Saat Melani masih berbicara serius dengan Nenek Karmila dan Namira, diam-diam Desy berjalan menjauhi mereka dan menghampiri Aldo. "Sungguh ternyata keluarga kaya tidak seindah seperti di pikiranku. Mereka mempunyai masalah yang sangat rumit. Lebih rumit dari masalah orang biasa. Aku jadi bersyukur karena tidak dilahirkan dari keluarga kaya," gumam Desy sambil melirik Melani yang masih berbincang dengan ibu dan neneknya. "Kamu yakin? Beberapa menit yang lalu kamu terus memuji keberuntungan Nyonya Melani karena menikah dengan pria kaya. Kukira kamu juga menginginkan nasib yang sama seperti sahabatmu itu," ujar Aldo. Dia menatap dingin Desy. "Aku memuji bukan berarti menginginkan nasib yang sama. Aku hanya senang karena sahabatku itu akhirnya bahagia. Apa kamu tahu? Setiap hari aku mencemaskan Melani sejak mendapat kabar jika dia bercerai dengan suaminya yang dulu. Dia pasti sangat sedih karena suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri," oceh Desy. "Kenapa kamu mencemaskannya? Mesk
Nenek Karmila menghembuskan napas berat. “Baiklah, jika itu maumu. Nenek akan merahasiakan identitasmu sebagai cucu keluarga Atmajaya untuk sementara. Tapi, izinkan Nenek mengunjungimu sewaktu-waktu,” ucapnya pada akhirnya. Dia memutuskan untuk mengalah sementara. “Baiklah, kamu harus beristirahat. Bagaimana jika Nenek mengantarkanmu pulang?” ujar Nenek Karmila. “Sekalian, aku ingin tahu di mana tempat tinggalmu saat ini” lanjutnya. Melani menatap Namira, meminta persetujuan. Namira menganggukkan kepala tanda setuju. “Pulanglah bersama nenekmu. Ibu akan meminta Nak Aldo untuk mengantar Ibu.” Namira mengusap lembut kepala Nafisa. “Kamu baik-baiklah bersama mamamu ya, Nafisa. Nenek pamit pulang dulu.” Setelah berpamitan, Namira melangkah ke luar butik lebih dulu. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan Aldo dan Desy, tetapi kedua orang itu tidak kelihatan juga batang hidungnya. Di mana mereka? Namira menghembuskan napas berat. Di seberang jalan, Aldo sedang berla
Desy dan Namira berada di dalam mobil yang disopiri oleh Aldo. Mereka dalam perjalanan menuju rumah Deon. "Maaf, aku harus memastikan Nyonya Melani aman sampai rumah sebelum mengantar kalian pulang," ucap Aldo penuh penyesalan. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. "Tidak masalah! Aku juga ingin memastikan sahabatku baik-baik saja," ujar Desy santai. Dia menikmati berlama-lama di dalam mobil bersama Aldo. "Ibu juga," sahut Namira. Entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawatirkan Melani. "Sejak peristiwa kebakaran di butik kemarin malam, aku merasa khawatir. Jangan-jangan, seseorang sengaja ingin mencelakai Melani?" "Ibu tenang saja. Doakan saja semoga tidak terjadi sesuatu kepada Melani dan juga Nafisa," bujuk Desy seraya mengusap-usap pundak Namira. "Bu Namira, apa Ibu benar-benar yakin jika nenek tua tadi adalah orang yang sama yang menitipkan Nyonya Melani pada Anda beberapa tahun silam?" tanya Aldo ingin memastikan. Namira terlihat sedang berpikir keras. Dia menggelengkan k
Melani berjalan mondar-mandir di dapur. Sesekali, dia mengintip Nenek Karmila yang masih duduk di meja makan. “Makanlah, Nek. Sepertinya suamiku masih lama pulangnya. Sebaiknya Nenek makan dulu sebelum makanannya dingin,” bujuk Melani karena Nenek Karmila belum mau makan. “Tidak usah. Aku menunggu suamimu saja. Nanti kita bisa makan bersama,” ujar Nenek Karmila bersikukuh. “Tapi bukannya Nenek sudah lapar dari tadi?” Melani duduk di kursi makan, mengambil nasi dan lauk pauk dan meletakkannya di piring Nenek Karmila. “Ayo kita makan dulu, Nek. Nanti setelah suamiku pulang, kita bisa makan lagi,” bujuk Melani khawatir neneknya kelaparan. “Tidak mau, aku menunggu suamimu pulang saja. Cepat telepon dia biar cepat pulang. Katakan aku menunggunya,” ujar Nenek Karmila tidak sabar. Melani kembali berjalan mondar-mandir di dapur sambil memegang ponsel. Ragu-ragu dia memencet nomor ponsel Deon. Di ruangan meeting, Deon yang melihat nama Melani di layar ponselnya langsung tersenyum senang.
"Apa kamu sedang mempermainkan cucuku? Kalian sudah menikah, bagaimana bisa kamu belum memperkenalkan cucuku pada kedua orangtuamu?" Nenek Karmila menatap Deon penuh amarah. "Maafkan aku, Nek. Orangtuaku berada di luar negeri untuk mengurus bisnis. Mereka belum sempat pulang ke Indonesia. Meski begitu, mereka telah memberi restu atas pernikahan kami. Nenek tenang saja, aku janji secepatnya akan mempertemukan kalian," bujuk Deon pada Nenek Karmila. "Baiklah, aku akan menunggu janjimu itu. Sebelum kamu menepati janjimu, aku akan membawa Melani dan Nafisa pulang ke rumahku." Nenek Karmila berdiri dan menarik lengan Melani. "Ayo, ikut pulang bersama Nenek, Melani." Melani menatap Deon meminta persetujuan. Deon mengambil napas berat, lalu menghembuskannya kembali. Terpaksa dia menganggukkan kepala. "Melani dan Nafisa akan tinggal bersamaku, sampai kamu memperkenalkan kami pada kedua orangtuamu," ucap Nenek Karmila tegas. Dia menggandeng Melani dan Nafisa ke luar rumah Deon. Di depan, s
"Serius? Melani tidak lagi tinggal sama suaminya?" Evan membuka mata lebar. Dia terlihat begitu antusias. "Apa mereka pisah ranjang?" tanyanya penasaran. "Hus! Jangan ngomong gitu. Mereka cuma tinggal terpisah untuk sementara." Desy menjelaskan singkat. "Tapi kenapa?" Evan mengerutkan kening. Dia kembali masuk ke dalam kamar Desy, lalu mengambil kursi dan duduk terbalik di atasnya, bersiap mendengarkan penjelasan dari Desy. "Apa mereka bertengkar? Atau terjadi sesuatu? Bisa kamu menjelaskan semuanya pada Kakak?" tanyanya tidak sabar. "Lebih baik Kakak tidak usah ikut campur. Kakak tau, 'kan, bagaimana kekuatan seorang Deon Alvarendra? Dia bisa membuat perusahaan Kakak porak-poranda. Apa Kakak tidak kapok?" Desy masuk ke kamar mandi, berharap Evan berhenti bertanya lagi. Namira sudah sampai di rumah dengan selamat. Saat dia masuk ke dalam rumah, Bonita telah menyambutnya dengan bersedekap tangan. "Dari mana saja, Bu? Tidak ada makanan sejak tadi. Perutku sangat lapar," keluh Bonit
"Aku sangat penasaran. Bagaimana keluarga Kak Melani? Aku yakin mereka berasal dari keluarga miskin di pinggiran kota." Bonita berbicara sendiri saat Namira pergi ke dapur untuk memasak. Dia berjalan masuk ke dalam kamar, lalu membuka laci meja dan menemukan sebuah undangan di sana. Bonita membaca undangan itu sambil tersenyum menyeringai. Sebuah undangan pernikahannya dengan Johan. Dia meletakkan undangan itu kembali ke dalam laci, lalu menyalakan ponsel dan menelepon seseorang. "Kak Johan. Besok, sepulang dari kantor, kamu harus menemaniku ke suatu tempat. Aku harus mengantarkan undangan pernikahan kita pada seseorang," ujar Bonita memohon. "Bisakah kamu pergi sendiri, Bonita? Bukankah kamu bilang bisa mengantar undangan-undangan itu sendiri?" elak Johan. Bagi Johan, rebahan sepulang kerja lebih menarik dari pada harus berlelah-lelah menemani Bonita mengantar undangan. "Kali ini Kak Johan harus ikut! Kita akan mengundang tamu penting," ujar Bonita agak memaksa. Johan mengerutkan
Deon terbangun di sebuah kamar kecil yang sederhana, berbeda drastis dengan kamar dia sebelumnya. Dia bergegas bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Jendela kamar Deon, tepat berhadapan dengan kamar Melani.Bersamaan saat Deon membuka jendela kamar, di kamar yang bersebelahan dengan kamar Deon, Evan pun melakukan hal yang sama. Evan membuka jendela kamar, lalu mengamati rumah besar milik Nenek Karmila.Melani baru saja terbangun dari tidurnya saat seorang pelayan membukakan jendela kamar untuknya. Cahaya matahari pagi yang masuk ke kamar Melani membangunkan tidur lelap Melani dan Nafisa.“Nyonya Karmila menunggu kalian di bawah untuk sarapan pagi, Nona,” ucap pelayan seraya mengangguk hormat pada Melani.“Baiklah! Kamu boleh turun ke bawah dulu. Aku dan anakku akan bersiap-siap dan segera menyusul pergi ke bawah,” ujar Melani tegas. Dia segera bangkit dari tidurnya dan merapikan tempat tidur.“Kapan kita pulang ke rumah, Ma? Aku mau pulang ke rumah Papa Deon,” rengek N