Aruna duduk di bangku kayu di halaman belakang rumahnya, memandang jauh ke langit malam yang berhiaskan bintang. Pengakuan cinta Sebastian terus terngiang di pikirannya. Meskipun hatinya tergerak oleh ketulusan Sebastian, ia tahu bahwa cintanya tetap milik Bintara.
Di bawah cahaya bulan yang lembut, Aruna menggenggam ponselnya erat-erat. Selalu menunggu kabar dari Bintara. Namun Kata-kata Sebastian terus bergema di kepalanya. "Aku cinta sama kamu."Ia menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa perasaannya terhadap Bintara masih kuat meskipun hubungan mereka sedang berada di titik terendah.Aruna merasa canggung setiap kali bertemu dengan Sebastian setelah pengakuan itu. Namun, ia tetap berusaha menjaga hubungan profesional dan pertemanan mereka.Setiap kali bertemu Sebastian di warung sayurnya, Aruna merasakan ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ia berusaha untuk tetap bersikap biasa, namun kadang hatinya terasa berat."SebMalam itu, langit cerah tanpa awan, bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut, menembus jendela kamar Aruna dan menciptakan bayangan-bayangan indah di dinding.Aruna berbaring di tempat tidurnya, berselimut hangat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkelebat di benaknya. Namun, satu kenangan terus muncul, kenangan saat ia pertama kali bertemu dengan Bintara.Aruna memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Kilas balik itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin. Ia ingat hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu, perasaan gugup dan antusias yang bercampur aduk. Ketika ia memasuki ruangan yang megah itu, hatinya berdebar kencang. Ia tak tahu apa yang diharapkan, namun ia tak pernah membayangkan sosok yang akan ditemuinya. Aruna mengingat kembali bagaimana sosok Bintara saat pertama kali melihatnyaDi balik meja besar dengan tumpukan berkas dan laptop canggih, duduklah Bintara. Pandangan pertamanya padanya
Malam itu, Bintara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan stabil, pikirannya fokus pada misi penting yang harus diselesaikan. Setelah perjalanan yang terasa panjang, ia tiba di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan malam Jakarta.Bintara membuka pintu kafe dan matanya langsung tertuju pada sosok wanita anggun yang duduk di sudut ruangan. Sietta, dengan penampilannya yang elegan dan penuh wibawa, mengenakan gaun hitam sederhana namun memancarkan aura keanggunan. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting berlian kecil bersinar lembut di bawah cahaya lampu kafe. Setiap gerakannya menunjukkan ketenangan dan kepercayaan diri, ciri khas seorang desainer terkenal yang selalu tampil sempurna di hadapan publik.Bintara berjalan mendekat, senyum simpul menghiasi wajahnya. Ia menyadari bahwa malam ini adalah titik krusial dalam rencananya.Ketika sampai di meja Sietta, ia menganggukkan kepala seb
Pertanyaan Bintara dengan suara lembut namun penuh kecurigaannya telah membuat Serena tertegun sejenak mendengarnya.Jantungnya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap tenang. Sebelum Bintara pulang tadi, memang ia sempat bertemu Dong Min sebentar, dan tidak mungkin hanya mengobrol bila bau parfum Dong Min sampai melekat di tubuh Serena. Namun, ia tak ingin Bintara tahu. Ia harus berpikir cepat.Dengan sikap tenang di balik rasa paniknya, Serena menatap Bintara dengan mata penuh kasih. "Oh, tadi Ng aku mencoba parfummu dan di campur dengan parfumku, jadi baunya sedikit berbeda. Ayo kita tidur, kamu pasti lelah."“Mm begitu, ya udah ayo kita tidur.”Bintara menatap Serena dalam-dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, ia tersenyum simpul sebelum memejamkan mata. Baginya, ini bukan sekadar malam biasa. Ia tahu bahwa Serena sudah terjebak dalam perangkapnya sendiri. Rahasia Serena semakin jelas di hadapannya, dan ia hanya
"Pak Bintara! Sadar Pak! Lepasin saya!” Sambil menahan tangis, Aruna menatap netra hitam milik Bintara, wajah lelaki di hadapannya yang putih ini kian bersemu merah dengan nafas yang begitu memburu, bibir tipis milik lelaki itu telah beberapa kali melumat bibir Aruna dengan paksa. “Bantu saya menyelesaikan ini …,” rintih Bintara tak terkendali melawan hasratnya. Netra Aruna terbelalak mendengar pinta Bos-nya itu, ia kembali mendorong dada Bintara dan mengatakannya untuk sadar, tapi dekapan Bintara semakin kuat, ia membungkam mulut Aruna dengan bibirnya sambil menggiring Aruna ke arah ranjang king size-nya itu. Aruna memberontak berusaha mendorong dada Bintara, namun tubuh kecilnya kalah melawan pria muda nan tinggi kekar di hadapannya ini, ia hanya menangis merasakan sentuhan tangan Bintara yang kian menjalar ke bagian tubuhnya yang sensitif. Aruna terkejut ketika dirinya diangkat dan dijatuhkan ke atas ranjang, dengan cepat Bintara berdiri dengan lututnya diatas Aruna sambil
"Bapak mabuk semalam, dan nahan saya gak boleh pulang, gak ada yang terjadi 'kok pak. Tenang aja. Saya juga gak akan umbar-umbar tentang kita malam tadi, anggap aja gak pernah terjadi apa pun." Bintara menatap tak percaya pada asistennya itu, tapi ia tak mau ambil pusing dan sepakat bahwa ini adalah rahasia mereka berdua. Bintara tidak menjawab perkataan Aruna. Kemudian, dengan hati yang getir, wanita itu meninggalkan apartemen Bintara. Bintara kembali ke rutinitasnya, termasuk menghadiri rapat-rapat bisnis yang penting. Namun pikirannya terus terganggu pada ingatannya semalam. Bintara ingat semalam bahwa ia telah sepakat untuk bertemu dengan salah satu kolega bisnisnya di bar. Mereka duduk bersama, membahas berbagai topik terkait bisnis, sambil menikmati minuman yang disajikan. Namun, apa yang tidak diketahui Bintara adalah bahwa minuman yang dikonsumsi telah dicampur dengan obat afrodisiak oleh koleganya yang licik. Kolega tersebut merupakan salah satu pesaing bisnisnya sekal
Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya. Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna. “Kenapa Asisten saya, Dok?” “Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.” “Gak ada hal lain Dok?” “Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.” Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya. Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil." Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa y
Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam. “Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepe
Sebuah jepretan beberapa foto Aruna di kirim secara real time ke ponsel Serena. Saat ini Aruna tengah berada di sebuah rumah sakit, mengantri gilirannya untuk di periksa kandungan. “Wanita ini hamil?” Tanpa memberitahu siapa pun, Serena pergi dengan menyetir mobilnya sendiri, bahkan melarang supirnya untuk untuk ikut dan mengantarnya. ** Aruna duduk dengan gelisah di ruang tunggu klinik kandungan, mengelus perutnya yang semakin membesar. Keputusan untuk tetap menjalani kehamilan ini dan menikah dengan Bintara telah memberikan harapan baru dalam hidupnya. Namun, di balik harapan itu, ada juga ketakutan dan kecemasan yang terus menghantuinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terbentuk, terutama dengan situasi yang begitu rumit di awal pernikahannya. Saat Aruna tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita anggun dengan rambut panjang berwarna coklat dan berpakaian rapi masuk ke ruang tunggu dan duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum ramah. “Permisi ya, kamu juga lagi nung