“Sudah aku sarankan padamu. Jangan menyatukan mereka dalam satu pertemuan,” Grace berjalan tergesa di samping Alex.“Siapa kau, kenapa berani mengaturku?” tanya Alex tanpa menoleh.“Aku istri sekaligus rekan kerjamu,” jawab Grace dengan cepat.“Cih!” mulut Alex mencebik.Mereka berjalan menuju lobi rumah sakit, keduanya datang dengan mobil yang berbeda. Grace langsung berlari kecil menyusul Alex yang tampak acuh kepadanya.“Kita hanya berdua?” kepala Grace menoleh ke sekeliling, tapi tidak menjumpai siapapun yang dikenal.Alex tetap melanjutkan jalannya, seakan ia tidak peduli apapun tentang perempuan yang masih berstatus istrinya itu. Hingga Alex menghentikan langkah di depan ruang pasien bernomor 30D, ia merogoh ponsel yang diletakkan pada saku mantel. Pria itu terlihat menscroll layar telepon genggam dengan serius.“Kenapa berhenti?” kedua alisnya bertautan.“Bisa diam nggak sih?” Alex mematikan ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam saku.Alex yang merasa terganggu pun berbalik
“Anda tidak bisa memindahkan saksi tanpa izin Tuan Ghazy,” Alex mencoba untuk menghalangi niat Deniz untuk membawa pulang istrinya.“Dia istriku, aku berhak melakukan apa saja padanya—termasuk menyelamatkan nyawanya.” Jawab Deniz dengan tatapan tajam.Mendengar keributan kecil di dalam, Mark menerobos masuk ke dalam kamar pasien dan meninggalkan Grace di luar dengan tampang heran. “Hei, hei, tunggu! Aku belum selesai bicara denganmu Tuan.” Ujar Grace yang merasa diacuhkan.“Tuan muda,” Mark sudah berdiri di antara mereka berdua.Tangan Deniz menghalangi Mark agar pria muda itu tidak bertindak ceroboh. Mark mengangguk tanda mengerti, kemudian ia berdiri menepi dan mengamati keduanya dalam diam.“Dia akan menjadi saksi, jika kondisinya sudah pulih Tuan Alex.” Lanjut Deniz menuturkan.“Tidak bisa selama dia dalam pengawasan kami,” Alex bersikukuh.“Istriku baru saja kehilangan bayinya, Tuan.” Tunjuk Deniz agar hati Alex sedikit dilembutkan.“Tapi di sini saya menjalankan tugas Tuan,” ban
Ada perasaan hangat saat segaris sinar masuk melalui celah gorden jendela. Ia menggerakkan jari tangannya secara perlahan, Marissa merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk. “W-What, what, what the ….” ia terkejut saat benar-benar telah siuman setelah sekian lama tertidur.“Hei, tenanglah! Kamu sudah aman bersamaku,” Deniz yang sejak semalam berjaga di samping tempat tidur, langsung sigap menenangkan istrinya. Marissa terbangun dengan posisi duduk, perempuan itu seolah merasakan trauma mendalam. Ia kesusahan saat mencoba untuk menstabilkan frekuensi napasnya, hingga peluh sebesar biji jagung membanjiri sebagian wajah Marissa.“Minumlah!” Deniz mengangsurkan segelas air putih.Semula ia menyambutnya dengan ragu, saat ia menoleh ke arah Deniz Marissa pun minum hingga habis separuh. “A-Aku di mana?” tanya Marissa sambil melihat kedua telapak tangannya yang masih utuh, salah satu punggung tangan itu masih tertancap jarum infus guna memulihkan kesehatannya.“Home,” jawab Deniz dengan singk
“Aku sudah tidak mau bertemu dengannya, jangan memaksaku.” Marissa duduk di kursi sofa dengan wajah penuh kebencian. “Mereka membutuhkan kesaksianmu, Marissa.” Ujar Deniz yang telah menarik kursi lain agar bisa duduk di hadapannya. “Kesaksian seperti apa? Aku hampir mati di sana dan tidak tahu menahu soal bibi May seperti yang kamu bicarakan,” jawab Marissa yang memang tidak mengetahui asal usul kejadian di Antalya. “Kamu marah padaku karena aku memasukkan Joanna ke dalam penjara?” Deniz pun berusaha bicara dari hati ke hati. “Marah padamu? Untuk apa?” Marissa balik bertanya. Marissa menatap Deniz dengan kedua alis ditautkan, “Seharusnya aku mati saja,” gumamnya saat mengalihkan pandangan ke tempat lain. “Marissa, kenapa ngomong seperti itu?” Deniz meraih tangannya, tapi perempuan itu buru-buru menepis. Ia enggan disentuh oleh suaminya dengan banyak alasan, salah satu alasannya adalah suasana hati Marissa sedang tidak baik hari ini. Deniz menghela napasnya dengan berat, “Maafkan
Kota Ankara terasa asing baginya kini, ia terlihat tidak nyaman saat berada di keramaian. Buru-buru Marissa masuk ke dalam mobil untuk menghindar dari kejaran paparazzi yang terus saja mendesaknya. “Nona! Bisakan anda meluangkan sedikit waktu?” “Nona, tolonglah kami!” “Bisa Anda ceritakan, apa yang anda alami selama berada di kota Antalya?”Pertanyaan demi pertanyaan terus saja memberondong perempuan itu. Mereka mengikuti ke mana Marissa melangkahkan kakinya. Para pemburu berita itu tidak melepas sedetik pun untuk mendapatkan informasi yang akurat. “Sialan! Ke mana perginya Alex saat begini?” gerutu Deniz setelah berhasil masuk ke dalam mobil. “Cepat minggir atau kalian aku tabrak!” teriak Deniz dari dalam mobil agar mereka tidak menghalangi jalan. “Kamu tidak apa-apa?” ia menoleh ke arah samping, di mana istrinya memilih untuk melihat ke luar jendela mobil. Tidak ada sahutan dari Marissa dan Deniz tahu jika saat ini suasana hati perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. “Se
“Gila Marissa, ini gila!” Joshua gusar saat mendengar pengakuan dari perempuan di hadapannya itu. “Sttt ….” Marissa meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir yang kini dipoles dengan warna plum.“Jangan keras-keras! Nanti Deniz curiga,” lanjutnya dengan perasaan cemas.Ia mendekatkan kursinya agar bisa mengobrol lebih intens dengan Joshua. Marissa merasa jika hubungannya dengan Deniz harus memiliki kejelasan, dan ia pun meminta pendapat pada teman dekatnya yang mengerti benar tentang masalahnya selama ini—Joshua.“Lalu apalagi, Josh? Jika aku berada di dekatnya, dia akan selalu terlibat dalam masalah. Kamu tahu itu bukan?” tutur Marissa dengan sikap yang tidak kalah gusarnya dengan Joshua. “Setelah apa yang kalian lakukan bersama hingga sejauh ini, dan kamu akan menyerah begitu saja?” Joshua memundurkan wajahnya dengan dahi yang berkerut. “Tidak, Josh. Sampai kapanpun kamu tidak akan mengerti, karena ….” Marissa tidak melanjutkan kalimatnya. “karena apa? Dengan bersikap sep
Marissa keluar dari dalam mobil begitu saja, ia meninggalkan Deniz yang masih duduk termangu. Pria itu merasa heran dengan perubahan sikap, Marissa. Namun sampai di mana Deniz mengejarnya hingga ke dalam kamar, Marissa tetap memasang wajah yang masam.“Ada apa denganmu? A-Aku benar-benar tidak mengerti,” Deniz menarik tangan Marissa, perempuan itu pun menghentikan langkahnya.“Aduh, jangan kasar dong!” Marissa menepis tangan Deniz agar tidak menyentuhnya.“Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong jawab, Marissa!” kata Deniz dengan semburat wajah yang terlihat kacau.Marissa terpaku, ia menatap nyalang ke arah suaminya. Entah apa yang saat ini dipikirkan oleh perempuan itu, “Tidak, tidak ada.” Jawabnya dengan cepat.“Lantas? What’s wrong with you?” Deniz membuka kedua tangannya, ia meminta alasan yang tepat pada perempuan yang dinikahinya beberapa bulan lalu.“Kamu tahu, Deniz? Kamu terlalu baik untukku.” Jawabnya dengan saliva yang menggantung di kerongkongan.“Aku tidak pantas untuk
Sepi. Padahal waktu sudah menunjukkan tengah hari. Marissa berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah outlet yang ada di hadapannya. Ia menyeret sebuah koper yang tentu saja berisi pakaian saat dirinya baru pertama kali berjumpa dengan Deniz. “Here we are,” gumamnya sebelum benar-benar membuka pintunya. Marissa menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan, lalu memandang bangunan yang tidak berubah sejak beberapa tahun lalu. “Marissa ….!” teriak seorang perempuan yang sigap menyambut kedatangannya. Perempuan itu memeluk Marissa dengan hangat, lalu menatapnya dengan senyuman tipis. “Kamu datang sendirian?” tanya perempuan bernama Ruth itu dengan kelopak mata sedikit melebar. “Memangnya kamu melihat aku datang bersama siapa? Tenang saja, tidak ada yang mengikutiku.” Marissa menjawab dengan bibir dimanyunkan. “Hanya berjaga-jaga, siapa tahu ‘kan? Kamu tahu sendiri kalau orang-orang di sekelilingmu itu sangat— mengerikan.” Ujar Ruth dengan bahu digedikkan.“Termasu