“Maaf Pak, saya sudah salah bicara?” Bik Tata enggan meneruskan ucapannya, setelah itu buru-buru pergi ke dapur untuk mencicipi masakannya yang baru saja matang.“Kamu sudah pulang, Mas?” sambut Shara lembut.“Sudah, itu Bik Tata kenapa sih? Tumben sikapnya aneh sama aku.”Shara hanya tersenyum misterius, dia melakukan tugasnya sebagai istri yang baik dengan menawarkan secangkir kopi dan kue.“Mungkin Bik Tata kecapekan saja, Mas. Dia kan habis beres-beres kamar tamu buat Via,” ucap Shara akhirnya. “Jadi nanti kalau Via datang, dia sama Nico bisa langsung istirahat di kamar.”Rio menatap Shara dengan intens. “Apa aku tidak salah dengar? Kamu suruh Bik Tata mempersiapkan kamar buat Via?”“Iya Mas, apa aku salah? Atau mungkin kamar tamu harus didesain jadi kamar anak-anak, gimana?”“Tidak, bukan itu maksudku ....”“Terus apa, Mas? Jangan sampai Via merasa nggak nyaman karena harus mengasuh Nico juga kan?”“Soal Nico, kita bisa mengasuhnya sama-sama. Aku cuma ... tidak menyangka
“Kita tunggu saja,” sahut Rio sambil duduk di sofa.Tidak berapa lama kemudian, ibu Rio muncul sambil membawa Nico yang baru saja bangun tidur.“Nenek pasti kangen sekali sama kamu,” bisik ibu Rio, dia kecup kepala Nico sebelum menyerahkannya kepada Slavia. “Sering-sering ke rumah nenek ya?”Rio mengangguk. “Bu, aku pulang sekarang ya?”“Hati-hati, ingat kamu harus bisa adil.”Slavia berpamitan kepada ibu mertuanya, setelah itu dia mengikuti Rio yang melangkah menuju mobilnya di halaman.“Nico sudah adaptasi sama kamu kan?” tanya Rio seraya mengemudi.“Sudah, aku sempat takut kalau dia menolakku karena sudah lama kami terpisah ....”“Itu namanya ikatan batin.”Slavia terdiam ketika jarak mobil yang ditumpanginya semakin dekat dengan rumah pribadi Rio. Hatinya mulai ketar-ketir tidak keruan membayangkan bagaimana reaksi Shara nanti seandainya mereka berdua akhirnya bertemu.“Nah, kita sudah sampai.”Suara Rio sukses menyadarkan lamunan Slavia, dia membelokkan mobil tepat ke
“Terima kasih, Bik.” Shara menoleh ke arah asisten rumah tangga itu dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. “Lho, Ibu kenapa? Diapain sama Pak Rio?” Bik Tata langsung berjongkok di depan Shara karena meras khawatir. “Nggak diapa-apain, Bik. Kan Bapak nggak ada di sini ....” “Pak Rio pergi ke mana?”Shara menyeka matanya dan meraih cangkir berisi teh herbal yang dibuatkan Bik Tata untuknya.“Bu, Pak Rio ke mana?” tanya Bik Tata ingin tahu.“Bapak ada di ... kamar sebelah,” jawab Shara dengan nada berat.“Jadi ... Pak Rio sedang sama istri mudanya? Kok Ibu biarkan?”“Terus saya harus apa, Bik? Melarang Pak Rio? Nggak mungkin lah, Bik. Mereka itu suami istri, jadi sah-sah saja kalau Pak Rio ada di kamar istrinya yang lain.”Bik Tata hanya bisa menghela napas berat.“Ibu yang sabar ya? Bibik tidak tega rasanya lihat Ibu diperlakukan seperti ini sama Pak Rio.”“Tidak apa-apa, Bik. Doakan saja semoga kami bisa hidup rukun bertiga—maksudnya berempat karena Nico juga haru
Namun, Bik Tata tidak merespons dan memilih untuk mengajak Nico bersenda gurau. Sementara Slavia melanjutkan kegiatannya untuk menyiapkan sarapan, sedikit pun dia tidak mempermasalahkan sikap kaku Bik Tata terhadapnya. Justru Slavia merasa ikut senang karena Nico terlihat nyaman dan akrab dengan Bik Tata.“Kamu belum sarapan, Vi?” tegur Shara yang muncul di dapur.“Belum, Kak ....”“Lho, Bibik gimana? Tadi bukannya disuruh Mas Rio buat antar sarapan ke kamar?”Bik Tata langsung menoleh. “Maaf Bu, saya lupa!”“Lain kali jangan sampai lupa ya, Bik?” tegur Shara.“Nggak apa-apa, Kak. Aku bisa ambil sendiri kok, lagian tadi masih sama Nico.”Shara melempar senyum ke arah Slavia, lalu sesekali menggoda Nico yang masih berada di dalam gendongan Bik Tata.Membuat bayi mungil itu tergelak-gelak senang.Melihat itu, hati Slavia terasa tenteram. Dia berpikir bahwa Shara sudah bisa berdamai dengan keadaan ini.Keadaan yang dia buat sendiri untuk mereka bertiga.“Bagaimana hari ini?”
“Anak kan cocoknya sama ibunya kan?” “Oh, kirain apa ...” Shara melempar senyum ke arah Slavia yang berdiri mematung. “Aku tidur dulu ya, Vi. Kamu sebaiknya juga istirahat karena Nico pasti bangun tengah malam.” “Iya Kak,” angguk Slavia ke arah punggung Shara yang menjauh. “Itu mereka lebih cocok, kita yang bukan siapa-siapa sebaiknya tahu diri sedikit.” Suara Bik Tata mengusik ketenangan Slavia. “Maaf, maksud Bibik apa ya?” “Tidak maksud apa-apa kok, Mbak.” Bik Tata tersenyum aneh. “Menurut bibik, Nico cocoknya sama Bu Shara. Iya kan?” Slavia tidak menjawab, dia tidak tahu apakah wanita paruh baya di hadapannya ini sudah memahami siapa status sebenarnya Shara terhadap Nico. “Mas, Bik Tata itu ... sudah berapa lama kerja di rumah kamu?” tanya Slavia penasaran ketika Rio tiba di rumah lebih awal. “Sejak Shara kerepotan mengasuh Nico, kebetulan bibik yang lama sudah tidak bekerja di sini lagi.” Rio menjelaskan. “Jadi aku cari asisten rumah tangga yang baru, dan ketemu Bik Tata in
Shara menarik napas. “Aku nggak yakin apa di masa depan nanti kamu masih bisa adil atau nggak, Mas. Via memiliki segalanya sebagai seorang istri, dia bisa hamil dan punya anak. Sedangkan aku?”Rio menatap Shara lekat.“Itu tidak akan bikin aku berlaku timpang,” katanya sungguh-sungguh. “Buktinya Via juga tidak menghalangi aku untuk tidur di kamar ini kan? Dia juga tidak menggunakan Nico untuk menahanku di sampingnya, malah dia bilang sesekali Nico boleh tidur sama kita berdua seperti ini ....”“Oh ya? Serius Via bilang begitu, Mas?”Rio memangguk.“Kalau begitu aku mau kita bertiga tidur di sini, Mas!” “Oke, besok aku akan bicara sama Via ....”“Aku maunya sekarang, malam ini. Bisa kan, Mas? Sejak Via datang ke rumah kamu, kita bertiga belum pernah tidur sama-sama kayak dulu ... Aku kangen masa-masa itu, Mas.”Shara memasang wajah sangat memelas hingga membuat Rio merasa tidak tega, dia pun bergegas pergi ke kamar tamu.“Vi, aku boleh bawa Nico ke kamar Shara?” Slavia yang
Slavia mengangguk. “Ya sudah, nggak apa-apa. Asalkan Kak Shara nggak menghalangi aku untuk pegang Nico juga sebentar.” “Aku akan bicara sama Shara juga untuk tidak menghalangi kamu, terima kasih ya!” Rio memeluk Slavia erat. “Aku menyayangi kalian berdua.” Slavia mengangguk dalam dekapan Rio, setelah itu memintanya untuk kembali kepada Shara. Waktu terus berlalu dan Slavia menjalani statusnya sebagai istri kedua dengan perasaan biasa saja. Dia tidak merasa cemburu ataupun resah dengan fakta bahwa dirinya memiliki suami yang juga berstatus sebagai suami wanita lain. Bagi Slavia, yang penting dirinya bisa hidup bersama Nico dan melihat langsung tumbuh kembangnya yang mengagumkan. Namun, situasi tenang itu sedikit terusik ketika Shara sedikit-sedikit mempertontonkan kebersamaannya dengan Rio serta Nico di hadapannya. Slavia tentu tidak mudah terprovokasi pada awalnya, karena dia pikir adalah hal yang wajar ketika Shara menikmati momen kebersamaan dengan suami dan anak bayi di antara
Rio termenung. Dia juga memiliki harapan yang sama dengan yang dimiliki Slavia, tapi kunci utamanya tetap pada Shara sendiri. Mudah-mudahan saja emosi Shara tidak berubah-ubah dan terus stabil, pikir Rio dalam hati. Sebagai seorang suami yang memiliki dua orang istri, tentu dia berharap jika istri-istrinya bisa hidup rukun dalam satu atap. Beberapa waktu kemudian, Rio mengurus persiapan pernikahannya dengan Slavia supaya lebih tenang dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Kak, gimana sama Kak Shara?” tanya Slavia takut-takut. “Apanya?” “Apa dia ... setuju kita nikah ulang?’ “Itu urusan aku, kamu tidak perlu memikirkannya apa-apa.” Karena Rico sudah berucap demikian, maka Slavia tidak mengajukan pertanyaan apa pun lagi. Sebab dia yakin jika Rio tidak mungkin mengambil sembarang keputusan tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Shara. “Surat izin poligami?” Ibu Shara terbelalak ketika Shara meneleponnya. “Apa-apaan sih Rio itu! Dia mengambil keputusan tanpa memik