“Sebenarnya, apa arti pernikahan yang kamu inginkan? Kenapa kamu mempermainkan aku seperti ini?” Deniz pun tak mau mengalah, ia menyerang balik istrinya hingga tidak bisa menjawab. “D-Deniz, kenapa kamu jadi sensitif seperti ini?” Marissa tertawa kecil, ia menggeleng pelan. Seperti dugaan Deniz, Marissa benar-benar mempermainkan perasaannya. “Jika kamu masih menganggapku, pakai gaun itu! Ada kejutan untukmu,” Gadis itu mengernyit, ia melirik ke arah gaun yang dimaksud oleh suaminya. Tapi sebuah kejutan yang dikatakan oleh Deniz, membuat Marissa memajukan tubuhnya yang semula bersandar di sofa yang empuk. “Kejutan? Untukku ….?” Marissa menunjuk dirinya sendiri, tepat di depan dada. *** Keduanya berjalan saling beriringan. Marissa melingkarkan tangannya pada lengan, Deniz. Semua mata tertuju pada pasangan yang nampak serasi itu. Mereka membelah barisan para tamu yang seolah tumpah ruah di bawah gemerlapnya sorot lampu dan iringan musik klasik. Deniz menepuk pelan punggung tangan
“A-Apa maksudmu? K-Koruptor?” wajah Marissa terangkat dengan kedua alisnya yang saling bertautan.“Kau. Jangan sembarangan bicara!” tunjuk Deniz dengan ekspresi yang tidak menyenangkan.“Tau apa kamu, Deniz? Kamu hanya orang luar yang sok tahu mencampuri urusan kami,” balas Kevin dengan menunjuk balik pada pemuda di hadapannya itu.Pesta di malam itu, seharusnya berjalan dengan meriah. Sebuah pesta yang seharusnya menjadi pesta terindah dalam hidup, Marissa. Ya! Hari ini seharusnya menjadi pesta pernikahan dirinya dengan Kevin, andai saja dia tidak menangkap basah pria itu berselingkuh dengan adik angkatnya sendiri.“Aku tahu, meski kalian menyembunyikan kebenaran itu di sarang semut sekalipun.” Jawab Deniz dengan sorot mata yang dingin. Ia memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana. Deniz menegaskan pada mantan tunangan istrinya, jika ia tidak akan membiarkan mereka menyembunyikan apapun. Deniz akan mengejarnya untuk mengembalikan kehormatan istrinya.Prok, prok, prok ….Tepuk t
“Aku akan membunuhmu setelah ini, Deniz!” teriak Marissa dengan terengah-engah. Ia tidak memperhatikan arah jalan, gadis itu terus berlari hanya menggunakan insting.Meski terasa kehabisan napas. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dari kejaran anak buah, Kevin. Marissa dan Deniz melewati sebuah gang kecil tanpa menghiraukan genangan air di beberapa bagian jalan.“Y-Ya! kamu boleh melakukan apapun padaku jika kita selamat,” Deniz tetap menggenggam tangan Marissa, ia tidak melepaskan sedetik pun.Dengan lincahnya Marissa berhasil melompati sebuah pipa yang tergeletak di tengah jalan. Ia mengangkat gaunnya tinggi-tinggi. Dengan lihainya ia berusaha mengimbangi langkah lebar dari sang miliarder yang kini membawanya pergi—Deniz Ansel Ghazy.“Shit! Tutup mulutmu, Deniz!” bahkan Marissa tidak menyadari jika saat ini kedua kakinya tidak mengenakan sepatu. Yang ada dalam pikiran gadis itu hanyalah lari, lari dan lari sejauh mungkin.“Hei! Berhenti disana!” teriak salah satu pria yang mas
Marissa menundukkan kepala, dahi gadis berusia 27 tahun itu berkerut seiring dengan kedua alisnya yang menyatu. Ia melihat rembesan darah pada perban yang membungkus luka di tangan, Deniz.“Kenapa?” tiba-tiba saja Deniz membuka mata setelah ia berhasil terpejam beberapa saat.“Ah, tidak. M-Maaf sudah mengganggu,” Marissa menarik diri, ia kembali duduk di sebelah pria itu.“Aku tertidur? Sudah berapa lama? Apa kita masih di jalan?” rentetan pertanyaan itu diajukan Deniz sambil membetulkan letak duduknya.“Y-Ya. Kita masih di jalan,” jawab Marissa sambil melihat sekeliling. Ia menajamkan penglihatannya ke arah luar jendela mobil.“Hem, syukurlah. Apa kamu baik-baik saja?” Deniz melihat Marissa seperti orang yang linglung.“Kamu terluka?” Deniz menyentuh ujung bibir Marissa yang terlihat lebam, ada tetesan darah yang hampir mengering.“Awh!” pekik Marissa saat jari Deniz menyentuhnya dengan tba-tiba. Marissa segera memundurkan wajahnya untuk menjaga jarak.“Sorry. Sakit, ya?” Deniz sedik
“Dari mana kamu tahu jika aku sudah tidak tinggal di penthouse?” Marissa membawa secangkir kopi untuk rekan kerjanya, Joshua.“Deniz yang memberitahumu?” ia meletakkan cangkir keramik berwarna hitam glossy di depan pria berambut keriting tersebut.Joshua memanyunkan bibirnya, lalu mengedikkan bahu. Pria muda berpostur 175 centimeter dan berperawakan kurus itu lebih fokus menyeruput kopinya daripada menjawab pertanyaan dari, Marissa.“Kamu itu, di sini mau numpang sarapan apa mau ngasih info sih?” Marissa mendengus kasar, lalu ia mengalihkan pandangan ke arah kolam renang. “Memangnya apa yang ingin kamu ketahui, Marissa? Lihatlah si tampan itu, dia sudah memperlakukanmu dengan baik.” Ujar Joshua meletakkan cangkirnya kembali di atas meja.“Ck ….!” mulut Marissa berdecak, ia memutar bola matanya dengan malas.“Mereka akan menikah,” Joshua pun membuka suara. “Mantan tunanganmu itu, sudah menghamili adikmu.” Joshua kembali melanjutkan kalimatnya, ia menoleh dan memanyunkan bibirnya den
“Jangan meracuni otak, Joshua! Dia teman baikku,” Marissa menyilangkan kedua tangannya, ia menatap Deniz yang mengekor di belakang tubuhnya sejak kepergian Joshua. “Siapa? Aku? Ngapain ….?” elak Deniz yang menyangkal ucapan istrinya. Deniz melihat gadis itu lebih manis dari biasanya, skinny jeans dipadu dengan atasan lengan pendek sangat pas di tubuh Marissa yang ramping. “Dia anak baru kemarin, Sayang. Aku mengenalmu lebih lama darinya,” goda Deniz yang kini duduk di tepi ranjang berukuran king. Desain kamar tidur yang bertemakan Amerika klasik itu terlihat sangat nyaman, apalagi Deniz menyediakan satu set meja kerja untuk Marissa. Siapa tahu, gadis itu merindukan perusahaan konstruksinya. Marissa bisa menumpahkan jiwa working holicnya di sana sewaktu-waktu. “Ish, sayang ….? Mana ada sayang di sini?” ia mendecih, lalu melengos ke arah lain. “Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ayahmu? Sudah lama kamu tidak menjenguknya setelah ….” Marissa menghentikan ucapannya, ia melihat perubaha
Derit pintu berbunyi tanda bergeser, seorang pria muda masuk ke dalam ruangan bersuhu dingin."Kamu," kata-katanya tidak dilanjutkan, tapi wanita yang melingkarkan kain rajut di bahunya itu langsung beranjak dari tempat duduk.Deniz tidak menjawab, ia tetap melanjutkan langkahnya memasuki ruang ICU. Meski ia sangat tahu, jika Nichole tidak pernah menerima kehadirannya. Diam-diam pria muda itu pun mengkhawatirkan kondisi ayahnya. Perdebatan terakhir yang terjadi di antara mereka, membuat tuan Ghazy mendapatkan serangan jantung mendadak dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, kondisi tuan Ghazy masih belum sadarkan diri."Apa kamu puas? Apa kamu puas telah menyakiti ayahmu sendiri? Dasar, pembunuh!" cecar Nichole yang menumpahkan kekesalannya saat melihat Deniz datang menjenguk suaminya. Nichole memperlihatkan kebencian pada putra tiri dari pernikahan suaminya yang pertama."Tahan, Sam!" ujar Deniz sambil merentangkan tangan kirinya untuk menghadang pengawal pribadinya b
BRAK!Marissa terkejut saat mendengar suara keras seperti barang terjatuh atau memang sengaja dibenturkan. Ia menoleh ke sekeliling, ia melihat suaminya datang dengan wajah ditekuk.“Kenapa? Ada apa? Kenapa kamu datang langsung marah-marah?” Marissa beranjak dari tempat duduk, ia meletakkan sebuah majalah fashion yang baru saja dibacanya.“Deniz, aku sedang bertanya padamu.” Marissa mengerutkan dahinya. Ia berdiri memandang Deniz yang berjalan melewatinya begitu saja.“Sial. Ada apa lagi sih? Kenapa tidak ada ketenangan sedikitpun di keluarga ini?” Marissa bermonolog dengan dirinya sendiri.“Huft, masa aku harus mengejar dan menenangkannya? Memangnya aku ini perempuan apaan?” ia merasa gamang, digaruknya kepala bagian belakang yang tidak gatal.Bibirnya memberengut, “Aduh, aku bingung ….” Marissa meremas jari-jari tangannya. Ia mondar mandir di depan kursi sofa yang panjang setengah melengkung. Sesekali ia menengok ke arah kamar, pintu itu masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda