PoV Abang
Alhamdulillah, kami tiba di Villa dengan selamat. Perjalanan pun tidak terjebak macet terlalu lama. Kulihat Ayu memegang belakang pinggang, dia kelihatan lelah sekali. Berbeda dengan Silvi, istri sahabatku itu selama perjalanan mulutnya tidak berhenti mengunyah. Makan terus tiada henti. Aku menghampiri Ayu, menunggu Silvi dan Dion mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil.
“Sayang, langsung ke kamar aja ya?” tanyaku pada Ayu. Ia menoleh, kedua matanya sayu.
“Gak apa-apa emang mereka Ayu tinggal?”
“Gak apa-apa. Yuk Abang anter. On, barang-barang gue, biar gue aja nanti yang bawa. Lo berdua langsung istirahat aja.” Dion mengacungkan Ibu jari.
Aku memapah Ayu berjalan masuk ke dalam Villa. Kamar kami berada di dekar ruang keluarga. Sementara Dion dan Silvi dekat ruang tamu. Kamar depan. Biasa ditempati oleh Ayah dan Bunda. Aku sengaja tidak memilih
PoV AyuAku dan Silvi menonton televisi sambil menunggu kedatangan Abang dan Bang Dion. Aku berjalan ke arah gorden ruang tamu, memastikan kedatangan Mang Asep, tapi sudah satu jam lamanya lelaki itu tidak kunjung datang.“Belum pada pulang ya, Yu?” tanya Silvi saat aku kembali ke ruang keluarga. Aku duduk di sampingnya.“Belum. Gue bukan lihat kedatangan Abang, tapi lihat Mang Asep udah dateng apa belum. Tadi kan kata Abang Mang Asep mau ke sini. Tapi sampe sekarang belum juga muncul.” Silvi mengambil biskuit, melahapnya.“Masih di jalan kali, atau gak jadi. Coba lo telepon Abang.”“Udah. Gak diangkat. Kayaknya Abang lagi dijalan.”Tak berlangsung lama, handphoneku berdering. Mungkin panggilan dari Abang.Keningku mengkerut saat mengetahui nama kontak si pemanggil.“Siapa?” Silvi melon
PoV BundaKenapa Dendi kepikiran berlibur ke Villa itu? Bukankah selama ini dia paling enggan pergi ke sana karena selalu ingat almarhum Ayahnya? Villa di puncak salah satu kenangan yang paling berkesan antara Dendi dan Ayahnya. Dulu aku ingat betul, sewaktu Dendi menyuruhku agar menjual Villa, saking tidak mau mengingat kenangan Ayahnya. Tapi sekarang justru sedang di sana.Aku pikir, Dendi tidak pernah ke Villa lagi. Makanya segala sesuatu yang berhubungan tentang masa laluku, aku simpan di salah satu kamar Villa. Bagaimana kalau mereka sampai tahu salah satu kamar yang kujadikan tempat rahasia tentang masa laluku?Masa lalu yang kusembunyikan rapat-rapat. Tidak ada seorang pun yang tahu akan kebenaran ini kecuali Pak Darmoko dan Ibu Rukmini. Orang tua angkatku.Menghempaskan tubuh pada sofa, bersandar sembari memijat pelipis.Belum selesai masalah Mas Bram, sudah muncul masala
PoV AbangKuembuskan napas panjang saat Bunda memutuskan sambungan telepon. Aku yakin sekali, penyebab Ayu menangis adalah Bunda. Tidak habis pikir, kenapa Bunda sekarang seolah membenci Ayu? Padahal dulu sangat menyayanginya.“Bro, lo baik-baik aja?” Dion menepuk pundakku. Ia sudah duduk di bangku teras. Aku merunduk, memainkan kunci mobil.“Bunda yang telepon lo?” Aku mengangguk. Menatap ayunan yang dahulu sering aku mainkan bersama Ayah.“Gue ... gak habis pikir sama Bunda. Kenapa jadi kayak gak suka gitu sama Ayu?” Dion mengembuskan napas. Menaikkan sebelah kaki kiri ke atas paha kanan.“Gue gak tau. Apa mungkin karena Bunda udah tau keluarga kandung Ayu? Mungkin Bunda gak suka sama gue atau Ibu, pelampiasannya jadi ke Ayu.”“Kayaknya bukan karena itu. Bunda dari awal tahu gue punya perasaan khusus ke
PoV AbangBagaimana pun caranya, suatu saat aku harus bisa masuk kamar itu lagi. Aku sangat yakin, kalau ada sesuatu yang Bunda sembunyikan di sana.“Ada Bunda ya, Bang?” tanya Ayu, saat sudah di halaman belakang. Aku menghela napas, mengangguk. Ayu mengelus pundakku.“Punten, Neng Ayu. Ini pemanggangnya.” Aku menoleh ke asal suara, Mang Asep.“Iya, Mang, makasih.” Ayu mengambil alih alat tersebut dari tangan lelaki usianya sekitar tujuh puluh tahunan itu.“Mang Asep kapan datang?” tanyaku pada lelalki yang telah menjaga Villa ini bertahun-tahun.“Belum lama. Tadi pas Mamang datang, Neng Ayu nanyain panggangan sate. Mamang simpan di dekat gazebo depan.” Aku mengangguk. Memasukkan tangan ke dalam saku celana.“Mang Asep! Ikut saya!!” kami semu menoleh ke belakang. Rupa
PoV AyuRaut wajah Bunda seketika berubah tegang setelah mendengar pertanyaan Abang. Sejujurnya aku sangat takut terjadi pertengkaran antara Abang dan Bunda. Bagaimana pun sikap Bunda padaku, sama sekali tidak mengurangi rasa sayang padanya. Bunda adalah wanita yang telah menolong, merawat dan membesarakanku dengan penuh kasih sayang. Andai dahulu Bunda mengabaikan bayi di dalam kardus itu atau malah menyerahkannya kepada pihak berwajib, entah bagaimana nasibku kini. Meski setelah aku menikah dengan Abang sikap Bunda berubah, tapi tidak ada sedikitpun kebencian dalam hati.“Kenapa bawa-bawa Papa Bram? Bunda Cuma mau kamu lebih perhatian sama Bunda! Misalnya kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.”“Bisa Bunda. Abang bisa memberi perhatian lebih sama Bunda.” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara. Tidak mau hubungan Abang dengan Bunda semakin memburuk. Aku harus dapat memperbaiki semuanya.&
PoV BundaAkhirnya aku bisa bernapas lega. Dendi, Ayu, Dion dan istrinya sudah enyah dari Villa ini. Setidaknya untuk sementara waktu, rahasiaku aman. Meski aku yakin, Dendi tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan selalu mencari tahu tentang apa yang aku sembunyikan. Untung saja, semalam dibantu oleh Mang Asep, beberapa foto dan buku harian sudah dipindahkan ke dalam gudang. Tidak lagi kusimpan di kamar itu.Lebih baik sekarang aku bergegas mandi, dan kembali pulang. Semalam Mas Bram menelepon, mencari keberadaanku tapi sengaja tidak aku beritahu. Biarkan saja, dia mengalami kesepian yang aku alami beberapa hari ini.Masuk kamar, handphoneku berdering. Pasti dari Mas Bram. Kuraih ponsel tersebut, ternyata nomor baru. Tidak penting! Meletakan benda canggih itu ke tempat semula. Aku paling malas mengangkat telepon dari nomor baru.Usai membersihkan diri, bersiap untuk pulang. Sambil mengenakan kerudung
PoV AbangAku melirik Ayu, sudah tertidur pulas. Untungnya, kram yang ia rasakan tidak berlangsung lama. Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi, aku beringsut keluar kamar.Di dapur, kulihat Dion sedang menyeduh kopi.“Gue kira lo tidur.” Cetusku, duduk di kursi meja makan. Dion menoleh, tangannya mengaduk kopi.“Kagak. Silvi doang. Lo mau kopi?”“Bolehlah.”Dion membuka sachet kopi, menuangkan pada secangkir gelas, lalu membawa pada dispenser bagian hot, menekannya.“Sebenarnya lo ada masalah apa sama Bunda?” Dion bertanya, meletakkan secangkir kopi di hadapanku.“Bunda ngerahasiain sesuatu lagi,” kataku mengaduk-aduk kopi buatan Dion. Sahabatku itu menunggu kelanjutan cerita tentang Bunda. Meniup kepulan asap kopi, menyesapnya perlahan.“Jadi semalam, pas
PoV AbangKami keluar lewat jendela yang menggunakan kode. Merapat pada dinding seebelum melanjutkan langkah, memastikan keadaan aman. Lalu berlari menuju gudang.Masuk lewat jendela, menutup kembali agar tidak meninggalkan jejak. Aku dan Dion seperti terkejar oleh waktu. Waktu yang dapat mendatangkan Mang Asep ke Villa ini dan memeriksa keadaan.“Gerak cepat, On!” titahku, Dion mengangguk. Mencari tahu apa yang seharusnya aku ketahui. Mataku tertuju pada sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Dengan gerak cepat membuka kotak tersebut, tapi hasilnya nihil. Tidak ada apa-apa. Dion memeriksa lemari usang di sudut ruangan. Aku tak yakin kalau Bunda menyimpannya di sana. Terlalu mudah ditebak. Mendongak, melihat ke plafon. Mungkin gak ya simpan di atas sana? Saat hendak naik ke atas kotak, ternyata benda itu tidak seimbang, seolah ada sesuatu yang mengganjal di bawahnya.“On, sini! Bantu