***
Setelah pertemuan pertama mereka yang dramatis di sudut cafe, Celine berhasil membujuk Barra untuk menikmati makan siang bersama. Sejak pemakaman Alaric, Celine pergi dari tanah air dan hampir memutus semua kontak komunikasi dengan semua orang, termasuk Barra.
“Jadi, sekarang kau meneruskan bisnis keluarga Hutama di bidang pertambangan?” Keduanya sudah duduk berhadapan. Lola sedang menikmati suapan terakhir makanan kesukaannya dan tidak terlalu mengikuti perbincangan dua orang dewasa di hadapannya.
“Salah satu tebakanmu tentang aku betul tapi rasanya kurang tepat, Celine. Aku memang melanjutkan bisnis ayah di bawah perusahaan Hutama, tapi aku membuat anak perusahaan baru yang khusus bergerak di bidang pembaharuan lingkungan. Sebutlah untuk menebus rasa bersalah keluargaku pada tanah dan bumi akibat aktivitas bisnis pertambangan kami.” Barra menjelaskan dengan singkat dan menoleh pada putrinya, “Lola, jangan berantakan kalau makan!”
“Wah, kau sama sekali tidak berubah, Barra. Sikap kepedulianmu terhadap lingkungan memang tinggi.” Celine merespon penjelasan Barra dengan kekaguman. Sedangkan, jarinya bergerak refleks mengusap sisa cecapan saus Spaghetti Carbonara pada sudut bibir Lola.
Barra mengalih pandangan ke sudut lain ruangan, seolah menolak perhatian kecil yang ditunjukkan Celine pada putrinya. Tidak ada yang aneh dari potret mereka bertiga. Keluarga kecil dengan satu anak yang sedang menikmati makan siang bersama.
“Lalu, kapan aku bertemu Ibu Lola? Apa kalian sedang menunggunya di pusat perbelanjaan ini?” Suara Celine terdengar antusias.
Barra nampak enggan menjelaskan bagaimana situasi rumah tangga yang sedang dihadapinya saat ini. Ibu Lola, Aimee Tanjung adalah seorang model internasional yang tidak sengaja dihamilinya. Mereka akhirnya menikah, meski Aimee sebetulnya terlihat tidak terlalu antusias dengan ide pernikahan mereka.
Dengan menikahi Aimee dan anak yang sedang dalam kandungannya, Barra merasa dapat mengobati luka hati dan penyesalan selama ini menggerogoti dirinya. Selama enam bulan setelah Alaric meninggal dan Celine yang keguguran pergi entah kemana, Barra mengurung diri dalam rumah dan menyalahkan diri sendiri.
Barra mengabdikan diri mencari kepingan Celine untuk meminta maaf, tapi kepergian istri mendiang sahabatnya itu bagai hilang ditelan bumi. Bahkan, keluarga Wiradi mengusir kehadiran Barra dan menuduhnya sebagai pembunuh Alaric dan cucu mereka.
Di tengah keterpurukannya, Barra bertemu dengan Aimee yang dianggapnya sebagai penyembuh luka. Manis tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Aimee memutuskan kembali ke catwalk dan meninggalkan Barra dengan bayi yang baru berusia enam bulan.
“Lola, sudah selesai makannya?” Suara Barra terdengar jengah dan tidak nyaman.
“Sudah, Ayah.” Lola meletakkan garpu yang sudah digunakannya dengan rapi dan menyeruput air mineralnya.
“Kalau begitu, bisa cuci tangan sendiri agar tangannya tidak lengket?” Barra menunjuk wastafel restoran yang sudah dilengkapi pijakan untuk anak balita.
Lola mengangguk semangat. “Baik, Ayah.”
“Tante Celine temani ya.”
“Uhmm no, no, Tante. Lola sudah besar.” Lola dengan manis menolak tawaran Celine dan segera berjingkat manis menuju wastafel.
“Lola, anak yang mandiri dan menggemaskan.” Celine memuji Lola kembali.
“Lola tidak pernah mengenal ibunya.” Barra membuka suara.
Celine mengernyitkan alisnya dan merespon dengan pertanyaan yang diajukannya pada diri sendiri. Apa Ibu Lola juga sudah meninggal?
“Ia pergi meninggalkan kami berdua ketika Lola berusia enam bulan. Kami tidak pernah membahasnya. Lola sudah cukup mendapat cinta dariku dan Opa-Oma nya.” Barra berkata dingin.
“Maaf, Barra.” Celine menangkup punggung tangan Barra dan berusaha memberi dukungan secara emosional. Namun, tindakannya segera ditepis lelaki itu.
“Tante Celine, lihat!” Lola sudah memperlihatkan kesepuluh jarinya. “Bersih dan wangi loh.”
“Wah hebat sekali, Lola! Coba Tante bantu keringkan ya.” Celine tidak ambil pusing dengan tepisan kasar Barra terhadapnya. Ia meraih tisu kering di dekatnya dan mengusap satu per satu jari mungil Lola sambil sama-sama berhitung.
Barra menikmati kebersamaan singkat mereka tapi ia sadar potret didepannya hanyalah mimpi. Ia berdehem dan menutupi kecanggungan yang dirasakannya dengan menghabiskan kopi hitam miliknya.
Makan siang mereka berakhir dan Barra tidak bisa menolak ketika Celine memaksanya bertukar nomor kembali. Celine dan Lola berpelukan agak lama padahal mereka baru menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga jam. Celine bahkan berjanji pada gadis kecilnya akan mengunjungi Lola jika Barra mengizinkan. Dasar perempuan aneh, buat apa repot-repot berteman dengan anak berusia lima tahun! Celine seperti tidak punya teman lain saja. Barra berkata dalam hati.***
IG: TabiCarra10
***“Ayah.” Lola berkata pelan sambil menyandarkan punggungnya di car seat bangku penumpang.“Uhm.” Barra menjawabnya dengan ogah-ogahan. Isi kepalanya masih sibuk bersama bayangan Celine tadi di cafe.“Ayah, terima kasih sudah mengajak Lola jalan-jalan hari ini. Bertemu Queen.”“Queen?” Barra kini terlihat antusias dengan hal yang baru disampaikan Lola.“Iya, Queen Celine. Ayah tahu tidak, Tante itu Putri juga loh.”“Oh ya?” Barra bertanya balik pada putri semata wayangnya.&ldq
***Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa
***Gaun merahnya tertiup pelan disambut langit sore. Kalau bukan bertugas menjadi salah satu pengiring pengantin wanita, ia tidak akan mungkin mau mengenakan gaun berani seperti ini. Jelas sudah tipe gaun yang cukup mengekspos lekuk tubuhnya, bukan bagian dari kepribadiannya. Tapi, karena Ethel adalah sepupunya, ia tidak bisa menolak permintaannya.Celine sempat bertukar kabar dengan beberapa kawan sekolahnya dulu. Bagaimanapun juga, bagi lingkungan terbatas seperti mereka ruang lingkup pertemanan biasanya juga akan sama. Mungkin kasus berbeda untuknya yang selama lima tahun terakhir memilih pergi dan mengasingkan diri.Tidak disangka ia harus memasang tampang ramah sepanjang hari, ketika hampir semua kawannya menanyakan kondisin
***Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”Terdengar suara perempuan bersama Barra.“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.
*** Celine tertidur di samping Lola sambil memegangi tangan kecil itu. Sisi wajah kanannya ia rebahkan di ranjang dengan posisi duduk yang tidak nyaman karena ketiduran dengan tidak sengaja. Matanya mengerjap dan melihat Lola yang terlelap. Tadi subuh anak kecil itu sempat bangun dan meminta air minum padanya. Celine melihat secercah riang dari tubuh mungil yang sedang meringis menahan sakit itu. “Queen Celine,” begitu Lola memanggilnya, “Perut Lola sakit lagi.” Celine menghubungi perawat dan mereka memberi penahan sakit ringan yang aman untuk anak kecil. Meski tidak bisa melenyapkan rasa sakit di perut Lola, setidaknya gadis itu dapat kembali beristirahat agar tidak kekurangan cairan. Ia memandang jam tangan kecil denga
*** Celine seolah menikmati waktunya mengurus Lola. Sama seperti saat ini, ia dengan telaten menyuapi bubur cair yang sudah disiapkan perawat untuk menu makan malam. Meski sepanjang hari tadi ia hanya baru sempat mengunyah bagel daging asap yang dibawakan Barra. Namun, setidaknya hatinya cukup lega melihat kondisi Lola yang jauh lebih baik. Keluhan perutnya sudah tidak ada dan suhu tubuh Lola juga sudah kembali normal. Celine bahkan sempat berbincang dengan dokter yang bertugas melakukan tindakan operasi pada Lola. Beberapa hari kedepan, Lola masih harus menginap di rumah sakit. Melihat ibu Barra yang mulai pucat karena penyakit yang dideritanya, Celine meminta mereka agar pulang untuk beristirahat dan mempercayakan Lola padanya hingga Barra kembali dari urusan pekerjaannya.
*** [Keesokan paginya.] “Celine, kau yakin tidak mau pulang? Sudah tiga hari kau mendadak pindah rumah dan menjadikan kamar rawat ini menjadi kamarmu sendiri?” Barra bertanya setelah membereskan alat makan siang mereka. Celine mengangkat bahu. “Lola, hanya butuh teman.” Ia lalu memalingkan wajah pada gadis kecil yang saat ini sedang fokus menonton Spongebob squarepants di televisi. Rona wajah Lola sudah kembali bersemu ceria. Suhu tubuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil operasi usus buntu menandakan hal positif. Sejak kedatangannya yang dramatis itu pula, Barra juga tidak pulang kerumah. Ayah Barra tadi pagi sempat mengunjungi dan membawakan peralatan mandi