Share

Bab 6

Aruna duduk di depan teras rumahnya pada siang hari yang cerah, sinar matahari menari di atas daun-daun yang bergerak pelan. Di tangannya yang lembut, benang-benang warna pastel menjalin simpul demi simpul, membentuk pola indah yang kelak akan menjadi topi mungil untuk calon bayinya. Setiap tusukan jarum rajut yang ia lakukan penuh dengan cinta dan harapan, seakan ia merajut masa depan yang penuh kehangatan bagi anak yang sedang ia nantikan.

Desiran angin membawa aroma bunga dari taman, menambah kedamaian di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, seolah memberikan irama yang harmonis pada setiap gerakan tangannya. Di tengah ketenangan itu, Aruna merenung tentang kehidupan baru yang akan segera hadir, membawa kebahagiaan yang tak terhingga. Setiap helai benang yang tersulam mengandung impian dan doa, melingkupi bayinya dengan kasih sayang yang tak terhingga.

Teras rumah yang sederhana itu menjadi saksi bisu dari momen-momen berharga, di mana seorang ibu merajut cinta dan harapan ke dalam setiap simpul benang. Di bawah langit biru yang membentang luas, Aruna merasa dilingkupi oleh kebahagiaan yang hangat, seolah alam semesta turut merestui harapannya untuk masa depan yang cerah.

Kemudian, dering telepon memecah keheningan siang yang tenang. Aruna menghela napas sejenak sebelum mengangkatnya, mengetahui bahwa panggilan itu berasal dari Bintara, suaminya yang terpisah jarak oleh pekerjaan.

Suara Bintara terdengar hangat dan penuh perhatian, “Gimana kabarmu dan calon bayi kita?”

“Baik, kamu gimana?” tanya Aruna kembali.

“Aku juga baik, cuma lagi banyak kerjaan aja. Aku mau ngabarin belum bisa pulang ke sana. Maafin aku ya, Aruna?”

Raut wajah Aruna seketika berubah, bayangan kesedihan tampak jelas di matanya yang teduh. Meski hatinya terasa berat, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dengan baik. Dengan suara yang tetap lembut dan penuh kasih, Aruna berkata kepada Bintara bahwa ia mengerti dan berharap suaminya menjaga diri di tempat yang jauh. Kata-katanya mengalir dengan ketulusan, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan kekosongan yang mendalam karena rindu.

Setelah telepon berakhir, Aruna menatap jarum rajut di tangannya. Ia berusaha mengalihkan pikirannya kembali ke pekerjaan yang sedang dilakukannya, merajut topi kecil untuk bayinya. Walau hatinya penuh kegelisahan, ia berusaha memahami situasi Bintara. Ia tahu bahwa cinta mereka akan tetap kuat meskipun jarak memisahkan. Aruna meneguhkan hati, merajut dengan penuh harapan, sambil memeluk erat doa-doa yang ia kirimkan untuk keselamatan suaminya, hingga saat mereka bisa bersatu kembali.

Saat Aruna melamun, tenggelam dalam pikirannya yang melayang-layang antara kerinduan dan harapan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Serena, tetangganya, datang dengan senyum lebar, membawa sebuah bingkisan berisi buah-buahan segar. Serena adalah sahabat baiknya, selalu hadir dengan perhatian yang tulus di saat-saat Aruna merasa sendiri.

"Aruna, aku bawakan beberapa buah segar untukmu," sapa Serena dengan suara ceria, mencoba mengusir bayangan murung di wajah Aruna. "Kupikir ini bisa menambah energimu."

Aruna tersenyum hangat meskipun masih terasa samar oleh kesedihan yang menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Serena. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik."

Serena duduk di sebelah Aruna, meletakkan bingkisan buah di atas meja kecil di teras. Matahari masih bersinar lembut, memberikan nuansa hangat yang nyaman. "Apa yang sedang kamu rajut? Oh, ini pasti untuk bayimu, bukan?" tanya Serena sambil mengamati karya rajutan di tangan Aruna.

"Iya," jawab Aruna pelan, kembali menatap benang-benang yang tersulam dengan rapi. "Ini akan menjadi topi kecil untuknya. Aku berharap dia bisa merasakan kehangatan dari setiap benang yang kurajut."

Serena mengangguk, merasakan betapa besar cinta dan harapan yang ditanamkan Aruna dalam setiap jahitannya. "Bintara pasti akan sangat bangga padamu, Aruna. Kamu adalah ibu yang luar biasa."

Aruna hanya tersenyum tipis, mencoba menguatkan diri di depan sahabatnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia berjuang melawan kekhawatiran dan kesepian. Kehadiran Serena menjadi penghibur, meski bayang-bayang rindu masih membayangi hatinya.

Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, ditemani oleh suara alam dan percakapan ringan yang sesekali mengalir. Aruna merasa sedikit lebih tenang, berkat perhatian Serena dan harapan yang terus ia rajut di antara benang-benang pastel itu.

Aruna mengajak Serena masuk ke dalam rumah, mengucapkan terima kasih sekali lagi atas buah-buahan segar yang dibawanya. Serena mengikuti Aruna ke dalam, matanya menjelajahi setiap sudut rumah besar itu dengan campuran perasaan yang tersembunyi rapi di balik senyumnya yang hangat. Mereka melangkah ke ruang tamu yang luas, di mana foto-foto keluarga terpajang indah di dinding.

Serena berhenti sejenak di depan sebuah foto besar yang menggambarkan momen bahagia pernikahan Aruna dan Bintara. Senyum ceria dan tatapan penuh cinta pasangan itu terlihat jelas di dalam bingkai emas. "Foto ini sangat indah," kata Serena, suaranya terdengar tulus. Namun, di dalam hatinya, kebencian dan rasa sakit yang mendalam bergejolak.

Aruna tersenyum lembut, mengenang hari yang penuh kebahagiaan itu. "Iya, itu adalah hari yang sangat istimewa bagi kami," jawabnya dengan nada yang penuh kenangan manis. Ia tidak menyadari apa yang sebenarnya tersembunyi di balik tatapan Serena yang tampak penuh kekaguman.

Serena menahan diri untuk tidak menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Ia berusaha keras untuk tetap berlagak baik dan ramah di depan Aruna, meski hatinya dipenuhi oleh rasa benci.

Rasa cemburu dan kepahitan menggerogoti hatinya setiap kali ia melihat kebahagiaan Aruna yang tampak begitu sempurna.

"Rumahmu sangat indah, Aruna. Kamu benar-benar beruntung," Serena melanjutkan dengan nada yang terdengar tulus. Dalam benaknya, ia menyimpan rencana-rencana licik untuk menghancurkan kebahagiaan yang selama ini hanya bisa ia saksikan dari jauh.

Aruna, yang tidak mengetahui apa pun tentang rahasia kelam ini, menganggap kehadiran Serena sebagai berkah. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang tentang hal-hal ringan sambil menikmati buah-buahan segar yang dibawa Serena. Namun, di balik percakapan yang tampak akrab dan hangat, terdapat dinamika emosional yang rumit dan penuh intrik, siap meledak kapan saja.

Malamnya, di dalam rumahnya yang terasa sunyi, Serena duduk di depan meja kerja dengan cahaya lampu yang redup. Wajahnya yang tadinya ramah kini menampakkan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Dengan jari-jarinya yang cekatan, ia membuka laptop dan mengakses rekaman CCTV yang selama ini ia simpan dengan rapi, menunggu saat yang tepat untuk menggunakannya.

Serena menemukan potongan rekaman yang ia cari—gambar Aruna membantu Bintara yang sedang mabuk masuk ke dalam apartemen. Senyum sinis menghiasi wajahnya saat ia meng-capture momen itu dan menyimpannya sebagai sebuah gambar. Dalam benaknya, Serena tahu bahwa gambar ini bisa memicu kecemasan yang mendalam pada Aruna, terutama karena situasi di foto itu bisa disalahartikan dengan mudah.

Dengan teliti, Serena mengetik pesan di ponselnya pada seseorang, memerintahkan untuk mencetak foto tersebut agar tak mudah di lacak, lalu memerintahkan orang itu menulis pesan yang di ketik secara anonim.

Serena menekan tombol 'kirim' dengan perasaan puas. Ia tahu bahwa pesan ini akan menghantam Aruna seperti petir di siang bolong, menaburkan benih keraguan dan ketakutan di dalam pikirannya. Setelah itu, ia menutup laptop dan bersandar di kursinya, menatap gelapnya malam dari jendela. Serena merasakan kepuasan dingin dalam dirinya, meyakini bahwa satu langkah kecil ini akan membuat Aruna merasakan ketidaknyamanan yang ia rasakan selama ini.

Di tempat lain, di rumahnya yang tenang, Aruna sudah terlelap dalam tidur, tanpa menyadari ancaman yang tengah mendekat. Esok hari, dunia yang ia kenal mungkin akan terguncang oleh keraguan dan kecemasan, sementara Serena terus merajut jaringannya yang penuh dengan intrik dan dendam.

Pagi harinya, saat sinar matahari mulai menembus jendela, Aruna terbangun dengan perasaan tenang. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Aruna mendengar bunyi pintu depan yang diketuk pelan. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah berat dan membuka pintu, hanya untuk menemukan sebuah amplop tergeletak di depan pintu rumahnya. Dengan perasaan bingung, ia mengambil amplop itu dan membukanya.

Di dalamnya ada sebuah foto dirinya ketika merangkul Bintara masuk apartemen, lalu terdapat secarik kertas yang dengan ketikan yang rapi namun dingin:

[Apakah kamu yakin Bintara setia? Bagaimana jika dia memiliki rahasia yang tidak pernah kamu bayangkan?]

Aruna merasakan ketakutan yang mendalam menjalar di seluruh tubuhnya. Sambil menutup mulutnya sendiri, ia menatap surat itu, ditambah dengan foto masa lalu yang ia tutup rapat menambah beban pikirannya yang sudah berat. Siapa yang bermain dengan hidupnya seperti ini? Dan apa sebenarnya tujuan mereka? Pikirnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Vya Kim
visual Serena siapa? Ayu ...
goodnovel comment avatar
Wahyu Mei25
Serena serem weh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status