Aira menundukkan badannya, membentuk sudut 90 derajat di depan sembilan orang yang duduk rapi di atas tatami. Zabuton, sebuah bantal persegi menjadi alas duduk masing-masing orang. Meja kecil berkaki pendek teronggok di depan mereka."Salam, Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Kakek, dan semuanya." Ken membuka suara, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dia harus mempelajari situasi kali ini agar tidak salah langkah. Kakek Subaru ada di tengah. Ayah, Ibu, Paman, dan Bibi Ken ada di sebelah kanan. Kubu keluarga muda, sedangkan keluarga tua ada di sebelah kiri. Keempatnya lelaki, dengan kimono hitam dan katana di tangan. Baru diletakkan setelah Ken mengucapkan salam. Meskipun usianya masih muda, tapi mereka menghormati Ken dan cukup sungkan padanya. Sifat Ken sama persis seperti kakek Subaru. Salah langkah, nyawa taruhannya."Maaf membuat kalian menunggu. Aku membawa istriku kembali. Bukankah ini yang kalian inginkan?" Dengan suara datar, Ken melemparkan tatapan tajam.Aira meremas jemarin
"Ai-chan," panggil Ken sembari menyentuh punggung tangan istrinya yang tampak melamun."Are you okay?" lanjutnya. Dia khawatir melihat wajah Aira yang terus tegang sejak meninggalkan ruang pertemuan dengan para tetua. Pastilah dia tertekan karena tuduhan, juga tuntutan dari mereka."Yamazaki-san, aku ....""Hmm?" Ken menaikkan dagunya, tidak suka dengan panggilan yang Aira ucapkan barusan.Aira menarik diri dari hadapan Ken, membuang muka dan menatap pohon maple yang semakin meranggas daunnya. Separuhnya sudah luruh ke tanah, menandakan musim dingin akan segera datang.Cahaya lampion kuning keemasan menambah keindahan di taman belakang kediaman utama keluarga Yamazaki."Aku takut mereka tahu yang sebenarnya.""Kau lupa perintahku kemarin?" Ken menarik tubuh Aira, memaksanya saling berhadapan. "Berhenti berpikir hal yang membuatmu sakit kepala.""Bagaimana kalau ....""Sstt!" Ken menempatkan jari telunjuknya di depan mulut Aira, meminta wanita itu tidak meneruskan kata apa pun yang aka
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ken mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen, balik menatap Aira yang sedari tadi terus memaku pandangan ke arahnya. "Apa wajahku begitu tampan sampai membuatmu tak bisa berpaling?"Ken terkekeh mendengar celotehnya sendiri. Dia merasa geli. Aneh rasanya memuji wajahnya yang buruk rupa.Aira tak lantas menjawab, mengembuskan napas berat dari mulutnya."Ada masalah?" Ken tidak bisa tinggal diam, menutup berkas dan memerhatikan Aira sepenuhnya."Sejak dokter membacakan hasilnya, kau tampak tidak puas. Kau curiga aku memalsukan hasilnya?""Kamu bisa melakukan apa saja. Bukan hal yang mustahil jika ....""Aku tidak melakukannya."Aira menahan napas, menunggu penjelasan lain yang lebih masuk akal. Berbagai prasangka seketika memenuhi kepala. Tentang Ken dan Hiro, juga rahasia yang menghubungkan keduanya."Sudah aku katakan, dia putraku. Seharusnya kau percaya. Tidak perlu memikirkan hal lainnya.""Tidak semudah itu. Bagaimanapun juga ....""Aku menipum
"Nona, saya mohon keluarlah. Jika tidak, Tuan Muda akan memenggal kepala saya."Kosuke terpaksa berbohong, membuat Ken membulatkan mata. Dia jelas tidak ada ide sama sekali untuk mengancam Kosuke. Keadaan Aira-lah yang menjadi fokus utamanya saat ini.Dari belakang, muncul Kaori dengan napas terengah-engah. Meskipun dia mengatakan tidak peduli pada Ken, tapi dia ikut mengkhawatirkan Aira juga. Bagaimanapun, kesehatan pasien menjadi tanggung jawabnya."Pergi dari sini," pinta Kaori sambil mengeratkan gigi-giginya. Dia memandang Ken dengan tatapan kesal juga marah."Kaori-chan, aku ....""Pergi atau Aira tidak akan keluar dari sana?! Gunakan akal sehatmu. Dia bisa kedinginan. Kamu mau anak dan istrimu dalam bahaya?" Kaori sampai menaikkan nada bicaranya, mengusir Ken dengan paksa."Kosuke, bawa dia pergi. Sekarang!" Mulai frustrasi, Kaori berteriak sambil menghentakkan kakinya.Mau tak mau Kosuke menyingkir sambil membimbing Ken dari sana. Tentu saja pria itu harus pura-pura duduk di ku
Ken masuk ke dalam kamar saat Aira terlelap di dalam kamarnya. Dengan langkah tanpa suara, pria itu mendekat, berjongkok di depan wanitanya."Sayang, maafkan aku," ucap Ken sembari menyentuh pipi Aira, perlahan mengelusnya dengan penuh penyesalan.Jika saja dia menuruti permintaan Kaori, mengaku sejak awal, tidak akan seperti ini kejadiannya. Dia memiliki waktu untuk menjelaskan kenapa dia harus berbohong, pura-pura cacat demi melindungi identitas aslinya.Ken kembali mengingat setiap detik kebersamaan mereka, di mana dia selalu saja merisak Aira saat berpenampilan sebagai Ken. Sebaliknya, sikapnya akan berubah lembut saat menjadi Hiro.Ken melepas topeng di wajahnya, juga membersihkan luka bohong-bohongan yang menutupi separuh wajahnya. Dia siap menghadapi ini demi Aira, membuka kedoknya yang asli.Perlahan namun pasti, Ken naik ke atas ranjang dan memeluk Aira dari belakang. Punggung ramping wanita itu menempel dengan dada bidang Ken yang tertutup piyama. Tangannya menelusup ke dala
Ken membuka matanya, menatap wajah tidur Aira yang tampak damai. Hatinya buncah oleh rasa bahagia, mensyukuri setiap anugerah yang Tuhan berikan padanya. Rasanya tidak sabar menunggu kelahiran putranya."Sayang, kita akan segera bertemu beberapa bulan ke depan. Sampai saat itu tiba, kau akan melihat ayahmu dengan bangga. Jangan merepotkan ibumu, ya. Tolong jaga dia selagi Ayah tidak bersamanya. Ayah janji tidak akan membuat ibumu terluka lagi. Kita sama-sama membahagiakannya, ya?"Ken mengelus perut Aira dengan sayang. Hatinya penuh oleh bunga, membayangkan bayi merah yang akan mewarnai hari-harinya dengan Aira. Saat masa itu datang, dia sudah bisa menunjukkan wajah yang sebenarnya, termasuk mengungkapkan rahasia besar yang selama ini menjadi ganjalan. Sudah cukup berpura-pura cacat dan buruk rupa. Aira dan putra mereka layak mendapatkan sosok suami dan ayah yang sempurna.Namun, senyum di wajah Ken seketika memudar saat mengingat permintaan Aira beberapa jam lalu, tepat sebelum merek
"Tuan, Nona Aira menghilang," ucap bibi Tsu dengan napas tersekat di tenggorokan. Dadanya naik turun, mengambil oksigen sebanyak mungkin dari udara di sekitar. Tangannya tampak gemetar, coba mengendalikan emosi dan menutupi ketakutannya.Kosuke mengerutkan kening, melirik Ken yang seketika itu juga berhenti menggoreskan pena. "Bibi bercanda?" Ken meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang-kah saat yang tepat untuk memulai rencana besar mereka? Jujur saja, dia belum siap kehilangan Aira, tapi cepat atau lambat pasti masa ini akan terjadi juga, kan?"Bibi sudah memeriksanya di sekitar rumah? Di taman?" Dengan hati dipenuhi oleh gemuruh kekhawatiran, Ken menyempatkan bertanya. Jika semua terjadi sesuai rencana, Aira saat ini sedang menuju ke rumah keluarga Nagasawa. Dia akan ada di sana selama drama ini berlangsung."Tidak ada sama sekali, Tuan. Saya juga sudah mengecek CCTV, Nona pergi membawa kopernya selagi saya pergi ke luar. Nona meminta saya membeli buah apel, tapi saat kem
Sakura baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat layar ponselnya berkedip. Getarannya terdengar, menandakan ada telepon masuk untuknya.“Moshi-moshi, Sakura here.” Dengan suara manja, gadis itu berusaha menyambut Erina dengan semangat.“Sakura, saatnya bekerja.”“Eh?”Kemampuan otak Sakura tidaklah secerdas Erina. Dia harus mengambil jeda untuk menangkap pernyataan lawan bicaranya.“Aku libur hari ini. Tidak ada pemotretan. Bekerja apa?”Erina hanya bisa memutar bola matanya, jengah dengan daya tangkap Sakura yang di bawah rata-rata. Kalau saja bukan untuk membantunya menyingkirkan Aira, Erina juga enggan berurusan dengan wanita ular ini. Sedikit banyak dia tahu seperti apa tabiat Sakura. Tidak ada satu agensi pun yang mau menaunginya. Selain kemampuan akting maupun modelingnya yang kurang, attitude-nya juga patut dipertanyakan.“Tentang saudara angkatmu. Bukankah kamu mau membantuku memisahkannya dari Ken? Jika berhasil, aku akan mengenalkanmu dengan seorang produser film. Kamu