Share

Bab 4

Cukup lama bagi Bimo sampai bisa menenangkan diri usai menangisi Risya yang sudah mengkhianati kesetiaannya selama enam tahun. Bukan sebulan atau setahun, lantas lelaki mana yang tak akan menangis jikalau berada di posisi Bimo? Lelaki mana yang tidak akan remuk hatinya mendapati sang pujaan ternyata bermain di belakang dan memilih menyerahkan dirinya kepada pria lain sementara ada cincin yang mengikat hubungan mereka. Tak habis pikir dengan sikap Risya yang tega mengingkari cinta yang diberikan Bimo dengan tulus. 

Apa yang salah dengan dia?

Apa yang kurang dari lelaki macam dirinya?

Dua pertanyaan itu memenuhi benak Bimo sampai berani menanyakannya kepada Wendy. Di jaman sekarang, menurutnya susah mencari lelaki yang mau berpikiran lurus tanpa mau menyentuh sang dambaan sebelum ada ikatan pernikahan. Selain itu, selama ini dia percaya begitu saja dengan hubungan jarak jauh antara Bali-Jawa berharap bibit-bibit rindu yang ditanam ini akan berbuah manis kala Bimo menikahi dan membawa Risya tinggal bersamanya di Nusa Dua. 

Ah, kenyataan yang pahit dan harus ditelan mentah-mentah!

Dipejamkan mata berharap Tuhan mau menghapus ingatannya tentang Risya dan hari-hari yang sudah dilewati cukup lama. Mencabut segala rasa yang pernah dia berikan kepada gadis manis itu. Namun, pada kenyataannya semesta terlalu kejam membiarkan Bimo tenggelam dalam kubangan kenangan menyakitkan. Sementara, malam makin larut sementara laut enggan untuk beriak dalam keheningan. Suara deburannya yang membentur karang maupun mengecup pelan bibir pantai menjadi saksi bisu atas hancurnya impian Bimo untuk membangun rumah tangga dengan sang pujaan hati. Hingga tepukan pelan di pundaknya menyadarkan lelaki 32 tahun itu bahwa masih ada kehidupan yang lebih baik daripada malam ini. Setidaknya begitu. 

Wendy masih tak bisa mengucapkan sepatah kata selain hanya memberikan sentuhan untuk menguatkan teman sekaligus seniornya yang sudah dianggap saudara sendiri. Walau tidak pernah menjalin asmara sampai ke jenjang pertunangan, tapi Wendy paham betapa remuknya perasaan Bimo atau siapa pun itu jikalau dikhianati pasangannya. Terlebih rencana pernikahan mereka sudah di depan mata. Dia juga tahu bagaimana perjuangan Bimo mengumpulkan pundi-pundi uang juga menjaga jarak dengan para kaum hawa yang mencoba mengambil hatinya.

Dia yang terlalu baik atau terlalu setia? pikir Wendy.

"Maaf ya Wen," ucap Bimo dengan suara gemetaran menghapus jejak air matanya yang belum mengering. 

Kepala Wendy terangguk. "Aku enggak bisa bilang apa-apa kecuali sabar, Mas. Mungkin emang bukan jodoh. Setidaknya, ada hikmah kalau Risya itu memang bukan perempuan baik, Mas Bim. Kadang ... Tuhan tuh bikin manusia jatuh sejatuh-jatuhnya agar sadar kalau pilihan manusia tak selamanya baik. Hanya cara menyakitkan seperti ini yang bisa Tuhan lakukan biar manusia seperti kita sadar, Mas."

Bimo menarik napas sepanjang mungkin agar relung dadanya yang kosong bisa dipenuhi oleh oksigen yang mampu menjernihkan pikiran untuk tidak berlari ke arah pantai dan terhanyut menuju samudera Hindia. Dia membenarkan ucapan Wendy bahwa inilah cara terpahit yang digoreskan Tuhan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa menjadi pendamping hidup Risya. Seiring berjalannya waktu Bimo yakin dia akan kembali tegar, yakin bahwa hatinya akan kembali pulih seperti sedia kala, dan yakin bahwa akan ada akhir yang tidak terduga di masa depan. 

Apa aku bisa? batin Bimo meragu.

"Ya, mungkin ..." ujar Bimo tersenyum nanar lalu melirik jam tangan Rolex di tangan kanannya. "Sudah malam, Wen, sebaiknya kita pulang."

"Besok aku libur, Mas," kata Wendy, "Kalau butuh aku sampai malam, aku ladeni." Dia menepuk bahu kirinya, "Nih kalau mau nangis masih ada tempat."

Bimo terkekeh dengan mata berkaca-kaca ingin menangis lagi. Jikalau perempuan lain melihatnya cengeng pasti akan mengejek kalau lelaki sepertinya tak pantas menjadi imam karena terlalu lemah menghadapi kerasnya kehidupan. Budaya patriaki yang sudah mendarah daging bahwa pria harus kuat dan tak boleh mengeluarkan tangisan namun lupa kalau mereka juga manusia yang punya sisi kelemahan.  

"Makan bakso di kosku gimana? Ada bakso langgananku tuh," ajak Wendy seraya merangkul pundak Bimo. "Apa makan ramyeon dikasih boncabe?"

"Perutmu loh Wen," kata Bimo memperingatkan. "Udah pernah kena radang usus buntu masih aja bandel."

"Sekali-kalilah, demi temen yang lagi patah hati," kilah Wendy menaik-turunkan alisnya. "Udah, sabar ya Mas, masih mending gagal di sini daripada kena zonk pas udah ijab kabul. Itu artinya Tuhan masih sayang sama Mas Bimo buat dapetin cewek yang jauh dan jauh lebih baik lagi. Oke!"

Bimo mengangguk memaksakan diri untuk tertawa meski hatinya masih ditaburi garam. Mulai detik ini juga, dia harus mengikhlaskan kepergian Risya untuk orang lain dan berdoa kalau suatu hari nanti bakal menemukan belahan jiwa yang mau menjaga komitmen sehidup semati. 

Semoga saja ...

###

Duduk seorang diri sembari menikmati seloyang piza dengan topping seafood , keju parmesan yang gurih nan asin, saus tomat, dan oregano. Orang yang melintasinya berpikir kalau Wendy begitu serakah makan satu loyang penuh sendirian tanpa mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam kepala. Diraih gelas berisi kola dingin sebagai penyegar tenggorokan lalu ekor matanya mencerling ke arah gawai yang sedari tadi berbunyi notifikasi pesan W******p masuk. Wendy meniup poninya kesal, memilih menggigit potongan piza dalam diam daripada harus adu mulut dengan ibunya. 

Kemarin saat makan bersama Bimo, ibu Wendy kembali menelepon dan meminta anaknya segera mencari suami agar Suwarni tak perlu mendengar celaan tetangga maupun keluarga besar kalau anak mereka perawan tua dan tidak laku. Ditambah ada selentingan Wendy penyuka sesama jenis atau terkena guna-guna sehingga jodohnya belum juga menampakkan diri. Suwarni mencerocos masalah lelaki yang dulu sempat ingin meminang Wendy tapi ditolak lantaran lelaki itu memintanya agar tidak bekerja dan menyuruh mengurus urusan rumah. 

"Lihatlah laki-laki yang kamu tolak, Wen! Hidupnya sudah enak kan!" sungut Suwarni melalui sambungan telepon.

"Iya gimana enggak enak, orang istrinya dijadiin babu di rumah," sindir Wendy. "Yang nyiapin makan, yang nyuci baju, yang bersihin rumah. Wendy mana betah kayak gitu terus, Bu!"

"Lah itu kan emang tugas istri di rumah, Wen, kamu aja yang terlalu pemilih!"

"Istri itu bukan babu, Bu. Kalau suami cuma bisa kerja dan minta jatah, ya mending mereka kawin aja sama PSK jangan sama Wendy," balas Wendy.

Dering gawainya membuyarkan lamunan panjang Wendy tentang perdebatan dengan Suwarni. Kali ini nama ayahnya--Darmaji--muncul di layar ponsel seakan tak cukup hanya dengan mengirim ratusan pesan. Mau tak mau jemari Wendy menggeser ikon hijau dan menerima panggilan tersebut. 

"Apa, Pak?" tanya Wendy. "Kalau Bapak bahas seperti yang diomongkan Ibu, jawaban Wen--"

"Ibumu masuk rumah sakit," sela Darmaji menjatuhkan jantung Wendy ke lantai. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status