Bintara pulang kerja lebih awal seperti yang sudah dijanjikan untuk memenuhi undangan makan malam di mansion Adi Jaya. Malam itu, mansion Adi Jaya bersinar terang, menampilkan kemewahan dan kekuasaan yang dimilikinya.
Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit, memancarkan cahaya hangat yang memantul di dinding-dinding marmer.Di ruang makan yang luas, sebuah meja makan panjang telah diatur dengan rapi. Di tengahnya, bunga-bunga segar menghiasi meja, dikelilingi oleh piring-piring porselen yang bersinar.Di satu sisi meja, Adi Jaya duduk dengan anggun, mengawasi persiapan terakhir. Di sisi lainnya, Bintara dan Serena duduk berdampingan, sementara Sietta dan Dong Min berada di hadapan mereka.Pelayan mondar-mandir menyajikan hidangan-hidangan lezat, mulai dari sup lobster, steak wagyu, hingga pencuci mulut tiramisu yang menggugah selera.Bintara melirik Serena yang tampak tenang di sampingnya. Ia tahu bahwa di balik ketenangan itu,Aruna duduk di kursi di ruang tamu rumah Bu Lasmi dan Pak Brahma, dengan alat pompa ASI di tangannya. Sesekali ia memandang ke arah Rohana yang sedang tidur nyenyak di dalam keranjang bayi. Wajahnya tampak tenang, namun pikirannya penuh dengan berbagai hal.Di dapur, terdengar suara Bu Lasmi yang sibuk memasak untuk makan pagi. Aroma masakan yang menggugah selera tercium sampai ke ruang tamu, menambah suasana hangat di rumah tersebut.Aruna menyelesaikan sesi memompa ASI-nya, kemudian dengan hati-hati menuangkan hasilnya ke dalam botol dan menyimpannya di kulkas. “Ibu, ASI untuk Rohana sudah banyak di stok untuk hari ini. Aku menyimpannya di kulkas,” katanya sambil tersenyum pada Bu Lasmi yang datang dari dapur.Bu Lasmi mengangguk, wajahnya penuh kasih sayang. “Iya Nak, sebelum pergi sarapan dulu ini,” ujar Bu Lasmi menyuapi Aruna yang hampir selesai memompa ASI.Setelah selesai sarapan dan memompa ASI, Aruna merapikan alat pompa ASI, kemudian me
Aruna menatap dengan hati yang terluka saat Bintara dan Serena menunggu pesanan mereka di meja makan food court. Bintara, dengan sikap yang terlihat begitu lembut dan penuh perhatian, merapikan helai rambut Serena yang jatuh di wajahnya. Serena tersenyum manis, memegang tangan Bintara dan menatapnya dengan mata berbinar-binar.Mereka berbicara dengan nada rendah, wajah mereka begitu dekat satu sama lain. Bintara kemudian tertawa ringan, membuat Serena tersipu malu dan tersenyum lebih lebar. Tangan Bintara tidak pernah lepas dari Serena, sesekali menggenggamnya dengan erat, menunjukkan betapa erat hubungan mereka.Saat pelayan datang membawa pesanan, Bintara mengambil piring dan meletakkannya di depan Serena, sambil mengatakan sesuatu yang membuat Serena tersenyum bahagia. Serena menatap Bintara dengan penuh cinta, sambil berterima kasih dengan suara yang begitu lembut.Aruna merasa dadanya sesak, melihat kemesraan yang begitu tulus dan indah antara Bintara
Sebastian mengantar Aruna ke rumah orang tuanya, tiba sore hari. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil hening, hanya suara mesin dan langkah-langkah orang di luar yang terdengar. Aruna menatap ke luar jendela, pikirannya terus melayang pada kejadian di food court. Hatinya masih terasa berat dan sakit.Saat mobil berhenti di depan rumah, Sebastian menoleh ke arah Aruna. Matanya penuh dengan keprihatinan dan harapan. Ia ingin memberikan semangat kepada Aruna, meski dirinya sendiri merasa tertekan dengan situasi ini."Aruna," kata Sebastian dengan suara lembut namun penuh ketegasan, "aku yakin Bintara punya alasan untuk melakukan itu. Mungkin ada sesuatu yang kita belum tahu."Aruna diam, matanya berkaca-kaca lagi. Ia mengangguk perlahan, menyimpan rasa kecewa yang masih bergejolak di dalam hatinya. Kata-kata Sebastian mengandung harapan, namun rasa sakit yang ia rasakan tak bisa hilang begitu saja. Sekali lagi, Aruna berterima kasih pada Seb
Pagi itu di kantor Sebastian, suasana tegang terasa di udara. Bintara dan Sebastian duduk berhadapan, meja besar di antara mereka dipenuhi dokumen-dokumen penting. Wajah Bintara tampak cemas, gelisah, sementara Sebastian berusaha menjaga sikap tenangnya.“Aruna kemarin melihat kau bersama Serena,” kata Sebastian, suaranya datar namun tegas. Kata-kata itu seolah menampar Bintara, membuatnya terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Rencananya yang sudah disusun rapi kini terancam hancur. Ia tahu, sebentar lagi semuanya akan menuju titik terang, tapi situasi ini menambah beban di pundaknya.“Aku minta kau tetap beri tahu kejelasan situasi yang terjadi pada Aruna,” pinta Bintara dengan suara sedikit bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Sebastian dengan tatapan memohon, berharap sahabatnya itu bisa mengerti betapa pentingnya hal ini baginya.Sebastian tersenyum tipis, hampir seperti s
"Pak Bintara! Sadar Pak! Lepasin saya!” Sambil menahan tangis, Aruna menatap netra hitam milik Bintara, wajah lelaki di hadapannya yang putih ini kian bersemu merah dengan nafas yang begitu memburu, bibir tipis milik lelaki itu telah beberapa kali melumat bibir Aruna dengan paksa. “Bantu saya menyelesaikan ini …,” rintih Bintara tak terkendali melawan hasratnya. Netra Aruna terbelalak mendengar pinta Bos-nya itu, ia kembali mendorong dada Bintara dan mengatakannya untuk sadar, tapi dekapan Bintara semakin kuat, ia membungkam mulut Aruna dengan bibirnya sambil menggiring Aruna ke arah ranjang king size-nya itu. Aruna memberontak berusaha mendorong dada Bintara, namun tubuh kecilnya kalah melawan pria muda nan tinggi kekar di hadapannya ini, ia hanya menangis merasakan sentuhan tangan Bintara yang kian menjalar ke bagian tubuhnya yang sensitif. Aruna terkejut ketika dirinya diangkat dan dijatuhkan ke atas ranjang, dengan cepat Bintara berdiri dengan lututnya diatas Aruna sambil
"Bapak mabuk semalam, dan nahan saya gak boleh pulang, gak ada yang terjadi 'kok pak. Tenang aja. Saya juga gak akan umbar-umbar tentang kita malam tadi, anggap aja gak pernah terjadi apa pun." Bintara menatap tak percaya pada asistennya itu, tapi ia tak mau ambil pusing dan sepakat bahwa ini adalah rahasia mereka berdua. Bintara tidak menjawab perkataan Aruna. Kemudian, dengan hati yang getir, wanita itu meninggalkan apartemen Bintara. Bintara kembali ke rutinitasnya, termasuk menghadiri rapat-rapat bisnis yang penting. Namun pikirannya terus terganggu pada ingatannya semalam. Bintara ingat semalam bahwa ia telah sepakat untuk bertemu dengan salah satu kolega bisnisnya di bar. Mereka duduk bersama, membahas berbagai topik terkait bisnis, sambil menikmati minuman yang disajikan. Namun, apa yang tidak diketahui Bintara adalah bahwa minuman yang dikonsumsi telah dicampur dengan obat afrodisiak oleh koleganya yang licik. Kolega tersebut merupakan salah satu pesaing bisnisnya sekal
Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya. Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna. “Kenapa Asisten saya, Dok?” “Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.” “Gak ada hal lain Dok?” “Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.” Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya. Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil." Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa y
Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam. “Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepe