Indi mengusap wajahnya hingga ke rambut. Dengan lemas, perempuan itu menyandarkan punggungnya di pagar besi karena lemas tak berdaya.“Kapan pulangnya, Pak?” tanya Indi kembali.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Ditelepon saja, kalau mau tahu Mas Arion kapan pulang.”Indi menggigit bibir bawahnya karena Arion tak pernah menghubunginya dan dia tidak memiliki nomor ponsel lelaki itu.“Nomornya nggak aktif, Pak. Kalau boleh tahu, orang tua Arion bisa diganggu sebentar nggak ya, Pak?”Indi lalu berpikir ulang. ‘Orang tua Rachel nggak tahu kalau dia yang udah bunuh diri.’ Indi menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menatap penjaga itu. “Nggak jadi, Pak. Nanti saja ke sini lagi.”“Pak. Bukain gerbangnya. Saya mau jemput anak saya, katanya sudah di bandara,” titah perempuan paruh baya akan tetapi masih terlihat cantik dan awet muda.Perempuan bernama Nindy itu lantas mengerutkan kening kala melihat Indi yang tengah berdiri di depan gerbang.“Kamu ….” Nindy menunjuk wajah Indi. Lalu, perempuan i
“Haaah? Hamil? Emangnya Rachel pernah hamil? Boro-boro hamil, Indi. Damian naikin Rachel aja bisa keitung jari. Elo yang tiap hari dinaikin aja kagak jadi-jadi. Apalagi si Rachel. Ngadi-ngadi.”Diego tampak tak percaya kalau Rachel pernah hamil. Sebab Damian pun tidak pernah membahas hal tersebut kepadanya. Sementara Damian selalu menceritakan apa pun yang berkaitan dengannya.“Damian nggak pernah berharap punya anak sama Rachel karena katanya nggak ada kesempatan buat deketin elo lagi. Ngapa sih lo, susah amat dideketinnya? Sekarang aja, udah jadi duda baru bisa dideketin. Itu pun abis putus sama Rangga. Kalau Damian nggak gue dorong-dorong buat deketin elo, mana mungkin kalian bisa nikah sampe sekarang.”Indi menghela napas kasar. “Bukannya Damian memang udah ada rencana buat nikahin gue?”“Kalau rencana udah dari jaman kuliah. Dia itu pengen lindungi elo, Indi. Tapi, elo malah main sana main sini mulu. Nggak pernah awet karena kebanyakan cowok elo selingkuh. Dan gilanya, elo masih
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Indi mendapat kabar dari Bi Inah kalau Wijaya sudah siuman, ia segera menghampiri sang papa di lantai dua. Dengan langkah lebarnya, sampai akhirnya ia pun tiba di sana.Dengan napas yang terengah-engah, ia menatap sang papa yang tengah menatap kosong pada langit-langit ruangan sana. Bi Inah pamit keluar setelah Indi tiba di sana.“Pa.” Indi memanggil nama sang papa dengan pelan.Wijaya menolehkan kepalanya pelan kepada anak satu-satunya itu. “Indi. Apa yang terjadi, Nak? Kenapa … kenap—““Pa.” Indi menyela ucapan papanya itu. “Pa. Apa yang dikatakan oleh papanya Damian itu semua bohong. Aku nggak pernah melakukan hal gila itu hanya karena menginginkan Damian. Bahkan aku nggak tahu kalau Damian udah nikah sama Rachel. Aku nggak pernah melakukan hal itu, Pa. Tolong, percaya sama aku.”Indi berucap lirih, memohon kepada Wijaya agar jangan percaya dengan semua omongan Dipta yang telah menuduhnya membunuh Rachel dan juga Damian.Wijaya kemudian men
Lima bulan yang lalu ….Suara mesin mobil di depan halaman rumah Wijaya membuat lelaki itu keluar dari rumahnya, hendak melihat siapa yang datang malam-malam dengan gemuruh hujan yang begitu deras.“Damian?” Wijaya memanggil lelaki itu lalu membawanya masuk ke dalam. “Ada apa malam-malam datang kemari, Nak? Indi tidak akan pulang, dia sedang banyak kerjaan di butiknya. Tadi, sudah telepon Om.”Damian menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Nggak, Om. Indi bohong. Dia habis putus sama pacarnya karena Rangga harus menikah dengan perempuan lain yang diduga tengah hamil anaknya.”Wijaya membolakan matanya terkejut. “Apa? Kenapa bisa begitu? Jadi, selama ini Indi telah dikhianati oleh Rangga?” Wijaya tampak marah setelah mendengar info dari Damian.Pria itu mengendikan bahunya. “Kurang tahu kalau itu, Om. Aku nggak pernah ikutin Rangga, hanya Indi saja.” Damian tampak menerbitkan senyumnya.“Om. Minggu ini, please. Aku ingin menikahinya. Jangan biarkan Indi mencari pengganti Rangga lagi dan
Wijaya dinyatakan meninggal dunia oleh dokter yang menangani Wijaya.Indi yang shock mendengar kabar kematian papanya jatuh pingsan tak sadarkan diri dan hingga kini masih belum sadarkan diri.“Pak Damian, jadwal operasinya sudah kami ralat ke tiga hari yang akan datang. Kondisi Anda juga sudah sedikit membaik,” ucap Dokter Ryan memberi tahu.Kini, Damian tengah menunggu Indi yang masih terbaring di atas bangsal. Sudah satu jam lamanya Indi jatuh pingsan. Memegang tangan lembutnya itu seraya menatapnya dengan tatapan sayunya.“Damian. Mamanya Indi lagi di jalan mau ke sini,” kata Diego memberi tahu.Damian menoleh kepada Diego. “Heuh? Tahu dari mana?” tanya Damian terheran-heran karena mamanya Indi—Ayu, bisa tahu kalau Wijaya meninggal dunia.“Bi Inah yang ngasih tahu.”Damian menelan saliva pelan kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya. Sebentar lagi Papa akan dibawa ke rumah duka. Minta tolong ke Bi Inah kasih tahu ke mamanya Indi biar langsung ke rumah duka aja kalau udah sampai.”D
Wijaya sudah dimakamkan di TPU yang tak jauh dari komplek rumah Wijaya. Perempuan itu tengah membereskan semua barang-barang milik sang papa untuk dia bawa ke rumah barunya nanti.“Kamu istirahat aja. Kepala kamu bisa kambuh lagi kalau nanti bantu-bantu beres,” titah Indi kepada Damian yang tengah duduk di tepi tempat tidur.Kini, keduanya tengah berada di kamar milik Wijaya. Sementara Ayu berada di ruang tengah bersama Bi Inah dan juga sopir Wijaya.“Nanti kembali lagi ke rumah sakit? Kamu harus operasi, Damian,” tanya Indi kepada Damian.Pria itu menggeleng pelan. “Hanya kembali kalau mau operasi. Aku akan menemani kamu di sini sampai dua hari ke depan. Indi, bisakah kamu memaafkan mama kamu?” tanya Damian dengan suara pelannya.Indi menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Damian dengan lekat. “Dia memang mamaku, tapi sakit hatiku dan juga Papa masih bersarang. Nggak bisa maafin dia begitu aja hanya karena Papa udah nggak ada. Kamu udah janji akan menemani aku dan menjaga aku.
Indi menghela napas berat tanpa menatap sang mama atau bahkan mendengarkan penjelasan dari mamanya itu. Sementara Damian mengulas senyum sembari melirik Indi lalu menghela napasnya.“Ma. Mungkin, membutuhkan cukup waktu untuk membuat Indi menerima Mama kembali atau memaafkan kesalahan yang sudah Mama perbuat kepada Indi dan juga Papa. Bukankah dengan masih memanggil nama Mama, itu artinya Indi masih menganggap mamanya? Orang yang telah melahirkan dia ke bumi dan telah memilih keputusannya sendiri?”Indi terdiam. Hanya menatap Damian yang baru saja menasihati kedua orang di samping dan depannya itu. Pun dengan Ayu. Perempuan itu juga terdiam dan meresapi setiap ucapan yang dikatakan oleh menantunya tadi.“Lusa, aku harus melakukan operasi di kepalaku. Ada gumpalan darah membeku di sini dan harus segera diangkat. Aku harus banyak istirahat karena tubuhku masih sedikit lemas. Kalian bisa lanjutkan percakapannya.”Damian mengusapi pucuk kepala Indi lalu beranjak dari duduknya dan keluar d
Hari di mana operasi telah tiba. Damian sudah kembali ke rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi di kepalanya.Indi tengah menggenggam tangan Damian dengan rasa yang tak karuan. Menatap Damian, matanya tidak bisa menoleh ke mana pun selain menatap sang suami. Sementara Damian hanya terkekeh melihat wajah kekhawatiran Indi kepadanya.“I will be back, of course. Karena ada yang menungguku dan sangat mencintaiku. Mana mungkin aku tidak kembali sementara orang yang ada di depanku ini tidak mau jauh dariku,” ucapnya memberi hiburan kepada Indi agar perempuan itu menghilangkan semua kekhawatirannya.“Kamu tahu nggak, pertama kali kita bertemu dulu. Saat itu, aku baru pindah sekolah setelah satu tahun libur. Daftar ulang dan akhirnya satu kelas dengan kamu yang saat itu cueknya minta ampun. Diego, yang saat itu juga baru masuk lagi karena nggak mau jauh dariku akhirnya meminta aku untuk deketin kamu.“Aku deketin kamu meski susahnya minta ampun. Kita pacaran setelah enam bulan