Share

Menjadi Istri Bayangan Untuk Pria Konglomerat
Menjadi Istri Bayangan Untuk Pria Konglomerat
Author: Noorie

1. Permintaan Khatami

"Menikahlah dengan suamiku, Lov."

Lova yang sedang minum langsung tersedak. Perempuan itu segera meraih tisu untuk membersihkan air yang menyembur. "Maksud Mbak Tami?" tanyanya setelah batuk-batuknya reda.

Siang ini Khatami tiba-tiba mengunjungi kediaman Lova dengan wajah murung. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Khatami justru mengatakan sesuatu yang Lova harap jika dia hanya salah mendengar.

Khatami menghela napas. "Seperti yang kamu tahu. Aku sudah menikah selama 5 tahun, tapi belum juga punya anak. Berbagai usaha sudah aku lakukan, termasuk bayi tabung yang berakhir dua kali gagal." Tatapan Khatami menerawang menembus jendela kamar.

Program bayi tabung memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun Khatami dan Ardhan tergolong mampu, mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk hasil yang mengecewakan tentu berakhir sia-sia. Ardhan mungkin tidak mempermasalahkannya. Namun, tidak dengan Sekar ibu mertua Khatami.

Sekar sudah nyinyir sejak dua tahun pernikahan Khatami yang tidak kunjung melahirkan buah hati. Sekar semakin cerewet saat program bayi tabung gagal yang kedua kali.

Lova yang mendengar curhatan Khatami segera menggenggam tangan tamunya sebagai bentuk dukungan. Sentuhan Lova membuat Khatami kembali menatapnya. "Mungkin memang belum waktunya, Mbak." Lova mencoba menghibur.

Khatami tersenyum singkat. "Aku sebenarnya masih bisa bersabar, tapi mertuaku tidak. Dia meminta Mas Ardhan menikah lagi."

Lova terperanjat, lalu menatap Khatami prihatin. Perasaan Khatami saat ini pasti sangat terluka. Belum memiliki momongan padahal sudah menikah lama saja sudah pasti membuatnya sedih. Sekarang ibu mertua Khatami justru meminta suaminya menikah lagi.

Sehancur apa hati Khatami? Namun, Lova juga memahami Sekar yang ingin segera menggendong cucu. "Tanggapan Mas Ardhan bagaimana?"

Khatami mengangkat pundak. "Sekarang masih bisa bersabar, tidak tahu nanti. Setiap ketemu, mama mertuaku selalu memanas-manasinya soal cucu dan pewaris perusahaan. Tinggal menunggu waktu sampai Mas Ardhan akhirnya menuruti keinginan Mama."

Perempuan berusia 32 tahun itu melanjutkan, "Apalagi semua teman-teman Mas Ardhan sudah punya anak. Adiknya juga, bahkan sudah dua. Pandangan Mas Ardhan saat melihat anak kecil sulit dijelaskan. Aku tahu jauh di lubuk hatinya dia pasti ingin segera punya momongan."

Lova menggigit bibir bawahnya. Permasalahan seperti ini memang pelik. Lova tidak bisa membayangkan dirinya ada di posisi Khatami.

Khatami membalas genggaman Lova. "Kamu mau kan, Lov?" tanyanya, kembali pada permintaannya tadi.

Lova menelan saliva. "Jadi istri keduanya Mas Ardhan?" Perempuan itu balik bertanya.

"Iya."

"Mbak tidak bercanda kan?" Lova masih tidak bisa memercayai permintaan Khatami.

"Aku serius, Lova. Aku secara sadar memintamu menjadi maduku."

"Tapi, Mbak ...."

"Aku mohon, Lova. Hanya kamu yang bisa membantuku." Genggaman Khatami pada tangan Lova semakin erat. "Aku tidak mau kalau Mas Ardhan sampai menikahi perempuan pilihan Mama."

Lova mengernyit. "Memang apa bedanya?"

"Beda." Khatami menjawab cepat. "Kalau itu perempuan lain, dia pasti akan merebut Mas Ardhan dariku. Dia pasti ingin menguasai Mas Ardhan sepenuhnya. Kalau kamu, Lov. Aku percaya kamu tidak akan mengkhianatiku."

Lova menggeleng pelan. "Aku tidak mengerti, Mbak."

"Aku hanya ingin kamu menikah dengan Mas Ardhan, lalu melahirkan dua anaknya. Setelah itu kamu bisa kembali menjalani kehidupan yang kamu inginkan."

Lova masih mengerjap, berusaha memahami setiap kata yang keluar dari mulut Khatami.

"Pernikahan kamu dan Mas Ardhan hanya sementara, Lova."

Lova seketika membeliak. "A-apa? Sementara?"

Khatami mengangguk. "Kamu tenang saja. Aku pasti membalas jasa besarmu ini. Kamu mau apa? Mobil? Rumah? Apartemen? Katakan saja, Lov," ucap Khatami seolah-olah yang dia katakan bukan masalah besar.

Mobil, rumah, atau apartemen, apakah sepadan dengan pengorbanan yang harus Lova lakukan? Nantinya Lova akan memberikan darah dagingnya kepada Khatami. Lova juga akan jadi janda. Tidak ada yang salah dengan menjadi janda. Hanya saja, sekali lagi, apakah sebanding?

"Mbak, maaf ...." Lova hendak melepaskan tangannya, tetapi Khatami tidak membiarkan hal itu. Dia menggenggam tangan Lova sangat erat.

"Lova, aku mohon." Khatami memelas. Cairan bening mulai menggenang di matanya. "Apa kamu tega melihatku dicampakkan Mas Ardhan?"

"Hal itu belum terjadi, Mbak."

"Jadi harus menunggu kejadian dulu?"

Lova menghela napas berat. Dia sampai kehilangan kata-kata. Permintaan Khatami bukan sesuatu yang mudah, bahkan sangat sulit.

"Lova, please." Khatami memelas lagi. Sekarang cairan bening itu turun membasahi pipinya yang kemerah-merahan. "Aku benar-benar takut cinta Mas Ardhan berpaling kepada perempuan lain."

Air mata Khatami semakin membanjiri pipinya. Beruntung Khatami memakai make up yang waterproof. Jika tidak, wajahnya pasti sudah belepotan oleh maskara yang luntur.

Lova jadi serba salah melihat Khatami yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri itu menangis hebat. Lova tahu Khatami saat ini sedang terpuruk. Namun, permintaan Khatami jelas bukan sesuatu yang bisa Lova iyakan begitu saja. Perlu pertimbangan yang sangat matang.

Di tengah kebingungannya itu, seseorang mengucap salam di luar sana. Dari suaranya, itu suara Bu Tika, salah satu tetangga. Bu Tika pasti ingin mengambil pesanan beliau.

Khatami segera menghapus air matanya. "Temui saja, Lov," ucapnya serak.

"Aku tinggal sebentar ya, Mbak."

Lova segera bangkit dan menemui Bu Tika. Lova mendapat pesanan menjahit gamis seragam untuk ibu-ibu pengajian di sekitar kontrakannya. Bu Tika adalah ketua dari kumpulan para ibu itu.

"Ibu tidak pernah kecewa sama jahitan kamu," ucap beliau setelah melihat gamis-gamis berbahan baloteli emboss yang sudah jadi.

"Alhamdulillah." Lova bersyukur mendengarnya.

Bu Tika mengambil semua gamis itu dan memberikan sisa pembayaran. Lova mengantar kepergian Bu Tika dengan senyuman. Menjahit adalah satu-satunya keahlian Lova yang dia gunakan untuk mencari nafkah demi mempertahankan hidupnya yang sudah sebatang kara. Kedua orang tua Lova telah berpulang bertahun-tahun lalu.

"Kamu sangat berbakat," ucap Khatami. Perempuan berambut lurus sebahu itu sudah tidak menangis, tetapi bulu matanya masih basah. Dia baru kembali dari kamar mandi.

Lova tersenyum. "Terima kasih kepada Pak Akhyar dan Bu Salma yang sudah membiayai aku kursus menjahit," ucapnya, lalu terdiam.

Mesin jahit yang dia gunakan juga merupakan hadiah dari keduanya. Mereka sangat menyayangi Lova padahal dirinya hanya anak mantan art di rumah mereka. Jika bukan karena Pak Akhyar dan Bu Salma, saat ini Lova mungkin terjebak pernikahan dengan pria tua karena dijadikan alat penebus utang oleh pamannya.

Lova yang tidak mau dinikahkan memilih kabur. Dia yang tidak tahu harus ke mana hanya bisa menghubungi mantan majikan ibunya. Beruntung mereka mau menolong. Pak Akhyar bahkan menawari Lova kuliah. Namun, Lova tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi.

Selama ini Lova selalu bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan untuk membalas semua kebaikan Pak Akhyar dan Bu Salma, orang tua Khatami. Apa ... sekaranglah saatnya?

Dada Lova mendadak sesak. Tadi dia sempat berpikir jika imbalan yang Khatami janjikan tidak sebanding dengan jasa yang akan dia lakukan. Namun, pada kenyataannya, Lova-lah yang banyak berutang budi kepada Khatami dan keluarganya.

"Lova! Kenapa melamun?" Khatami melambaikan tangan di depan wajah Lova.

Lova mencengkeram tunik yang dia pakai. Perempuan itu lantas memaksakan diri tersenyum. "Tidak apa-apa, Mbak," ucapnya, padahal Lova sedang merasa jahat kepada Khatami. "Mbak mau pergi?" tanya Lova yang melihat Khatami mengambil tas branded miliknya dari meja.

"Iya." Khatami melirik jam di dinding. "Mas Ardhan sebentar lagi pulang," jawab Khatami, kemudian mengembuskan napas. "Kamu tahu, Lov. Setiap Mas Ardhan tiba di rumah, matanya selalu mencari sesuatu."

"Apa?"

"Anak-anak yang menyambut kepulangan papanya." Khatami tersenyum singkat. "Aku patah hati kalau melihat ekspresi Mas Ardhan yang berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Mungkin, sebentar lagi Mas Ardhan akan mendengarkan usulan Mama. Dan kalau itu terjadi, aku harus siap-siap kehilangan suami yang kucintai."

Melihat Khatami yang kembali murung, Lova ikut patah hati. Perasaan bersalah semakin menguasai Lova. Dia segera mendekati Khatami. "Mbak, tolong jangan berpikiran buruk."

Khatami menggeleng pelan. "Kamu tidak di posisiku, Lov. Kamu tidak akan mengerti."

"Hal itu tidak akan terjadi, Mbak," ucapnya yakin.

Khatami tertawa hambar yang sarat akan luka. "Memangnya kamu bisa menjamin?"

Lova mengangguk mantap, yang membuat Khatami mengernyit dalam. "Aku tidak akan membiarkan Mbak Tami kehilangan Mas Ardhan. Aku akan melahirkan dua anak untuk kalian. Aku bersedia, Mbak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status