PoV Abang
Dion pergi ke tempat pengepungan kontrakan Herlina. Sementara aku dan Pak Supri berjaga-jaga di rumah. Khawatir kalau Herlina mengetahui lokasinya sudah dikepung oleh polisi, dan lagi – lagi ia melarikan diri.
Ibu sudah beristirahat di kamar tamu. Mama Dahlia, Syifa dan Silvi duduk di ruang televisi. Sedari tadi, Silvi menelepon Putri, adiknya yang menikah dengan Firman. Firman tiada lain anak tunggal Herlina. Kemungkinan Herlina menemui Firman sangatlah besar. Mending kalau kedatangan Herlina menemui Firman hanya melepas rindu, bagaimana kalau kedatangan Herlina ke rumah Firman justru ingin membunuh anak dan menantunya? Apalagi menurut cerita Putri, Herlina pernah memberi racun pada segelas air susu yang ingin diteguk oleh Firman. Untung saja ketika itu diketahui oleh Putri, hingga Firman tak lantas meminumnya.
Kini, aku dan Ayu masih duduk di sofa ruang tamu. Ayu memijat pundakku.
&
PoV AbangTubuhku kembali melorot, duduk memeluk kedua lutut. Pengakuan Herlina soal kematian Ayah kembali terngiang. Sedari dulu, aku dan Bunda tidak pernah menduga, kalau Ayah meninggal karena dibunuh bukan karena kecelakaan semata.Air mataku kembali mengalir, Teringat sosok Ayah. Ayah yang selalu menjadi kebanggaanku, Ayah yang kujadikan contoh, Ayah yang menasehatiku agar selalu menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berkomitmen.‘Ayah ... Dendi kangeeen ....’ Aku terus membathin. Hati ini terasa diiris sembilu mendengar pengakuan Herlina tentang pembunuhan terhadap Ayahku. Ia sungguh licik, membunuh seseorang dengan kedok kecelakaan.“Mas Dendi ... saya mengerti apa yang Mas alami sekarang. Tapi, Mas Dendi harus ingat, yang sudah terjadi tidak bisa kembali terulang. Apalagi orang yang sudah meninggal. Kasihan almarhum, kalau ada orang yang belum mengikhlaskannya. Maaf
PoV AbangAlhamdulillah Putri dan Firman sudah sadarkan diri. Mereka sudah dipindahkan di ruang rawat inap. Aku, Dion, dan Pak Supri menemui Firman. Sementara yang lainnya ke ruangan Putri. Kasihan Firman, sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Herlina yang dijadikan tempatnya berlindung justru ingin melenyapkan nyawanya. Sekarang Cuma Putri dan keluarga yang dapat menemani lelaki yang kadang bersikap selayak anak kecil, kadang bersikap dewasa.Membuka pintu ruangan, Firman menoleh. Perban melilit kepalanya, juga selang infus masih terpasang. Kondisi Firman lebih baik ketimbang keadaan Putri.“Sukurlah lo udah sadar. Masih ada yang sakit?” Dion memulai pembicaraan. Aku dan Pak Supri berdiri tak jauh darinya.“Sedikit. Cuma kepala aja masih pusing.”Kalau dilihat cara dia berbicara, Firman sekarang sedang berada di sikap dewasa.“Gak apa-apa, nant
PoV PutriHari ini, aku dan Mas Firman sudah diperbolehkan pulang. Mama dan Pak Supri membantu kami berkemas.Karena ruanganku dan Mas Firman bersebelahan, mudah bagi Mama atau Pak Supri membantu.Kami sudah berada di dalam mobilAku dan Mas Firman duduk di bangku belakang kemudi, sementara yang menyetir Pak Supri, di sebelahnya duduk Mama.“Ma, kalau Mama mau, Mama sama Syifa tinggal di rumah kami aja. Gak perlu ngontrak lagi.” Usulan Mas Firman membuatku terhenyak. Tak menyangka ia punya pemikiran seperti itu. Memang, semenjak kepalanya dipukul Vas Bunga oleh tante Ratih, aku merasa sikapnya berbeda. Sudah lima hari di rumah sakit, dia tidak pernah lagi bersikap seperti anak kecil.Mama dan Pak Supri saling adu tatap. Barang kali Mama meminta persetujuan Pak Supri.“Hm ... gimana ya, Nak. Mama ... takut merepotkan.”“Gaklah, Ma ... jus
PoV Sabrina“Rina! Ngapain pegang-pegang hape gue?? Siniin!!” Keluar dari toilet, Cindy tergesa-gesa menghampiriku.Sedikit pun tidak terkejut dengan ekspresi Cindy. Sikapnya yang seperti ini sudah kuduga sebelumnya. Ia merampas paksa handphone dari tanganku.Aku berdiri, bersidekap di depannya. Cindy memasukkan handphone ke dalam tas.“Napa lo?” Cindy bertanya sinis. Tanpa basa-basi aku balik tanya.“Kenapa kontak bokap gue lo kasih nama ‘Om Sayang???” kedua bola mata Cindy membulat. Jelas sekali dia terkejut. Aku curiga, kalau Cindy dan Papa punya hubungan khusus.“Lo ngomong apaan sih? Gak ngerti gue. Dahlah gue mau balik ke kantor!” Kutarik lengannya, mencegah langkah kaki Cindy.“Jangan pura-pura b*go!! Lo tinggal jawab, kenapa kontak Papa gue, dikasih nama Om Sayang???!!” Sudah pus
PoV CindySahabat tidak tahu terima kasih! Sudah ditemenin, malah kayak gini balasannya. Cuma karena aku menjalin hubungan dengan Papanya, dia sampe marah besar! Harusnya Rina berterima kasih padaku, sudah membuat Om Rahmat bahagia. Bahagia lahir bathin. Ini malah mencak-mencak.Duh perih sekali pipiku gara-gara ditampar Sabrina. Dia bilang aku j*lang? Cih sok suci! Padahal dulu dia juga gak lebih dari J*lang. Free sex, narkoba, bunting dua kali. Sekarang tingkahnya sok kayak bidadari yang suci. Yang tidak pernah melakukan dosa. Aiihh amit-amit jabang bayi, jangan sampe ya Nak kamu kayak Kakak Tiri kamu itu. Kuusap perut berulang kali.Masuk ke dalam mobil, meninggalkan kontrakan kecil Sabrina.Sepanjang jalan, pikiranku tak bisa fokus. Kejadian beberapa menit lalu masih saja terbayang. Seumur hidup, baru kali ini ada yang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah menampar, lah ini! Calon anak tiri!! Lihat
PoV SabrinaAku harus menemui Papa. Meminta kejelasan tentang hubungannya dengan Cindy. Kalau Papa mengakui, sebisa mungkin, aku harus membujuk Papa agar mengakhiri hubungannya dengan bekas sahabatku itu. Biar bagaimana pun, aku tidak mau Papa Mama bercerai. Apalagi sampai Mama mengetahui perselingkuhan Papa.Pantas saja Cindy hidupnya bergelimang harta, berpenampilan modis seperti dahulu, sebelum Papanya dibui. Ternyata menjadi simpanan Om-Om. Sahabat pekhianat!! Entah sudah berapa lama hubungan terlarang itu terjalin.Beranjak ke toilet, membasuh muka, memakai make up tipis, lalu keluar rumah, menunggu taksi yang sudah kupesan.Kendaraan beroda empat itu pun datang, masuk ke dalam, kemudian melaju ke alamat yang sudah aku beritahukan pada Pak Supir.Setibanya di rumah Papa, setelah membayar ongkos taksi, bergegas masuk. Mencari sosok Papa.“Pa ... Papa!!&rdqu
PoV AyuSekitar sepuluh menit kepergian Pak Boris, Silvi kembali ke butik. Dia langsung memelukku.“Ya Allah, Yu ... untung lo punya ide berlian. Gue hampir aja bilang karyawan di sini. Makasih ya udah nolongin gue.” Aku tersenyum. Melepaskan pelukan. Wajah Silvi masih terlihat cemas.“Iya sama-sama.”“Mira, makasih. Kamu juga udah bantu aku. Langsung paham diajak kerja sama.”“Awalnya Mira gak ngerti, Mbak. Tapi pas lihat sikap bapak-bapak itu yang kelihatan kasar, Mira jadi ikutin permainan Mbak Ayu. Hehehe.”Lagi, Silvi memelukku dan Mira bergantian.“Pokoknya makasih banget.”***Tiba di rumah, pukul empat sore. Langsung membersihkan diri, menyambut kepulangan suami.Setelahnya, keluar kamar, menuju dapur untuk menemui Bi Sumi.“Mbak Ayu, mau
PoV Abang “Maaf Bu, Bukannya Prasetya mantan suami Herlina sudah lama meninggal?” Ibu mengembuskan napas. “Dulu, Ibu sama Almarhum suami Ibu datang sewaktu Prasetya meninggal. Tapi pihak keluarga melarang para pelayat membuka wajah Pras yang memang ditutupi dengan kain jarik. Sedangkan Herlina, saat itu sibuk melayani para pewarta berita. Karena memang kan, Pras pengusaha muda yang sangat sukses. Jadi tuh, kata Bram kemarin. Pas Herlina membekap wajahnya dengan bantal, ia pura-pura mati. Menahan napas beberapa menit. Meyakinkan Herlina kalau dia memang sudah mati. Sudah lama katanya Pras curiga Herlina ingin membunuhnya. Yang lebih mengejutkan, Pras ini melakukan operasi menukar wajah. Kayak di film-film itu. Orang yang tahu operasi itu Cuma dokter Rahmat dan Bunda kamu. Makanya dokter Rahmat menjadikan itu ancaman kalau Pras tidak mengabulkan keinginannya. Sedangkan Pras, gak mau pisah sama Bunda. Kalau sampai ketahuan polisi, itu bisa dikatakan pemalsuan identitas. Katanya bisa dip