Serena menatap cermin di toilet wanita, wajahnya tegang. Ketika Dong Min masuk dengan langkah cepat, Serena membeku.
"Kau tidak seharusnya di sini," bisik Serena dengan nada penuh kegelisahan. Dong Min tidak memedulikannya."Ayo keluar," ujarnya singkat, menarik tangan Serena dengan tegas. Serena, meski ragu, akhirnya mengikuti Dong Min keluar dari toilet.Ketika Dong Min dan Serena muncul dari pintu toilet, pelayan yang ditugaskan oleh Sietta dengan cepat mengambil posisi. Dalam sekejap, kamera ponselnya menangkap momen Dong Min menggandeng Serena keluar. Langkah mereka cepat, penuh urgensi, menuju sudut ruangan yang sepi.Di sudut ruangan itu, Dong Min akhirnya berhenti dan berbalik menghadap Serena. "Kenapa kau begitu tegang?" tanyanya dengan nada lembut yang seolah menggoda, tetapi tatapan Serena masih waspada.Semua gerakan mereka tak luput dari pandangan pelayan yang terus mengamati dari kejauhan. Kamera ponselnya merekam setiap deBintara menyimpan file-file penting tentang bukti kesalahan Serena di sebuah USB, yang dia selipkan dengan hati-hati di dalam brankas kecil di apartemen pribadinya. Setiap kali dia membuka brankas itu, hatinya berdebar kencang, mengingat betapa pentingnya bukti-bukti tersebut untuk masa depannya dan kebebasan yang dia dambakan.Malam itu, setelah fashion show selesai, Bintara duduk di meja kerjanya, menatap USB tersebut dengan tatapan penuh tekad. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya sangat penting. Di dalam USB itu, tersimpan rekaman percakapan, email-email yang mencurigakan, serta foto-foto yang menunjukkan kedekatan Serena dengan Dong Min. Bukti-bukti itu akan menjadi senjatanya untuk membebaskan dirinya dari pernikahan yang penuh kebohongan.Bintara mengingat kembali percakapan dengan Sietta. Dia merasakan solidaritas yang tak terduga dari wanita itu, yang juga terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Bersama-sama, mereka akan merencanakan langkah demi langkah, mem
Aruna duduk di bangku kayu di halaman belakang rumahnya, memandang jauh ke langit malam yang berhiaskan bintang. Pengakuan cinta Sebastian terus terngiang di pikirannya. Meskipun hatinya tergerak oleh ketulusan Sebastian, ia tahu bahwa cintanya tetap milik Bintara.Di bawah cahaya bulan yang lembut, Aruna menggenggam ponselnya erat-erat. Selalu menunggu kabar dari Bintara. Namun Kata-kata Sebastian terus bergema di kepalanya. "Aku cinta sama kamu." Ia menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa perasaannya terhadap Bintara masih kuat meskipun hubungan mereka sedang berada di titik terendah. Aruna merasa canggung setiap kali bertemu dengan Sebastian setelah pengakuan itu. Namun, ia tetap berusaha menjaga hubungan profesional dan pertemanan mereka.Setiap kali bertemu Sebastian di warung sayurnya, Aruna merasakan ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ia berusaha untuk tetap bersikap biasa, namun kadang hatinya terasa berat."Seb
Malam itu, langit cerah tanpa awan, bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut, menembus jendela kamar Aruna dan menciptakan bayangan-bayangan indah di dinding.Aruna berbaring di tempat tidurnya, berselimut hangat, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berkelebat di benaknya. Namun, satu kenangan terus muncul, kenangan saat ia pertama kali bertemu dengan Bintara.Aruna memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Kilas balik itu begitu jelas, seolah-olah baru terjadi kemarin. Ia ingat hari pertamanya bekerja di perusahaan besar itu, perasaan gugup dan antusias yang bercampur aduk. Ketika ia memasuki ruangan yang megah itu, hatinya berdebar kencang. Ia tak tahu apa yang diharapkan, namun ia tak pernah membayangkan sosok yang akan ditemuinya. Aruna mengingat kembali bagaimana sosok Bintara saat pertama kali melihatnyaDi balik meja besar dengan tumpukan berkas dan laptop canggih, duduklah Bintara. Pandangan pertamanya padanya
Malam itu, Bintara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan stabil, pikirannya fokus pada misi penting yang harus diselesaikan. Setelah perjalanan yang terasa panjang, ia tiba di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan malam Jakarta.Bintara membuka pintu kafe dan matanya langsung tertuju pada sosok wanita anggun yang duduk di sudut ruangan. Sietta, dengan penampilannya yang elegan dan penuh wibawa, mengenakan gaun hitam sederhana namun memancarkan aura keanggunan. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting berlian kecil bersinar lembut di bawah cahaya lampu kafe. Setiap gerakannya menunjukkan ketenangan dan kepercayaan diri, ciri khas seorang desainer terkenal yang selalu tampil sempurna di hadapan publik.Bintara berjalan mendekat, senyum simpul menghiasi wajahnya. Ia menyadari bahwa malam ini adalah titik krusial dalam rencananya.Ketika sampai di meja Sietta, ia menganggukkan kepala seb
"Pak Bintara! Sadar Pak! Lepasin saya!” Sambil menahan tangis, Aruna menatap netra hitam milik Bintara, wajah lelaki di hadapannya yang putih ini kian bersemu merah dengan nafas yang begitu memburu, bibir tipis milik lelaki itu telah beberapa kali melumat bibir Aruna dengan paksa. “Bantu saya menyelesaikan ini …,” rintih Bintara tak terkendali melawan hasratnya. Netra Aruna terbelalak mendengar pinta Bos-nya itu, ia kembali mendorong dada Bintara dan mengatakannya untuk sadar, tapi dekapan Bintara semakin kuat, ia membungkam mulut Aruna dengan bibirnya sambil menggiring Aruna ke arah ranjang king size-nya itu. Aruna memberontak berusaha mendorong dada Bintara, namun tubuh kecilnya kalah melawan pria muda nan tinggi kekar di hadapannya ini, ia hanya menangis merasakan sentuhan tangan Bintara yang kian menjalar ke bagian tubuhnya yang sensitif. Aruna terkejut ketika dirinya diangkat dan dijatuhkan ke atas ranjang, dengan cepat Bintara berdiri dengan lututnya diatas Aruna sambil
"Bapak mabuk semalam, dan nahan saya gak boleh pulang, gak ada yang terjadi 'kok pak. Tenang aja. Saya juga gak akan umbar-umbar tentang kita malam tadi, anggap aja gak pernah terjadi apa pun." Bintara menatap tak percaya pada asistennya itu, tapi ia tak mau ambil pusing dan sepakat bahwa ini adalah rahasia mereka berdua. Bintara tidak menjawab perkataan Aruna. Kemudian, dengan hati yang getir, wanita itu meninggalkan apartemen Bintara. Bintara kembali ke rutinitasnya, termasuk menghadiri rapat-rapat bisnis yang penting. Namun pikirannya terus terganggu pada ingatannya semalam. Bintara ingat semalam bahwa ia telah sepakat untuk bertemu dengan salah satu kolega bisnisnya di bar. Mereka duduk bersama, membahas berbagai topik terkait bisnis, sambil menikmati minuman yang disajikan. Namun, apa yang tidak diketahui Bintara adalah bahwa minuman yang dikonsumsi telah dicampur dengan obat afrodisiak oleh koleganya yang licik. Kolega tersebut merupakan salah satu pesaing bisnisnya sekal
Aruna tak sadarkan diri, ia dibawa oleh Bintara sendiri ke klinik Hotelnya. Bintara membaringkan tubuh Aruna, dokter jaga segera memeriksa tekanan darah Aruna. “Kenapa Asisten saya, Dok?” “Tekanan darahnya rendah, dia harus banyak istirahat.” “Gak ada hal lain Dok?” “Untuk memeriksa lebih lanjut anda sebaiknya keluar dulu Tuan, mungkin akhir-akhir ini dia stress dan kelelahan bisa jadi pemicunya. Anda tampak sangat memperhatikan karyawan anda, ya.” Bintara tersenyum tipis, kata-kata dokter seolah mengatakan bahwa reaksinya berlebihan untuk seorang Presdir kepada bawahannya. Bintara pun keluar ruang periksa, dan kembali ke ruangannya. Lalu dokter pun melakukan serangkaian tes pada Aruna termasuk memeriksa urinnya. Beberapa saat kemudian, dokter tersebut mengangkat pandangan dari hasil tesnya, wajahnya sedikit serius. "Aruna, saya punya berita yang harus saya sampaikan pada Anda. Anda sedang hamil." Aruna merasakan dunianya runtuh. Dia terdiam, hampir tidak percaya dengan apa y
Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam. “Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepe