Share

Bab 5

Sebuah jepretan beberapa foto Aruna di kirim secara real time ke ponsel Serena.

Saat ini Aruna tengah berada di sebuah rumah sakit, mengantri gilirannya untuk di periksa kandungan.

“Wanita ini hamil?”

Tanpa memberitahu siapa pun, Serena pergi dengan menyetir mobilnya sendiri, bahkan melarang supirnya untuk untuk ikut dan mengantarnya.

**

Aruna duduk dengan gelisah di ruang tunggu klinik kandungan, mengelus perutnya yang semakin membesar. Keputusan untuk tetap menjalani kehamilan ini dan menikah dengan Bintara telah memberikan harapan baru dalam hidupnya. Namun, di balik harapan itu, ada juga ketakutan dan kecemasan yang terus menghantuinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terbentuk, terutama dengan situasi yang begitu rumit di awal pernikahannya.

Saat Aruna tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita anggun dengan rambut panjang berwarna coklat dan berpakaian rapi masuk ke ruang tunggu dan duduk di sebelahnya. Wanita itu tersenyum ramah. “Permisi ya, kamu juga lagi nunggu giliran periksa ya?” tanya wanita tersebut.

Aruna tersentak dari lamunannya dan membalas senyuman itu. “Iya, saya lagu nunggu panggilan dokter.”

“Nama saya Serena,” wanita itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangan dengan sopan.

“Aruna,” jawab Aruna sambil menjabat tangan Serena. Dia merasakan sesuatu yang hangat dan menenangkan dari sikap ramah wanita ini, tanpa menyadari bahwa Serena adalah istri pertama Bintara yang mengetahui semua rahasia gelap di balik senyumnya.

“Apa ini kehamilan pertamamu?” tanya Serena dengan suara lembut, menatap perut Aruna yang mulai terlihat jelas.

“Iya, ini pertama kali,” jawab Aruna, merasa sedikit lebih santai berbicara dengan Serena. “Kamu sendiri?”

“Oh, kalau aku mau kontrol kandungan bekas keguguran. Hamil muda emang harus ekstra hati-hati, moga kamu sama calon bayinya baik-baik aja ya,” Serena tersenyum dan mengelus perut Aruna, menyembunyikan niat sebenarnya di balik wajah ramahnya.

“Aamiin, makasih banyak doanya,” jawab Aruna membalas senyuman Serena.

“Kok gak di anter suaminya?” tanya Serena berusaha memancing.

Raut wajah Aruna yang semula tersenyum lebar, perlahan memudar. Ya seharusnya Bintara hadir bersamanya, semua kebutuhan materi memang telah di cukupi oleh suami Presdirnya itu, namun kehadirannya sungguh sangat jarang ia temui.

“Dia sibuk kerja mulu, mungkin sebulan datang sekali atau dua kali.”

“Ya ampun, kasian nanti kalau ada apa-apa gimana? Kamu tinggal di mana?”

Serena melancarkan aksinya, menanyakan alamat dan berpura-pura simpati, dia bahkan berbohong bahwa rumahnya dekat dengan rumah baru yang Aruna tempati.

‘Itu masalah gampang, aku tinggal beli rumah dekat dia,’ pikirnya.

**

Hari-hari berlalu, dan Serena mulai mendekati Aruna dengan lebih intens. Dia menawarkan bantuan dan dukungan, dari mengantar Aruna ke dokter hingga memberikan saran tentang kehamilan.

Aruna, yang merasa kesepian dan bingung, menyambut baik kehadiran Serena. Dia mulai menganggap Serena sebagai seorang teman dan bahkan sosok seperti kakak yang dia tidak pernah miliki.

Serena memainkan peran ini dengan sempurna, memastikan bahwa Aruna merasa nyaman dan percaya padanya. Dia tahu bahwa semakin dekat dia dengan Aruna, semakin mudah baginya untuk melaksanakan rencana jahat yang tersembunyi.

Suatu hari, saat Aruna dan Serena sedang berbincang di sebuah kafe, Aruna dengan polosnya menceritakan tentang Bintara yang memberikannya hadiah baju-baju hamil dengan binar mata yang begitu bahagia. Serena mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kemarahan yang membara.

“Suamimu itu pria yang baik, Aruna. Kamu sangat beruntung,” kata Serena, berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan emosi yang sebenarnya.

Aruna tersenyum lemah. “Iya, aku merasa beruntung. Tapi, aku juga khawatir kalau anak ini jarang-jarang ketemu Ayahnya yang sibuk gimana?”

Obrolan mereka sepintas terlihat hangat dan saling support, namun setelah Serena pulang dengan perasaan campur aduk, di kamarnya ia merasa kesal sendiri, ia mencorat-coret sebuah foto Aruna dengan pulpen.

Dengan penuh tekad, dia merencanakan langkah-langkah selanjutnya dengan cermat, memastikan bahwa tidak ada yang mencurigai niat aslinya.

Malam itu, Serena berdiri di depan cermin di kamar tidurnya, memandang bayangan dirinya sendiri. “Aku akan membuat kalian membayar untuk semua ini,” gumamnya pada bayangan itu. “Aku akan mengambil bayi itu dan memastikan tidak ada yang bisa merebut apa yang menjadi milikku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status