PoV Abang
Aku dan Dion saling pandang. Tidak percaya kalau Firman melupakan sikap kekanak-kanakannya. Bagaimana bisa dia melupakan kejadian yang pernah dialami?
“Terus, yang lo inget apanya doang? Sama si Putri inget?” Dion masih penasaran. Dia tampak serius menunggu jawaban adik iparnya.
“Ingetlah, Bang. Masa istri sendiri lupa?”
Dion menoleh padaku, keningnya masih mengkerut. Pandangan Abang iparku itu beralih pada Firman lagi.
“Waktu ... lo mau perkosa Ayu, inget gak?”
Astaghfirullah si Dion! Ngomongnya ngejeplak banget.
“Perkosa Ayu? Ayu mana?”
“Istri dia! Adek gue. Lo inget gak, waktu gue tonjokin? Waktu ditonjok ama si Dendi? Waktu gue telanjangin, lo Cuma pake celana boxer doang? Inget gak?”
Firman tampak terkejut mendengar beberapa pertanyaan Dion. Dia tidak langsung menj
PoV DionKampret punya adek ipar! Songong banget dah! Pandanganku mengitari sekeliling. Waduh, sendirian lagi! Tanpa pikir panjang, langsung masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin, lalu keluar area parkiran.Sepanjang jalan aku tak henti mengumpat. Bisa-bisanya dikerjain adek ipar. Pikiran terkuras, tenaga serasa diperas, eeh ... malah dikerjain pula! Apes dah.Tiba di rumah, Silvi menyambutku. Wajahnya kusut. Dia kelihatan sudah mengantuk.“Neng belum tidur?” Silvi menggamit lenganku, kepalanya direbahkan pada bahuku. Ia menggeleng lemah.“Abang kenapa pulangnya lama banget? Gak biasanya?”“Pengen cepet-cepet kelar kerjaan. Biar weekend bisa nginap di puncak. Kita liburan.” Kedua bola mata Silvi berbinar. Ia mengerjapkan mata berkali-kali menatapku“Nginap di puncak??? Serius??”Aku
PoV DionUsai Shalat Subuh, aku bergegas keluar kamar, hendak sarapan. Silvi yang melihatku buru-buru keluar kamar, tampak kebingungan. Ia berjalan cepat di belakangnku.“Abang mau kemana?”“Mau sarapan.”“Tumben.” Aku tak menghiraukan keheranan Silvi, mengambil sepotong roti tawar, mengolesi selai, lalu melahapnya.“Mau susu hangat gak?” Istriku menawarkan. Tanpa berkata, aku mengangguk. Silvi langsung mengerjakan apa yang dia tawarkan.“Lho, tumben sekali jam segini sudah sarapan, Nak?” Ibu tiba-tiba datang. Duduk di kursi sebelahku.“Lagi pengen cepet-cepet ke kantor, banyak kerjaan, Bu. Pengen cepet kelar.”“Biasanya gak gini walaupun banyak kerjaan. Ayok bilang ke ibu, ada apa?” Ibu memerhatikanku lekat. Naluri ibu memang gitu ya?
PoV Ayu“Bang Dion sepagi ini udah di kantor, Bang?” tanyaku memastikan setelah mendengar perbincangan antara suamiku dan Bang Dion melalui sambungan telepon. Abang mengelus rambutku, mengecup puncak kepala.“Iya. Katanya kejebak di dalam lift, mati lampu.” Kedua mataku memicing, tak percaya kalau perusahaan Abang mengalami mati lampu apalagi masih pagi begini.“Masa mati lampu?”“Gak tau. Abang juga heran. Mau mandi bareng apa abang duluan?”“Abang duluan aja. Ayu mau beresin ini dulu.”“Gara-gara si Dion telepon, semuanya jadi gerak cepet.” Tersenyum geli melihat ekspresi bibir Abang yang manyun. Kukecup pipinya.“Yang penting kan klimaks. Dah sana mandi dulu!”“Iya, Sayang.” Abang beranjak ke toilet. Sementara aku merapikan sprey dan
PoV Silvi Astaghfirullah, gak nyangka kalau Cindy menjadi simpanan Om-Om. Setahuku, dia anak orang kaya raya. Bokapnya seorang pejabat. Walaupun menurut Om itu terjerat korupsi. Tapi Masa iya sampe rela jadi sugar baby? Setelah kepergian Cindy dengan Om-Om, aku menghampiri Ayu. Ayu juga tampak shock melihat kejadian tadi. “Yu, Ayu!” kusenggol bahunya. Ayu menoleh. “Gak nyangka ya?” Ayu hanya mengangguk. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Lo kenapa? Kaget? Atau ada yang lo pikirin?” Sahabatku itu duduk di kursi kasir, menghela napas. “Gue baru inget cerita Ibu.” “Cerita Ibu?” menarik kursi yang tak jauh dariku, lalu duduk. Menyimak pembicaraan Ayu selanjutnya. Aku menengok sekeliling, hanya ada dua pembeli. Biarlah, ada Mira. Dia bisa melayani kalau Cuma dua pembeli. Aku lagi penasaran sama cerita Ayu. “Iya. Ibu pernah c
PoV AbangBaru saja masuk ruangan kantor, Dion menyembul dari balik pintu.“Done!!! Finally, kerjaan gue kelaarr!!!”Lelaki berkepala botak itu setengah berteriak, duduk di bangku yang bersebrangan denganku. Kedua tangannya di rentangkan. Memutar badan ke kanan ke kirim“Lo datang jam berapa ke kantor?” tanyaku melihat kedua bola mata Dion yang berkantung hitam. Seperti kurang tidur.“Kayak biasa, jam 6 pagi,” sahutnya menaikkan kaki kiri ke atas paha kanan.“Gak digangguin lagi?”“Ama siapa?”“Mbak Kunkun.”“Kagak! Udah akrab ama gue. Maren-maren itu perkenalan doang. Macam diospek. Hahahha.”Menggeleng-gelengkan kepala menanggapi guyonan sahabatku dari SMP itu. Aku membuka laptop, memeriksa beberapa email yang masuk.&nb
PoV AbangMasih dengan emosi meluap, aku keluar ruangan Herlina. Kubiarkan ia tercenung mendengar ucapanku.Dasar wanita iblis! Kapan berubah ke arah lebih baiknya?“Den, gue udah bilang ke Pak Heru. Herlina cabut aja dari rumah sakit. Suruh rawat di sel aja,” ucap Dion. Giginya gemeletuk menahan rasa kesal. Aku mendesah, menepuk pundak sahabatku itu.“Gak usah. Biarin aja dia dirawat di sini sampai dokter mengijinkan pulang.”“Elah, Den! Buang-buang duit! Tuh orang gak punya otak! Gak ada hati! Udah ditolongin bukannya insyaf, malah makin jahat! Bisa-bisanya dia mikir mau balas dendam ke kita! Udahlah, biar dia mati membusuk di penjara!” Dion sangat emosi, wajahnya memerah karena amarah.“Pak Dendi, Pak Dion, kami serahkan keputusan perawatan Ratih Herlina pada Bapak-bapak sekalian. Semisal, mau dirawat di tahanan, tidak apa
PoV AyuMalam ini, Abang berkemas pakaian untuk hari esok ke puncak. Ia tak mengijinkan aku untuk membantunya. Jadilah, selonjoran di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang, sambil memerhatikan Abang yang tampak sibuk memilah-milih pakaian yang akan kami bawa.“Lingerie ini dibawa ya, Sayang?” Abang mengangkat linegrie hitam berenda.“Buat paan?”“Buat dipake di sana.”“Ih, Abang. Malu tau. Perut Ayu kan buncit. Jelek dilihatnya.” Aku mengelak tidak percaya diri. Kalau pakai itu, bukannya seksi malah kayak badut. Nanti yang ada bukan bikin suamiku bergairah, malah bikin dia lemah.Abang menghampiri, duduk di sebelahku. Tangannya masih memegang pakaian tipis itu.“Siapa bilang jelek? Kalau menurut Abang ya, kalau Ayu pakai ini, bakal terlihat tambah seksi. Suer deh!”&ld
PoV AbangAlhamdulillah, kami tiba di Villa dengan selamat. Perjalanan pun tidak terjebak macet terlalu lama. Kulihat Ayu memegang belakang pinggang, dia kelihatan lelah sekali. Berbeda dengan Silvi, istri sahabatku itu selama perjalanan mulutnya tidak berhenti mengunyah. Makan terus tiada henti. Aku menghampiri Ayu, menunggu Silvi dan Dion mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil.“Sayang, langsung ke kamar aja ya?” tanyaku pada Ayu. Ia menoleh, kedua matanya sayu.“Gak apa-apa emang mereka Ayu tinggal?”“Gak apa-apa. Yuk Abang anter. On, barang-barang gue, biar gue aja nanti yang bawa. Lo berdua langsung istirahat aja.” Dion mengacungkan Ibu jari.Aku memapah Ayu berjalan masuk ke dalam Villa. Kamar kami berada di dekar ruang keluarga. Sementara Dion dan Silvi dekat ruang tamu. Kamar depan. Biasa ditempati oleh Ayah dan Bunda. Aku sengaja tidak memilih