Deon mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu ruangan tempat menyekap Nafisa, tetapi dia mengurungkan niatnya saat mendengar suara yang sangat kencang di ruangan sebelahnya. Dia mendobrak ruangan itu dan terkejut saat melihat apa yang terjadi di sana. "Melani?" Deon melihat Melani dengan pakaian yang telah terkoyak dan mata sembab oleh air mata. "Apa yang terjadi?" lanjutnya bertanya ingin tahu. Deon berjalan mendekati Melani. Dia melepaskan jas yang dia pakai dan menggunakan jas itu untuk menutupi tubuh Melani. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya pada Melani. Melani diam tidak menjawab. Dia hanya menunduk dan mengusap pipinya yang merah. Di sebelah Melani, seorang preman telah terkapar tidak sadarkan diri. Tubuhnya babak belur dan memar-memar. Hanya dengan melihat situasi, Deon mengerti apa yang terjadi. Dengan sigap dia merengkuh tubuh Melani dan membawanya ke luar ruangan itu. Tiba-tiba, di luar ruangan sudah ada beberapa anak buah Deon yang baru saja datang. "Kalian,
"Sekali lagi, maafkan aku," gumam Deon lirih. Tatapan matanya benar-benar menunjukkan penyesalan. Dia benar-benar merasa bersalah atas kejadian penculikan yang terjadi pada anak dan istrinya. "Jangan meminta maaf. Ini bukan salahmu," ujar Melani. "Entah apa jadinya kami jika kamu tidak menemukan dan menyelamatkan kami. Untuk itu, rasa terima kasih saja tidak cukup," lanjutnya. "Kamu ini bicara apa? Sekarang aku adalah suamimu sekaligus papa sambung bagi Nafisa. Sudah seharusnya aku menjaga dan melindungi kalian." Deon menimpali. Deon kembali melajukan mobil. "Besok, aku akan membuat acara khusus sebagai bentuk penyesalan sekaligus permintaan maafku pada kalian." Dia berkata tanpa menoleh ke arah Melani. Tatapannya lurus ke depan, fokus menyetir mobil. "Kalian harus bersiap-siap," ucap Deon bersemangat. Dia tersenyum menatap Melani dan Nafisa lewat kaca spion, berharap dua wanitanya itu ikut tersenyum. "Aku sudah bilang jika ini bukan kesalahanmu, dan kamu tidak perlu meminta maa
"Hari ini aku akan menepati janjiku. Aku telah menyiapkan sebuah acara khusus untuk kalian." Deon menutup mata Melani dan Nafisa, lalu membawanya menaiki mobil meninggalkan rumah."Kenapa harus menutup mata? Kamu membuatku merasa penasaran." Melani menyandarkan tubuhnya di sandaran mobil. Dia ingin sekali membuka penutup mata, tetapi dia tahu Deon tidak akan mengizinkannya. Akhirnya, dia pasrah dan sekalian memejamkan mata. Di samping Melani, Nafisa menarik-narik penutup mata, berusaha untuk melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia merasa sangat penasaran dan tidak bisa menahan keinginannya untuk membuka penutup mata."Tidak boleh curang, Nafisa! Pakai kembali penutup matanya," ujar Deon seraya tersenyum menatap Nafisa. Sengaja dia melakukan itu agar Melani dan Nafisa merasa penasaran."Tapi Nafisa penasaran. Papa mau membawa Mama dan Nafisa ke mana?" Nafisa mengembalikan penutup matanya ke posisi semula, lalu bertanya ragu-ragu. "Papa ingin memberi kejutan untuk kalian. Jadi,
Desy menghentikan mobil di depan Butik Queenafisa. Beberapa menit yang lalu, dia mendapat undangan dari Melani untuk menghadiri acara di butiknya. Betapa terkejutnya dia, saat dia baru saja sampai dan melihat kobaran api yang membakar butik."Melani? Apa Melani masih di dalam butik itu?" gumam Desy panik. Dia segera mengambil ponselnya untuk menelepon Melani.Beberapa kali dia menelepon Melani, tetapi tidak ada jawaban. Dia juga menelepon pemadam kebakaran, dan hasilnya sama, tidak ada yang mengangkat teleponnya. Dia merasa kesal, lalu mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam tas.Desy melihat sekeliling untuk mencari bantuan, tetapi tidak ada siapapun di sana. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam butik dengan menerobos api demi menyelamatkan Melani.Sebelum masuk ke dalam butik dan menerobos kobaran api, Desy sempat mengirim pesan untuk Deon. Dia meminta Deon untuk segera datang ke butik dan memanggil pemadam kebakaran."Apa? Kebakaran?" Deon segera memerintahkan sop
"Bertahanlah, Melani. Kamu harus bertahan." Beberapa perawat membantu memindahkan Melani ke brankar pasien rumah sakit dan mendorongnya masuk ke ruang ICU. Deon berlari mengikuti mereka dan menatap panik Melani. "Sebaiknya Anda tunggu di sini dulu, Pak. Kami akan memeriksa pasien terlebih dahulu." Seorang perawat menghalangi saat Deon hendak mengikuti mereka masuk ke dalam ruangan ICU. Di saat Melani sedang ditangani di ruangan ICU, Aldo sedang menjaga Desy di ruangan lainnya. Untung saja tidak ada hal serius yang menimpa Desy. Dia hanya pingsan karena terkejut saat melihat kayu besar jatuh di depan matanya. Aldo terus menunggu untuk memastikan Desy benar baik-baik saja. Saat Desy mulai menggerakkan jari dan membuka mata, secepat kilat Aldo berlari keluar ruangan tempat Desy dirawat. Desy mengucek-ucek matanya. "Aku sepertu melihat seseorang, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?" gumamnya lirih. "Di mana aku?" Desy melihat sekeliling dan merasa bingung. Dia baru ingat tentang kejad
"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apa dia baik-baik saja?" Deon mengulangi pertanyaannya pada dokter yang bertugas memeriksa Melani. Dokter tampan itu tersenyum lembut. "Tenanglah, Pak. Istri Anda baik-baik saja. Anda harus bersyukur karena kebakaran itu tidak sampai membuat istri Anda mengalami luka bakar serius ataupun mengalami trauma inhalasi. Anda telah menyelamatkannya tepat waktu." Dokter itu menjelaskan panjang lebar. Deon tersenyum lega setelah mendengarkan penjelasan dari dokter. Akhirnya kekhawatirannya tidak terjadi. "Bolehkah saya menemui istri saya?" tanyanya. Aldo yang sejak tadi menemani Deon meski mendapatkan amarah, ikut tersenyum lega. Untung saja tidak terjadi sesuatu pada Melani. Jika tidak, dia harus siap-siap menerima kemarahan yang lebih besar lagi dari bosnya itu. *** "Aku mau pulang!" Melani berusaha mengangkat tubuhnya. Sekarang dia sudah berada di ruang perawatan ditemani oleh Deon dan Aldo. Deon menahan tubuh M
"Desy baik-baik saja, Nyonya. Benar apa yang dikatakan Tuan Deon. Dia hanya pingsan saja. Namun, saat ini dia sudah sadarkan diri. Dokter hanya menyuruhnya beristirahat sebentar dan besok sudah boleh pulang." Aldo menjelaskan panjang lebar untuk menenangkan istri bosnya. Selain itu, dia berharap Melani tidak jadi memintanya pergi ke ruangan Desy. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan wanita itu. "Aku ingin kamu tetap pergi ke ruangan adik psikopat itu. Karena dia sudah berusaha menolong istriku, aku ingin memberikan imbalan yang pantas untuknya. Pastikan dia berada di ruangan yang nyaman tanpa kekuarangan apapun, dan sampaikan undangan makan malam untuknya besok malam." Kali ini Deon yang bersuara lantang. Aldo tercekat. Kali ini perintah untuk pergi ke ruangan Desy tidak hanya datang dari istri bosnya, tetapi datang langsung dari mulut bosnya. Mau tidak mau, dia harus menjalankan perintah itu. Padahal, dia ingin menghindari Desy. Bagaimana ini? "Baik, Tuan. Saya akan pergi ke ruang
Aldo kembali mengetuk pintu ruang inap Desy. Dia harus tahu dengan apa yang dimaksud Evan tadi. 'Bertanggungjawab? Sebenarnya apa yang dibicarakan lelaki psikopat itu?' Dia bertanya-tanya dalam hati. Aldo terus mengetuk pintu, tetapi Evan dan Desy tidak mau membukakan pintunya. "Kak Evan, tolong buka pintunya. Aku ingin berbicara kepadamu." Akhirnya Aldo mengalah dengan merendahkan suaranya dan memanggil Evan dengan sebutan "kakak". "Kamu benar-benar ingin berbicara baik-baik kepadaku?" Tiba-tiba Evan membuka pintunya dan tersenyum kepada Aldo. "Baiklah, mari kita bicara," ujarnya sigap. Aldo hendak masuk ke dalam ruang inap Desy, tetapi Evan menahannya. "Kita bicara di luar saja," ucapnya. "Desy, kamu tunggu di sini. Kakak akan bicara dengan Aldo sebentar." Dia berjalan ke luar menyusuri koridor rumah sakit diikuti Aldo di belakangnya. Desy menatap Aldo dan kakaknya dengan khawatir. Dia sangat paham jika kakaknya memiliki emosi yang tidak stabil. Bagaimana jika