"Jangan minta pulang dulu ya. Kalau kamu nggak mau ketemu sama Doni kita bisa cari tempat lain. Asal jangan minta pulang, nanti aku jadi merasa bersalah kalau kamu ikutan pulang juga seperti Miranda.""Memangnya Mbak Mir jadi pulang, Mas?" Kepala Diana mendongak penuh. Sedikit terkejut mendengar ucapan Abian baru saja. Kalau Miranda sampai pulang, itu artinya pertengkaran mereka belum selesai kan?"Iya, tadi aku lama karena nganterin Miranda ke Bandara dulu. Sudah nggak usah bahas dia. Nanti aku jadi gak mood!" Abian mengusap lembut kepala Diana. Gadis itu sedikit heran karena Abian terlihat seperti manusia tanpa beban, padahal pacarnya lagi ngambek, kok bisa sesantai itu?Namun Diana tak mau banyak tanya. Dia memilih diam dan tak membahas soal Miranda lagi."Iya Mas! Makasih sudah baik dan perhatian seperti ini sama aku," ujarnya dengan kepala tertunduk dalam. Perkataan Diana barusan membuat Abian menowel gemas dagu gadis itu. "Kamu istri aku, sudah sepatutnya aku perhatian sama kamu
"Apa kamu bilang? Istri?" Doni terbelalak tak percaya. Sejenak, otaknya terasa kosong dan ia mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Pria itu perlahan mendekat ke arah Abian yang tengah berjuang mengatur napas sambil meringis menahan rasa sakit. Keduanya sama-sama menyandar di pinggir kolam ikan dengan napas terengah-engah. Abian lantas menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah. Dia terbatuk pelan karena tonjokan Doni yang menghantam pipinya begitu keras. "Apa maksudnya dengan istri? Kau dan Diana sudah—?" Desakan dari Doni membuatnya ingin menjerit sejadi-jadinya. "Iya, aku sudah menikah!" Abian sigap memotong kata-kata Doni. Suasana memanas, penuh tekanan yang hampir terasa menyempitkan paru-paru mereka berdua. Dan dalam kegelapan itu, mereka mencoba mencari kebenaran di mata satu sama lain.Sontak mata lelaki itu membeliak, terasa seperti ditampar oleh kenyataan yang terasa begitu menyakitkan. Ia tak bisa menerima bahwa situasi yang terjadi saat ini nyata, buk
Abian refleks menjenggut rambutnya dengan kedua tangan. Pertanyaan Doni barusan sukses membuat kepala Abian makin berdenyut ngilu mendengarnya. Dia merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi ini."Aku tidak tahu Doni! Aku pusing!" keluh pria itu terlihat seperti orang putus asa sekali.Doni yang sebenarnya masih marah karena merasa dibohongi seakan dipaksa untuk tidak marah melihat keadaan Abian yang seperti itu. Tangannya bergerak halus meremas bahu Abian seakan memberi lelaki itu kekuatan untuk berpikir jernih. "Pusing aku Don! Kenapa masalah terus-terusan menghantuiku," tanya pria itu dengan bodohnya. Jelas Doni langsung menggertakan seluruh gigi-giginya. "Menurutmu sekarang aku harus gimana?" tanya pria itu lagi. Kini Doni benar-benar tak tahan. Dengan kekesalan yang memuncak peuh, ia menjenggut kuat-kuat rambut Abian sampai lelaki itu meringis kaget!""Bodoh! Dasar manusia bodoh. Perusahaan saja kamu elus-elus giliran masalah beginian kamu gak becus!" makinya."Aku but
Miranda baru saja membuka pintu kamar hotel saat sebuah tangan menyambutnya dengan rangkulan yang sangat kuat. Tubuh gadis itu terangkat, terhoyong dan berakhir jatuh di atas ranjang.“Alex, apa yang kamu lakukan, hei?”“Kamu lelet sekali Mir! Apa kamu tahu aku menunggumu di tempat ini sejak pagi?” ucap Alex galak, pria itu langsung menindih tubuh Miranda tak sabaran. Sebisa mungkin Miranda mengatur napasnya agar dapat menghindari perlakuan Alex yang membagongkan. Alex adalah anak pemilik club malam tempat Miranda bekerja. Dia sudah lama menginginkan Miranda, tapi Miranda tetap kekeh menjaga kesuciannya karena ia ingin menyerahkan yang satu itu hanya untuk Abian seorang. Sementara Alex, pria itu hanya mendapat foreplay dan sedikit service dari Miranda. Itu pun kalau gadis itu membutuhkan bantuan seperti ini. Kalau tidak Miranda akan menjauh karena Alex cukup berbahaya. Dia perokok, pemabuk, suka main wanita, dan semua yang ada di diri Alex bukan tipe Miranda sama sekali.“Tahan dulu
"Waktumu di sana cuma dua hari. Ini alamat resort tempat mereka menginap. Aku mau kamu menyingkirkan Diana di Bali saja!" Miranda memberikan secarik kertas yang sudah ia tulis di dalam kertas catatan kepada Alex. Pria itu menerimanya dengan gaya slengean dan membacanya sekilas."Baiklah ... Tapi aku tidak bisa janji banyak! Aku takut pacarmu bikin rese dan membuatku kesulitan melenyapkan anak itu. Jadi kasih waktu untuk membaca situasi terlebih dahulu.""Jangan terlalu lama, Alex. Aku sudah memberikan semua yang kamu mau bahkan rela mengambil risiko dibuang Abian," kecam gadis yang sudah tidak gadis itu.Miranda tahu betul kalau Abian sangat menjunjung yang namanya kesucian. Mereka suka mesum-mesuman. Suka ciuman dan pegang sana-sini, tapi semua yang keduanya lakukan tidak pernah melewati batas karena Abian pintar sekali menahan diri. Mirandah bahkan sering kewalahan menghadapi Abian. Tapi itu sudah menjadi keputusan lelaki itu untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Mau tidak ma
Sebuah meja bundar besar menjadi penghalang duduk antara Kakek Bram dan Diana. Dari posisinya kini, Bram bisa melihat jelas raut bingung dan sedikit takut yang terpancar di wajah gadis itu.Bram yakin Diana pasti bingung karena dirinya hadir tanpa aba. Mungkin saja Diana sedang berpikir apa salahnya sampai Kakek Bram nekat menemuinya."Santai saja Diana. Wajahmu terlihat ketakutan begitu. Aku jadi tidak enak dilihat banyak orang," kelakar Kakek Bram. "Maaf Kek!""Santai saja, jika ada yang ingin kamu tanyakan silakan ditanyakan dulu."Diana meneguk ludah. Gadis itu membenarkan posisi duduknya. Matanya terus menatap Kakek Bram tak berkedip diiringi wajah sungkannya yang menambah kegemasan. Ya, Bram gemas melihat tingkah bocah kampung 19 tahun itu."Maaf Kek. Sebelumnya kalau boleh tahu, dari mana Kakek tahu kalau aku dan Mas Bian menginap di hotel ini?"Senyum Kakek Bram mengembang. Pertanyaan polos ini terlihat lucu untuk Kakek Bram yang memiliki banyak mata di mana pun. Apa bocah pol
Keraguan tampak menyelimuti wajah Kakek Bram saat pria tua itu hendak bicara. Diana jelas gusar dengan sikapnya, dia mulai tak tahan dengan bicara Kakek tua itu yang lelet sekali. Tapi apa daya?Tak ada yang bisa Diana lakukan selain menunggu Kakek Bram menjelaskan semuanya dengan sabar. Sesekali ia memainkan jarinya, atau menggesek jempol kakinya di bawah sana dengan tumit."Sebenarnya Ayahmu adalah orang jahat Diana. Satu hari setelah membawamu ke Jakarta, aku sengaja mencari tahu asal-usulmu, itu untuk memastikan apakah kamu layak untuk Abian atau tidak. Ada banyak hal yang harus aku pastikan sebelum memutuskan untuk menikahkan kalian.”Respon Diana hanya diam saja mendengar ucapan Kakek Bram di bagian itu. Ia yang sudah terbiasa dijahati dan disiksa oleh ayahnya setiap hari merasa bahwa apa yang dikatakan Kakek Bram terlalu basi untuk didengar.“Penyelidikanku tentang dirimu tak tanggung-tanggung, orangku bahkan sampai menanyakan langsung pada ayahmu! Dan apakah kamu ingin tahu al
"Kamu serius? Kok tiba-tiba banget kepengin begituan? Kamu nggak lagi becandain aku kan? Kok bisa! Ah, Diana! Aku bingung. Aku nggak tahu harus ngomong apa!"Abian malah berguling sambil menutupi wajah malunya. Diajak seperti itu oleh Diana rasanya masih tidak menyangka saja."Mas Abian kenapa kayak gitu? Mas Bian gak ma--""Mau!" potong Abian cepat."Aku mau banget Diana! Cuma aku masih bingung. Aku takut yang aku dengar sekarang cuma mimpi. Gimana kalau beneran mimpi? Nanti aku malah kecewa."Abian bergulang-guling di ranjang seperti orang gila. Diana jadi bingung harus bereaksi apa. Dia sendiri juga malu. Apa yang dia katakan tadi terlalu tabu! Ditambah lagi respon Abian seperti belut disiram garam begitu.Setelah puas menutupi wajahnya, Abian kembali mengambil posisi duduk. Dia menghadapi Diana sembari menatap lekat-lekat wajahnya.Sejenak mereka berdua saling pandang dengan muka sama-sama merona karena malu.“Diana, tapi kamu nawarin aku bukan karena terpaksa kan? Sebenarnya aku