bunda. Makanya dulu, Bunda sempat gak setuju.”
PoV PutriAku bersyukur, hari ini telah resmi menjadi istri Mas Firman. Meskipun tiga kali salah dalam mengucap ijab qobul, tapi ucapan keempat akhirnya disah-kan oleh para saksi.Pernikahan kami sangat sederhana. Hanya dihadiri Kak Silvi, Bang Dion, Pak Rt tempat kediaman kami beserta istrinya, dan tetangga kanan kiri.Usai acara, aku membagikan nasi kotak dan selembar amplop berisi uang untuk mereka sebagai ucapan terima kasih karena bersedia hadir dalam pernikahan kami. Seharusnya memang pihak pengantin yang menerima amplop, tapi tidak jadi masalah, mengingat uang Mas Firman sangat banyak.“Put, pulang yuk! Aku pengen pulang.” Mas Firman mulai merengek.“Iya, Mas. Bentar lagi ya. Putri mau ngobrol dulu sama Kak Silvi. Mas main game aja di sana.” Aku menunjuk bangku panjang di depan ruangan KUA sambil menyerahkan ponsel. Mas Firman pun berjingkat, duduk
PoV AbangMalas banget keluar kota. Pulang pasti larut malam. Semoga saja masalahnya cepat kelar, jalanan gak macet.“Sayang, kok belum berangkat? Kenapa?” Istriku bertanya, duduk di atas kasur seraya mengelus rambutku. Aku yang sedang rebahan menoleh.“Males, Sayang.”Dia menggeser tubuhnya, ikut berbaring di sampingku, memeluk. Duh ilah, makin malas aja dah.“Bang, Ayu juga maunya kita gini terus. Tapi ... Abang taulah omongan Ayu selanjutnya.”Membelai kepalanya yang berbalut hijab.“Ayu ikut ajalah, Sambil jalan-jalan.” Ayu bangun, duduk seraya menatapku.“Nanti Ayu malah ganggu. Udah deh, bangun, yuk! Tadi Bang Dion udah teleponin tuh!”Akhirnya mau tak mau, beranjak dari tempat tidur. Mengganti pakaian dan berangkat.“Hati-hati ya, Bang?&rdq
PoV AbangKudorong tubuh Dita dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur. Sialan! Kenapa harus ketemu lagi sama wanita gila!“Den, ada apa?” Pertanyaan Dion tak kuhiraukan.“Lima tahun aku mencintaimu, Dendi! Aku menunggumu! Kenapa kau pergi gitu aja!!” Cih! Perkataannya seolah kami pernah menjalin hubungan. Padahal gak sama sekali.“On, mending kita pulang! Batalin semua!”Hampir saja tersungkur, Dita memeluk sebelah kakiku.“Mbak! Hentikan, Mbak!”Sergah Desi dan wanita satunya lagi. Membantu melepaskan kedua lengan Dita dari kakiku.“Lepasin, Dita! Lepasin!” Kedua tangan Dita akhirnya terlepas.“Ayok, On! Cabut!”Setengah berlari keluar dari rumah Wijaya Kusuma. Aku tidak mau mengambil resiko. Wanita itu benar-benar nekat.
PoV SilviAlhamdulillah, acara wisuda sudah selesai. Aku bersyukur, dapat dihadiri oleh Mama, Bapak, Putri, dan Syifa. Begitu pula sahabatku, Ayu. Dihadiri oleh Bunda, Ibu, dan Bang Dendi.Aku dan Ayu tak henti mengumbar senyum. Di dalam sana, kami sempat menangis haru. Terutama aku, menangis haru karena dapat membiayai kuliah sendiri. Tanpa uluran biaya dari orang tua.“Kita keluar, yuk? Mereka pasti udah nunggu.” Ajak Ayu, aku mengangguk. Menyeka air mata, menarik napas, lalu berjalan menuju pintu luar.“Selamat istriku ... Abang bangga banget Ayu dapat nilai cumlaude.” Abang menyambut Ayu dengan buket bunga yang indah.“Makasih, Abang.”Aku pun berjalan ke arah keluarga.“Neng ... selamat ya? Ini bunga buat Neng.” Bapak memelukku.“Makasih, Pak.&rdqu
PoV BundaEsok adalah hari pernikahanku dengan Prasetya alias Bramantyo. Rasanya tak sabar, tinggal satu atap dengan lelaki yang dicintai tanpa harus bersembunyi lagi.Apalagi sekarang Dendi dan Ayu sudah tidak tinggal di rumah lagi. Setiap hari selalu merasa kesepian. Sementara Bram, hanya dapat berkunjung siang hari atau tengah malam. Tapi sekarang hatiku sangat lega, membayangkan bisa berduaan sepanjang hari bersama Mas Bram.“Mas, jangan lupa, besok mas kawinnya dipersiapkan. Aku gak mau lho jumlahnya berkurang. Masalahnya kan ketua RT, teman-teman arisan dan beberapa tetangga akan hadir.” Aku mengingatkan lelaki yang napasnya masih terengah akibat ‘permainannya.’“Sudah aku siapkan, Sayang,” sahutnya sambil mengusap area sensitifku.“Udah, ih! Capek tau!” Menghempaskan tangannya agar menjauh. Ia terkekeh.&nb