Hampir lima jam lamanya Damian menunggu Indi melakukan perawatan yang dimulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sampai ketiduran dan itu membuat hiburan tersendiri bagi Indi yang melihatnya. "Damian?" Indi membangunkan Damian yang tengah tertidur pulas di sebuah sofa ruang tunggu. Damian lantas membuka matanya kemudian menoleh ke arah Indi yang tengah duduk di sampingnya. "Sudah selesai, heum?" tanya Damian sembari mengucek matanya. "Sudah. Yuk! Beli kalung. Tapi di toko lain, bukan di tokonya Rangga." Damian menerbitkan cengiran kepada Indi kemudian beranjak dari duduknya. "Iya, Sayang. Maafin aku. Jangan diingat lagi, yaa." "Heeumm ...." Indi hanya menjawab seperti itu. Keduanya lantas keluar dari salon tersebut dan mencari toko perhiasan yang ada di sana. "Indi. Ini, untuk kamu." Damian memberikan sebuah black card kepada Indi. Perempuan itu menaikkan alisnya sembari menatap Damian. "Untuk apa ini?" tanyanya kemudian. "Untuk digunakan sebagai alat transaksi lah, Indi. M
Damian mengusap wajahnya dengan pelan setelah mendengar pertanyaan yang ditanyakan oleh istrinya itu. “Aku harus apa agar kamu bisa melihat kalau aku sangat bahagia karena sudah menikah denganmu? Ada hal yang menjanggal sampai kamu bertanya seperti itu padaku?” Damian balik bertanya kepada Indi.Perempuan itu menggelengkan kepalanya. “Bukan itu yang ingin aku dengar, Damian. Iya, atau tidak?”“Iya. Aku sangat bahagia meskipun harus menunggu kamu balik mencintaiku, Indi. Jangan bahas itu lagi, oke? Ada yang lebih penting dari itu. Belanja. Kayaknya pikiran kamu akan jernih kembali kalau sudah membeli semua yang kamu butu—“Indi meninggalkan Damian yang masih berbicara. Melangkahkan kakinya sembari mencari toko yang bisa dia kunjungi untuk membeli semua yang dia inginkan. Damian kemudian mengikutinya dan menjajarkan langkahnya di samping Indi.“Kenapa ninggalin aku?”“Kamu banyak omong.”“Kan, kamu tanya.”“Iya. Dan aku hanya meminta jawaban iya atau nggak. Dan kamu malah jawab panjang
“Indiraa?” teriak Gladis—salah satu sahabat Indi. Kebetulan sekali mereka bertemu di sana. “Lagi ngapain lo, di sini? Kok sendirian? Nggak sama Damian?” tanyanya kemudian. “Damian lagi pengen ngerokok dulu katanya. Elo sendiri?”“Sendiri juga. Lagi beli apa sih? Jangan sampai khilaf lo, Indi. Kalau udah belanja biasanya elo udah kayak orang kesurupan. Nggak sadar apa yang elo beli. Suka, beli. Suka, ambil.”Indi lantas tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. “Nggak usah khawatir. Gue dapat black card dari laki gue.”“Cieeee … udah dianggap suami ya, sekarang mah? Dulu-dulu aja manggilnya si kunyuk, kampret dan segala panggilan menjijikan semua. Udah cinta ya, lo?” tebak Gladis sembari menunjuk tepat di wajah Indi. “Apaan sih! Nggak ada! Nggak usah berasumsi yang aneh-aneh, Gladis.” Indi menyangkal ucapan perempuan itu. Gladis hanya menyunggingkan bibirnya kemudian menarik tangan Indi. “Gue punya toko jam tangan baru. Tadi gue abis ke sana. Sekalian kasih hadiah buat ayang tercint
Indi tertawa mendengar ancaman yang dilontarkan oleh Cindy kepada Damian. Sementara Gladis menganga melihat orang yang tengah mengancam suami dari sahabatnya itu. “Siapa dia, Ndi? Pacarnya Damian?” tanya Gladis kepada Indi. Perempuan itu mengendikan bahunya. Mirip jablay tapi bukan. Karena pakaiannya masih terbilang sopan. Salah satu orang yang gagal move on, Glad. Dan kebetulan deketnya sama Damian waktu dia mau nikah sama gue,” ucapnya dengan mata menatap kedua orang itu. “Ooh. Kenapa nggak elo samperin? Mau gue bantu, nggak?” Indi menoleh pelan kepada Gladis. “Nggak perlu. Gue nggak mau ada yang ikut campur urusan rumah tangga gue,” ucapnya kemudian menarik napas dengan panjang. Lalu menghampiri kedua orang itu dengan langkah santainya. Namun, Damian tampak ketakutan melihat Indi menghampirinya lantaran tidak memberi tahu Indi terlebih dahulu kalau dia tidak sengaja bertemu dengan Cindy. Takut Indi salah paham dan akhirnya marah kembali padanya. “Sayang ….” Damian berucap den
Keduanya sudah berada di rumah. Indi tampak puas setelah melihat semua barang belanjaan yang sudah dia beli. Sementara Damian menganga melihat banyaknya barang yang dibeli oleh istrinya itu.“Sayang, mau diapakan semua barang-barang ini?” tanya Damian kepada sang istri.Indi mengendikan bahunya. “Terserah aku lah. Mau diapain juga aku yang berhak menentukan. Kenapa? Nyesel, karena udah ngasih kartu unlimited kamu itu?” Damian menggelengkan kepalanya. “Nggak. Aku hanya tanya.”Indi menghela napas kemudian menatap Damian dengan tangan melipat di dadanya. “Sudah jam delapan. Kamu nggak mau melakukan apa, gitu?”Damian menaikkan alisnya sebelah sembari menatap Indi bingung. “Euh … mandi dulu kayaknya, yaa?” Indi menganggukkan kepalanya. “Boleh. Duluan aja. Aku mau beres-beres belanjaan aku dulu.”Damian kemudian mengangguk lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang ada di otaknya itu. Sudah traveling dengan santai agar tidak terlih
Indi kemudian mengikat rambutnya seraya duduk menghadap Damian yang tengah bersiap menyambut permainan yang akan dilakuan oleh Indi kepadanya.Perempuan itu menarik pusaka itu dan memulainya. Melakukan apa yang diminta oleh sang suami kepadanya. “Oouughh … good, Honey!” bisik Damian menikmati sentuhan yang dilakukan oleh Indi kepadanya.Indi semakin gila. Benda asing itu masuk dengan penuh di dalam mulut Indi. Dengan suara percikan dari permainan itu terdengar begitu jelas. Damian membuka mulutnya, mengatur napasnya karena tidak bisa bernapas sebab ulah Indi yang membuatnya begitu menggila di malam itu.“Sayang … kamu memang luar biasa,” puji Damian kemudian mengulas senyumnya seraya menatap Indi yang masih memainkan pusaka miliknya. Sepuluh menit kemudian, Indi melepaskan pusaka itu dari mulutnya. Lalu mengusap bibir merahnya itu sembari menatap Damian yang masih terbaring sembari mengatur napasnya. “So! Kalau aku kurang luar biasa, apakah kamu akan tetap mencintaiku?” tanya Indi
Indi mengambil baju di dalam lemari lalu mengenakannya sebab tubuhnya masih polos tak mengenakan apa pun. “Indi. Apa yang kamu ketahui tentang kecelakaan itu?” tanya Damian kembali menghampiri Indi. Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya untuk mengambil pil kontrasepsi sebab belum meminumnya di malam itu. Ia menatapnya seraya menghela napasnya dengan pelan lalu menoleh kepada Damian. “Bukankah usia pernikahan kamu dan dia sudah beranjak satu tahun?” tanyanya kemudian. Damian menganggukkan kepalanya. “Ya.”“Dia juga menggunakan ini? Atau sangat berharap bisa memberi kamu anak?” tanyanya sembari menyodorkan pil kontrasepsi tersebut. Ia kemudian mengambil satu butir pil itu dan menelannya. Damian mengendikan bahunya. “Aku tidak tahu. Berhubungan juga hanya sebatas kalau aku lagi mau aja. Atau dia sendiri yang menawarkan. Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang saja.”“Kalau ditembak di dalam harusnya jadi meskipun hanya kadang-kadang. Ribuan sel mani yang dikeluarkan di dalam pas
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Indi yang tengah asyik nonton film itu diganggu oleh ketiga temannya yang menghubunginya. Indi kemudian memutar bola matanya dengan pelan seraya menerima panggilan video itu. “Heuung?” ucapnya dengan malas. “Lagi ngapain Nyonya Damian? Kayaknya udah mulai berbaur dengan status barunya nih,” ledek Manda kepada Indi. Sementara Rhea dan Gladis tertawa mendengarnya. “Nggak usah banyak bacot, kalian. Ada apa? Mau ke rumah gue? Nggak bisa! Nanti malam bokapnya Damian mau ke rumah. Hari ini gue nggak bisa ke mana-mana karena harus jadi istri yang baik dulu.”“Woaahh! Indira benar-benar udah mau berbaur dengan statusnya. Keren! Gue pikir, elo bakalan teguh pada pendirian elo. Nggak akan mau membuka hati buat suami sendiri.” Gladis kembali bersuara.Indi menghela napas kasar. Ia kemudian menatap Rhea yang tengah sibuk makan. “Rhe. Gue mau nanya sesuatu sama elo.”“Nanya apaan?” tanyanya santai. Indi menatap ketiga temannya itu secara bergantian. “Rhe.