***
Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.
“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”
Terdengar suara perempuan bersama Barra.
“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.
Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.
Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.
*** Celine tertidur di samping Lola sambil memegangi tangan kecil itu. Sisi wajah kanannya ia rebahkan di ranjang dengan posisi duduk yang tidak nyaman karena ketiduran dengan tidak sengaja. Matanya mengerjap dan melihat Lola yang terlelap. Tadi subuh anak kecil itu sempat bangun dan meminta air minum padanya. Celine melihat secercah riang dari tubuh mungil yang sedang meringis menahan sakit itu. “Queen Celine,” begitu Lola memanggilnya, “Perut Lola sakit lagi.” Celine menghubungi perawat dan mereka memberi penahan sakit ringan yang aman untuk anak kecil. Meski tidak bisa melenyapkan rasa sakit di perut Lola, setidaknya gadis itu dapat kembali beristirahat agar tidak kekurangan cairan. Ia memandang jam tangan kecil denga
*** Celine seolah menikmati waktunya mengurus Lola. Sama seperti saat ini, ia dengan telaten menyuapi bubur cair yang sudah disiapkan perawat untuk menu makan malam. Meski sepanjang hari tadi ia hanya baru sempat mengunyah bagel daging asap yang dibawakan Barra. Namun, setidaknya hatinya cukup lega melihat kondisi Lola yang jauh lebih baik. Keluhan perutnya sudah tidak ada dan suhu tubuh Lola juga sudah kembali normal. Celine bahkan sempat berbincang dengan dokter yang bertugas melakukan tindakan operasi pada Lola. Beberapa hari kedepan, Lola masih harus menginap di rumah sakit. Melihat ibu Barra yang mulai pucat karena penyakit yang dideritanya, Celine meminta mereka agar pulang untuk beristirahat dan mempercayakan Lola padanya hingga Barra kembali dari urusan pekerjaannya.
*** [Keesokan paginya.] “Celine, kau yakin tidak mau pulang? Sudah tiga hari kau mendadak pindah rumah dan menjadikan kamar rawat ini menjadi kamarmu sendiri?” Barra bertanya setelah membereskan alat makan siang mereka. Celine mengangkat bahu. “Lola, hanya butuh teman.” Ia lalu memalingkan wajah pada gadis kecil yang saat ini sedang fokus menonton Spongebob squarepants di televisi. Rona wajah Lola sudah kembali bersemu ceria. Suhu tubuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil operasi usus buntu menandakan hal positif. Sejak kedatangannya yang dramatis itu pula, Barra juga tidak pulang kerumah. Ayah Barra tadi pagi sempat mengunjungi dan membawakan peralatan mandi
*** Setelah pamit dan berpelukan dengan Lola yang digendong Barra di lobby rumah sakit, malam itu Celine memutuskan pulang dengan dijemput supir pribadinya. Badannya lelah tidak terkira. Ngilu di pergelangan kakinya juga berdenyut. Celine meraih pereda sakit dan meminumnya. Ia sudah kembali di kamar tidurnya yang nyaman. Rumah berlantai dua dengan pemandangan belakang menuju Danau Wallis peninggalan mendiang Alaric adalah salah satu yang sulit dilepaskannya. Terlalu banyak kenangan yang pernah dipupuk bersama mendiang suaminya. ‘Tentang bagaimana mereka akan membesarkan tiga atau empat anak mereka sambil bermain di hamparan rumput hijau halaman rumah. Tentang bagaimana Alaric berjanji akan membuatkan rumah pohon
*** ‘Jangan sampai lelaki ini berpikir bahwa dirinya sengaja menunggu kedatangannya. Si*al!’ Celine mengutuk kedatangan Barra seolah ia lupa bahwa rumah yang sedang dikunjunginya adalah rumah orang tua Barra. “Celine.” Theo menyapa Celine dan menganggukan kepalanya. “Om.” “Sayang, kau sudah mengundang Celine untuk acara berlayar besok?” Theo bertanya pada istrinya. Lenna mengangguk. “Sudah. Tapi, Celine sendiri masih bimbang. Mungkin kalau Barra yang mengajaknya, ia akan berubah pikiran.” Barra merasa terpojok dengan pernyataan ibunya sendiri. ‘Bah, siapa pula yang mau meng
***Barra terbangun dengan kepala berat. Setengah matanya terpaksa terbuka karena sapaan matahari pagi yang menyambutnya dengan kurang ajar.“Menikmati pestamu sendiri tadi malam, nak?” Theo menyapa putranya sambil menyesap kopi hitam dari cangkirnya.Barra mengeluarkan suara tidak jelas. Ia lalu memaksakan diri untuk duduk tegak, menyingkap selimut tipis rajutan berwarna biru muda yang memeluknya sepanjang malam.Barra sepertinya hafal siapa pemilik selimut itu.“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Barra.” Ayahnya kembali mengutarakan wejangan pagi yang terlalu rumit untuk dicernanya pagi ini.“Kakek!” Lola menyapa Theo dan segera berlari
***“Barra, cukup! Kau tidak bisa memaksaku seperti ini!” Celine setengah berteriak tepat di wajah Barra.Mendengar Celine meronta, Barra semakin kesal. Dengan sengaja ia menggigit ujung bibir Celine dan menggesek janggut kasarnya pada tulang pipi perempuan itu.Brak! Tidak patah arang, Celine menggunakan lututnya untuk menendang kesayangan milik Barra. Lelaki itu sempat terhuyung mundur beberapa langkah sambil melindungi miliknya yang baru saja disambangi lutut Celine yang lincah.“Breng*sek!” Celine memaki dan menyentuh ujung bibirnya yang kini mengeluarkan rasa metal khas darah segar meski setitik.Celine mengusap kasar sisa gigitan Barra. Lelaki itu m