"Aku sangat penasaran. Bagaimana keluarga Kak Melani? Aku yakin mereka berasal dari keluarga miskin di pinggiran kota." Bonita berbicara sendiri saat Namira pergi ke dapur untuk memasak. Dia berjalan masuk ke dalam kamar, lalu membuka laci meja dan menemukan sebuah undangan di sana. Bonita membaca undangan itu sambil tersenyum menyeringai. Sebuah undangan pernikahannya dengan Johan. Dia meletakkan undangan itu kembali ke dalam laci, lalu menyalakan ponsel dan menelepon seseorang. "Kak Johan. Besok, sepulang dari kantor, kamu harus menemaniku ke suatu tempat. Aku harus mengantarkan undangan pernikahan kita pada seseorang," ujar Bonita memohon. "Bisakah kamu pergi sendiri, Bonita? Bukankah kamu bilang bisa mengantar undangan-undangan itu sendiri?" elak Johan. Bagi Johan, rebahan sepulang kerja lebih menarik dari pada harus berlelah-lelah menemani Bonita mengantar undangan. "Kali ini Kak Johan harus ikut! Kita akan mengundang tamu penting," ujar Bonita agak memaksa. Johan mengerutkan
Deon terbangun di sebuah kamar kecil yang sederhana, berbeda drastis dengan kamar dia sebelumnya. Dia bergegas bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Jendela kamar Deon, tepat berhadapan dengan kamar Melani.Bersamaan saat Deon membuka jendela kamar, di kamar yang bersebelahan dengan kamar Deon, Evan pun melakukan hal yang sama. Evan membuka jendela kamar, lalu mengamati rumah besar milik Nenek Karmila.Melani baru saja terbangun dari tidurnya saat seorang pelayan membukakan jendela kamar untuknya. Cahaya matahari pagi yang masuk ke kamar Melani membangunkan tidur lelap Melani dan Nafisa.“Nyonya Karmila menunggu kalian di bawah untuk sarapan pagi, Nona,” ucap pelayan seraya mengangguk hormat pada Melani.“Baiklah! Kamu boleh turun ke bawah dulu. Aku dan anakku akan bersiap-siap dan segera menyusul pergi ke bawah,” ujar Melani tegas. Dia segera bangkit dari tidurnya dan merapikan tempat tidur.“Kapan kita pulang ke rumah, Ma? Aku mau pulang ke rumah Papa Deon,” rengek N
“Ayahmu tidak ada di foto itu, Melani. Dulu, ayahmu sangat sibuk hingga tidak sempat kumpul bersama kami sekeluarga.” Nenek Karmila menjelaskan.Melani melengkungkan bibir ke bawah. Lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Padahal, sudah lama sekali dia ingin melihat ayahnya.“Jangan bersedih. Makanlah yang banyak. Lihatlah, Nafisa akan ikut sedih jika melihatmu sedih.” Nenek Karmila memberi petuah.“Selesai sarapan nanti, cepatlah bersiap-siap, sopir akan mengantar kita ke butik setelah mengantar Nafisa ke sekolah,” ujar Nenek Karmila pada Nafisa dan Melani.Di penginapan seberang rumah Nenek Karmila, Deon sedang bersiap-siap. Dia berjalan mengelilingi kamarnya yang sempit sambil membawa handuk dan peralatan mandi. “Di mana kamar mandinya?” ujarnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Deon tidak sendirian di ruangan itu. Karena tidak terbiasa di lingkungan asing, dia meminta Aldo menemaninya.Aldo sendiri sudah bangun satu jam sebelum Deon bangun, dia sudah selesai mandi da
“Le-lelaki psikopat? Maksud Anda?” Aldo tidak mengerti apa yang dibicarakan Deon.“Kamu tidak tahu? Lelaki psikopat itu juga menginap di sini. Aku bertemu dengannya tadi saat ke kamar mandi.” Aldo menjelaskan. “Dia pasti sengaja menginap di sini untuk menemui istriku,” ujarnya seraya mendengkus kesal. Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa membuat lelaki psikopat itu meninggalkan penginapan ini,” titahnya tegas pada Aldo.“Tapi siapa saja bisa menginap di penginapan ini, Tuan. Kita bukan pemilik penginapan. Tidak da alasan untuk mengusir orang lain dari penginapan ini jika pemilik penginapan sudah memberi izin.” Aldo berkata panjang lebar.“Kalau begitu, aku akan membelinya,” ujar Deon santai.“Apa?” Aldo melebarkan mata tidak percaya. “Apa aku tidak salah dengar?” lanjutnya. Biasanya, Deon tidak sembarangan memilih properti untuk dibeli. Penginapan kecil yang sudah tua ini bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Aldo sendiri tidak tertarik untuk membelinya.“Apa ada yang salah de
“Selamat ya, Aldo. Sepertinya tahun ini kamu akan mengucapkan selamat tinggal pada gelar jomlo.” Deon mengulurkan tangannya pada Aldo saat Nenek Karmila baru saja masuk ke dalam rumah.Aldo melebarkan mata, lalu memutar bola mata malas. “Maksud Anda, Tuan? Ini tidak mungkin karena Nenek Karmila terus menatapku, ‘kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Deon tertawa geli. “Aku tidak menyangka, kamu menjadi selera nenek-nenek, Aldo. Sebentar lagi kamu akan menjadi kakek mertuaku,” candanya.“Itu tidak mungkin.” Aldo menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia bergegas melepaskan kumis dan jenggot palsunya. “Ini semua karena kumis dan jenggot palsu ini. Seharusnya Anda tidak meminta saya memakainya, Tuan.” Keduanya tertawa bersama.Aldo kembali memasang kumis dan jenggot palsunya saat dia melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah Nenek Karmila. Melani dan Nafisa juga ada di dalam mobil itu.“Cepat ambil mobil, Aldo. Kita berangkat ke kantor sekarang,” titah Deon bersemangat. Melani akan ber
“Jangan bilang yang Kakak maksud adalah Aldo?” Desy bertanya pada Evan. “Apa benar Aldo juga menginap di penginapan ini?” Dia merasa bersemangat saat membahas tentang Aldo.“Siapa lagi kalau bukan dia? Otak mesum yang pecundang itu,” Evan menjawab tanpa menoleh ke arah Desy. Dia masih asyik melahap nasi goreng buatan Desy.“Kakak! Jangan sebut dia pecundang. Dia akan menjadi adik ipar Kakak. Kalian harus akur,” protes Desy.“Kenapa aku tidak boleh memanggilnya pecundang? Sampai sekarang dia belum menghubungi Kakak untuk meminta restu,” ujar Evan.“Jadi Kakak akan merestui kami?” Desy berteriak girang.“Siapa bilang? Aku hanya akan merestuinya jika dia berusaha keras dan berhasil meluluhkan hatiku.” Evan menjawab asal.“Kenapa hati Kakak seperti batu? Kakak harus sedikit melunakkan hati Kakak. Aldo adalah laki-laki yang baik dan berkualitas. Kakak akan menyesal jika melewatkan dia,” rengek Desy. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon kepada Evan.“Terserah kamu,” ujar Eva
Deon duduk di ruang kerjanya yang menghadap ke jendela besar. Dari jendela itu dia bisa melihat butik Melani dengan jelas. Dia terus menunggu, tetapi Melani tidak kunjung datang ke butik itu.Deon mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja, menelepon seseorang. “Savira, apa hari ini Melani tidak datang ke butik?” tanyanya pada orang kepercayaan yang bertugas menjadi asisten pribadi untuk membantu Melani mengelola butik.“Tadi Nyonya Melani izin berangkat agak siang, Tuan. Sepertinya ada urusan penting yang membuatnya datang terlambat ke butik,” jawab Savira.“Urusan penting? Urusan penting apa itu?” Deon bertanya penasaran.“Saya juga tidak tahu, Tuan. Nyonya Melani tidak mengatakannya,” ujar Savira. “Nyonya Melani hanya meminta izin dan menitipkan butik kepadaku,” lanjutnya menjelaskan.“Baiklah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Deon tegas, lalu menutup telepon.Deon mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Dia sedang berpikir keras. Se
"Tolong!" Nafisa berteriak kencang, tetapi tangan seseorang segera membungkam mulutnya. Seorang wanita yang tidak dikenal menggendong Nafisa secara paksa ke luar dari gedung sekolah. Wanita itu memakai pakaian yang berwarna serba hitam. Saat hendak memasukkan Nafisa ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah tangan menarik tubuhnya."Papa Deon!" Nafisa berteriak memanggil nama lelaki yang selalu menjadi penyelamatnya. "Berikan anak itu kepadaku," ucap Deon pada wanita yang hampir saja Menculik Nafisa. Deon mengulurkan tangan hendak merebut Nafisa dari tangan wanita asing itu, tetapi dengan cepat wanita itu melarikan diri. Dia berlari menjauh dengan menggendong Nafisa.Deon bergerak cepat mengejar wanita itu. Namun, saat sampai di persimpangan, dia kehilangan wanita itu.Deon berlari kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil cepat mengelilingi area sekitar sekolah. Tatapan matanya menyusuri setiap jalan. Namun, wanita itu tidak juga terlihat."Aldo, kamu harus ke sini sekarang! Bantu