***
“Ayah.” Lola berkata pelan sambil menyandarkan punggungnya di car seat bangku penumpang.
“Uhm.” Barra menjawabnya dengan ogah-ogahan. Isi kepalanya masih sibuk bersama bayangan Celine tadi di cafe.
“Ayah, terima kasih sudah mengajak Lola jalan-jalan hari ini. Bertemu Queen.”
“Queen?” Barra kini terlihat antusias dengan hal yang baru disampaikan Lola.
“Iya, Queen Celine. Ayah tahu tidak, Tante itu Putri juga loh.”
“Oh ya?” Barra bertanya balik pada putri semata wayangnya.
“Apa Ayah dulu sempat main ke kerajaan Queen di Hungaria?”
“Uhm.” Barra tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Lola dan imajinasi kecilnya. Ia tidak pernah membayangkan akan mengurus seorang anak sendiri. Ia memilih diam ketika Lola menceritakan kembali apa yang sudah dilakukannya bersama Celine sambil menunggu Barra menyelesaikan rapatnya.
Apa kini, ia perlu mencari pengganti Aimee? Tapi, untuk apa? Semua kebutuhan biologisnya dipenuhi dengan mudah. Barra tinggal menekan nomor teman wanitanya dan mereka akan dengan sukarela menghampirinya tanpa pamrih.
“Lola sayang Ayah.” Lola mengakhiri kisah dongeng yang diceritakan Celine dengan ucapan sayang pada ayahnya.
Barra menoleh pada putrinya yang kini terlelap di Car Seat yang dipasangnya di kursi penumpang. Ia menekan pengeras suara yang melantunkan musik santai untuk menemaninya menyetir di tengah kemacetan akhir pekan.
Lamunannya kembali jatuh pada sosok Celine yang cukup mengalami perubahan fisik yang menonjol.
Rambut hitamnya tergerai indah bergelombang dan membingkai wajah mulus berbentuk hati. Bibirnya yang terlihat ranum seolah menggoda Barra untuk terus mengajaknya berbincang. Dress linen setali berwarna hijau pucuk yang digunakan Celine sangat cocok dengan kulitnya yang kini kecoklatan secara natural. Apa beberapa tahun terakhir, Celine menghabiskan banyak waktu di area pinggir pantai sambil berjemur sesuka hati?
Citttt! Barra menginjak rem dengan mendadak karena tidak sadar mobil di hadapannya juga berhenti. Hatinya bergejolak untuk menghentikan segala bentuk imajinasi tentang Celine Artha Wiradi Kusuma. Tentu saja, Barra tidak boleh lupa bahwa Celine masih milik mendiang suaminya, Alaric Kusuma.
***
“Oma! Opa! Lola kangeeeeeeen!” Putrinya berlarian memasuki pintu masuk rumah utama untuk mengejar kedua orang tua Barra.
Barra tersenyum kecil. Untuk apa mencari pengganti ibu untuk Lola, jika kedua orang tuanya sudah cukup bahagia direpotkan oleh kehadiran cucu pertama di keluarga mereka? Bahkan, orang tuanya selalu menawarkan agar Lola pindah saja ke rumah mereka dan diurus oleh ibunya. Ide yang selalu ditentang Barra karena tidak mau merepotkan, meski orang tuanya adalah sepasang lansia yang secara fisik terlihat bugar di kelompok usianya.
Mendengar cicit putrinya dari dapur mengenai kegiatannya hari ini, Barra tidak ambil pusing dan memilih merebahkan diri di kursi panjang yang terletak di ruang keluarga. Tidak terasa matanya yang berat membuatnya terlelap dan membawa secuil potret Celine dalam lelapnya.
***
“Makan malam sudah siap.” Terdengar suara ibunya berteriak dari lorong ruang meja makan.
Barra mengerjapkan mata dan meluruskan tubuhnya diatas sofa yang terbatas. Tidak terdengar gema suara kecil Lola di sudut manapun. Mungkin putrinya sudah tertidur karena kelelahan? Ia beranjak pelan menuju meja makan karena perutnya juga sudah meminta jatah makan malam.
Ayahnya sudah duduk manis di ujung meja makan, singgasana dimana ia akan selalu bertahta ketika menikmati santapan buatan istrinya. Ibunya sedang memberi instruksi pada asisten rumah tangga mereka agar tidak lupa membawa sisa menu makan malam ke atas meja. Mereka duduk menikmati makan malam bertiga.
“Lola mana, Maa?”
“Lola makan malam duluan, mandi dan berpiyama. Hari ini katanya lelah sekali. Mungkin sudah lelap di kamarnya,” jelas ibunya sambil menyendok bistik ke atas piringnya, “Barra, tambah lagi bistik kesukaanmu.”
Barra mengangguk dan melahap masakan rumah dengan setengah hati. Pikirannya mendadak kacau setelah pertemuannya dengan Celine tadi siang. Selama lima tahun terakhir, ia sudah menyiapkan pidato yang akan disampaikan pada perempuan itu sebagai bentuk rasa bersalahnya selama ini. Mereka bahkan belum pernah membahas kejadian kecelakaan itu sama sekali.
Kenapa mulutnya mendadak kelu di hadapan Celine? Mana rasa percaya dirinya selama ini? Bukankah ia sudah mempersiapkan diri agar tidak rapuh di hadapan Celine? Barra mengunyah potongan bistik seolah karet gelang yang liat.
“Barra, sudah waktunya kau membuka diri untuk mengurusmu.”
“Aku bisa mengurus diriku sendiri, Paa.”
“Kalau begitu, untuk menemanimu membesarkan Lola. Sepuluh tahun lagi, gadis kecil itu akan menjadi remaja. Mengurus remaja membutuhkan lebih banyak perhatian dibanding bayi kecil.” Paa menasehati Barra dengan santai.
“Lola bisa mengurus dirinya sendiri nanti. Anak itu tidak terlalu merepotkan,” puji Barra tentang kemandirian Lola yang tidak pernah ditunjukkannya selama ini.
“Paa bukan berkata Lola tidak mandiri, Barra. Kami hanya peduli padamu dan Lola.” Ibunya kini satu suara dengan ayahnya.
Barra tidak membantah ucapan ibunya. Kehadiran seseorang memang akan menghangatkan rumahnya yang sepi sentuhan perempuan. Tapi, dimana ia akan mencari perempuan yang sesuai dengan kriterianya? Ia tidak akan menyerahkan perjalanan cintanya pada nasib dan berharap semua akan berakhir bahagia seperti saat ia menikahi Aimee. Barra berjanji pada dirinya sendiri.***
IG: TabiCarra10
***Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa
***Gaun merahnya tertiup pelan disambut langit sore. Kalau bukan bertugas menjadi salah satu pengiring pengantin wanita, ia tidak akan mungkin mau mengenakan gaun berani seperti ini. Jelas sudah tipe gaun yang cukup mengekspos lekuk tubuhnya, bukan bagian dari kepribadiannya. Tapi, karena Ethel adalah sepupunya, ia tidak bisa menolak permintaannya.Celine sempat bertukar kabar dengan beberapa kawan sekolahnya dulu. Bagaimanapun juga, bagi lingkungan terbatas seperti mereka ruang lingkup pertemanan biasanya juga akan sama. Mungkin kasus berbeda untuknya yang selama lima tahun terakhir memilih pergi dan mengasingkan diri.Tidak disangka ia harus memasang tampang ramah sepanjang hari, ketika hampir semua kawannya menanyakan kondisin
***Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”Terdengar suara perempuan bersama Barra.“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.
*** Celine tertidur di samping Lola sambil memegangi tangan kecil itu. Sisi wajah kanannya ia rebahkan di ranjang dengan posisi duduk yang tidak nyaman karena ketiduran dengan tidak sengaja. Matanya mengerjap dan melihat Lola yang terlelap. Tadi subuh anak kecil itu sempat bangun dan meminta air minum padanya. Celine melihat secercah riang dari tubuh mungil yang sedang meringis menahan sakit itu. “Queen Celine,” begitu Lola memanggilnya, “Perut Lola sakit lagi.” Celine menghubungi perawat dan mereka memberi penahan sakit ringan yang aman untuk anak kecil. Meski tidak bisa melenyapkan rasa sakit di perut Lola, setidaknya gadis itu dapat kembali beristirahat agar tidak kekurangan cairan. Ia memandang jam tangan kecil denga
*** Celine seolah menikmati waktunya mengurus Lola. Sama seperti saat ini, ia dengan telaten menyuapi bubur cair yang sudah disiapkan perawat untuk menu makan malam. Meski sepanjang hari tadi ia hanya baru sempat mengunyah bagel daging asap yang dibawakan Barra. Namun, setidaknya hatinya cukup lega melihat kondisi Lola yang jauh lebih baik. Keluhan perutnya sudah tidak ada dan suhu tubuh Lola juga sudah kembali normal. Celine bahkan sempat berbincang dengan dokter yang bertugas melakukan tindakan operasi pada Lola. Beberapa hari kedepan, Lola masih harus menginap di rumah sakit. Melihat ibu Barra yang mulai pucat karena penyakit yang dideritanya, Celine meminta mereka agar pulang untuk beristirahat dan mempercayakan Lola padanya hingga Barra kembali dari urusan pekerjaannya.
*** [Keesokan paginya.] “Celine, kau yakin tidak mau pulang? Sudah tiga hari kau mendadak pindah rumah dan menjadikan kamar rawat ini menjadi kamarmu sendiri?” Barra bertanya setelah membereskan alat makan siang mereka. Celine mengangkat bahu. “Lola, hanya butuh teman.” Ia lalu memalingkan wajah pada gadis kecil yang saat ini sedang fokus menonton Spongebob squarepants di televisi. Rona wajah Lola sudah kembali bersemu ceria. Suhu tubuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil operasi usus buntu menandakan hal positif. Sejak kedatangannya yang dramatis itu pula, Barra juga tidak pulang kerumah. Ayah Barra tadi pagi sempat mengunjungi dan membawakan peralatan mandi
*** Setelah pamit dan berpelukan dengan Lola yang digendong Barra di lobby rumah sakit, malam itu Celine memutuskan pulang dengan dijemput supir pribadinya. Badannya lelah tidak terkira. Ngilu di pergelangan kakinya juga berdenyut. Celine meraih pereda sakit dan meminumnya. Ia sudah kembali di kamar tidurnya yang nyaman. Rumah berlantai dua dengan pemandangan belakang menuju Danau Wallis peninggalan mendiang Alaric adalah salah satu yang sulit dilepaskannya. Terlalu banyak kenangan yang pernah dipupuk bersama mendiang suaminya. ‘Tentang bagaimana mereka akan membesarkan tiga atau empat anak mereka sambil bermain di hamparan rumput hijau halaman rumah. Tentang bagaimana Alaric berjanji akan membuatkan rumah pohon