“Le-lelaki psikopat? Maksud Anda?” Aldo tidak mengerti apa yang dibicarakan Deon.“Kamu tidak tahu? Lelaki psikopat itu juga menginap di sini. Aku bertemu dengannya tadi saat ke kamar mandi.” Aldo menjelaskan. “Dia pasti sengaja menginap di sini untuk menemui istriku,” ujarnya seraya mendengkus kesal. Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa membuat lelaki psikopat itu meninggalkan penginapan ini,” titahnya tegas pada Aldo.“Tapi siapa saja bisa menginap di penginapan ini, Tuan. Kita bukan pemilik penginapan. Tidak da alasan untuk mengusir orang lain dari penginapan ini jika pemilik penginapan sudah memberi izin.” Aldo berkata panjang lebar.“Kalau begitu, aku akan membelinya,” ujar Deon santai.“Apa?” Aldo melebarkan mata tidak percaya. “Apa aku tidak salah dengar?” lanjutnya. Biasanya, Deon tidak sembarangan memilih properti untuk dibeli. Penginapan kecil yang sudah tua ini bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Aldo sendiri tidak tertarik untuk membelinya.“Apa ada yang salah de
“Selamat ya, Aldo. Sepertinya tahun ini kamu akan mengucapkan selamat tinggal pada gelar jomlo.” Deon mengulurkan tangannya pada Aldo saat Nenek Karmila baru saja masuk ke dalam rumah.Aldo melebarkan mata, lalu memutar bola mata malas. “Maksud Anda, Tuan? Ini tidak mungkin karena Nenek Karmila terus menatapku, ‘kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Deon tertawa geli. “Aku tidak menyangka, kamu menjadi selera nenek-nenek, Aldo. Sebentar lagi kamu akan menjadi kakek mertuaku,” candanya.“Itu tidak mungkin.” Aldo menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia bergegas melepaskan kumis dan jenggot palsunya. “Ini semua karena kumis dan jenggot palsu ini. Seharusnya Anda tidak meminta saya memakainya, Tuan.” Keduanya tertawa bersama.Aldo kembali memasang kumis dan jenggot palsunya saat dia melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah Nenek Karmila. Melani dan Nafisa juga ada di dalam mobil itu.“Cepat ambil mobil, Aldo. Kita berangkat ke kantor sekarang,” titah Deon bersemangat. Melani akan ber
“Jangan bilang yang Kakak maksud adalah Aldo?” Desy bertanya pada Evan. “Apa benar Aldo juga menginap di penginapan ini?” Dia merasa bersemangat saat membahas tentang Aldo.“Siapa lagi kalau bukan dia? Otak mesum yang pecundang itu,” Evan menjawab tanpa menoleh ke arah Desy. Dia masih asyik melahap nasi goreng buatan Desy.“Kakak! Jangan sebut dia pecundang. Dia akan menjadi adik ipar Kakak. Kalian harus akur,” protes Desy.“Kenapa aku tidak boleh memanggilnya pecundang? Sampai sekarang dia belum menghubungi Kakak untuk meminta restu,” ujar Evan.“Jadi Kakak akan merestui kami?” Desy berteriak girang.“Siapa bilang? Aku hanya akan merestuinya jika dia berusaha keras dan berhasil meluluhkan hatiku.” Evan menjawab asal.“Kenapa hati Kakak seperti batu? Kakak harus sedikit melunakkan hati Kakak. Aldo adalah laki-laki yang baik dan berkualitas. Kakak akan menyesal jika melewatkan dia,” rengek Desy. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon kepada Evan.“Terserah kamu,” ujar Eva
Deon duduk di ruang kerjanya yang menghadap ke jendela besar. Dari jendela itu dia bisa melihat butik Melani dengan jelas. Dia terus menunggu, tetapi Melani tidak kunjung datang ke butik itu.Deon mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja, menelepon seseorang. “Savira, apa hari ini Melani tidak datang ke butik?” tanyanya pada orang kepercayaan yang bertugas menjadi asisten pribadi untuk membantu Melani mengelola butik.“Tadi Nyonya Melani izin berangkat agak siang, Tuan. Sepertinya ada urusan penting yang membuatnya datang terlambat ke butik,” jawab Savira.“Urusan penting? Urusan penting apa itu?” Deon bertanya penasaran.“Saya juga tidak tahu, Tuan. Nyonya Melani tidak mengatakannya,” ujar Savira. “Nyonya Melani hanya meminta izin dan menitipkan butik kepadaku,” lanjutnya menjelaskan.“Baiklah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Deon tegas, lalu menutup telepon.Deon mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Dia sedang berpikir keras. Se
"Tolong!" Nafisa berteriak kencang, tetapi tangan seseorang segera membungkam mulutnya. Seorang wanita yang tidak dikenal menggendong Nafisa secara paksa ke luar dari gedung sekolah. Wanita itu memakai pakaian yang berwarna serba hitam. Saat hendak memasukkan Nafisa ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah tangan menarik tubuhnya."Papa Deon!" Nafisa berteriak memanggil nama lelaki yang selalu menjadi penyelamatnya. "Berikan anak itu kepadaku," ucap Deon pada wanita yang hampir saja Menculik Nafisa. Deon mengulurkan tangan hendak merebut Nafisa dari tangan wanita asing itu, tetapi dengan cepat wanita itu melarikan diri. Dia berlari menjauh dengan menggendong Nafisa.Deon bergerak cepat mengejar wanita itu. Namun, saat sampai di persimpangan, dia kehilangan wanita itu.Deon berlari kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil cepat mengelilingi area sekitar sekolah. Tatapan matanya menyusuri setiap jalan. Namun, wanita itu tidak juga terlihat."Aldo, kamu harus ke sini sekarang! Bantu
“Jawab aku, Melani. Memangnya kamu pelayan suamimu? Kenapa memanggilnya seperti itu? Apa dia yang menyuruhmu memanggilnya seperti itu? Apa selama ini dia memperlakukanmu seperti pelayan?” Nenek Karmila memberondong Melani dengan pertanyaan.“Bukan begitu, Nek. Aku hanya salah menyebutnya saja. Selama ini suamiku memperlakukanku dengan sangat baik.” Melani mencoba menjelaskan.“Tidak, tidak. Aku tidak akan mempercayai ucapanmu begitu saja. Sekarang, ayo ikut aku. Kita buktikan semuanya.” Nenek Karmila berjalan dan menyeret Melani masuk ke dalam mobil.Sementara di tempat lain, Deon dan Aldo telah menemukan rekaman CCTV yang memperlihatkan penculikan Nafisa. Mereka melihat seorang wanita yang membawa Nafisa masuk ke dalam sebuah mobil.“Catat nomor polisi mobil itu, Aldo. Dari nomor polisi itu, kita bisa melacak keberadaan mobil itu saat ini.” Deon memberi perintah pada Aldo. Mereka meminta izin pada petugas keamanan untuk mendapatkan salinan CCTV sebagai barang bukti yang bisa diberika
Melani dan Nenek Karmila telah sampai di gedung sekolah Nafisa, tetapi mereka tidak menemukan Deon atau siapa pun di sana.“Kamu lihat, ‘kan, sekarang? Dia telah menipumu. Dia menjebakmu ke sini agar dia bisa menyembunyikan Nafisa di rumahnya.” Nenek Karmila terus saja mengomel.“Kenapa Nenek terus berpikiran buruk tentang suamiku? Jika Nenek tidak bisa membantuku menemukan Nafisa, sebaiknya Nenek pulang saja. Biar aku menunggu sendirian di sini,” ujar Melani. Dia tidak suka mendengar Nenek Karmila menjelekkan suaminya, meski dia tidak yakin dengan nasib pernikahannya dengan Deon pada akhirnya.Nenek Karmila akhirnya memilih untuk diam dan terus menemani Melani di sana meski dia sudah merasa lelah.Tidak lama, Deon memberi kabar pada Melani untuk segera ke kantor polisi. Dia meminta maaf karena tidak bisa menemui Melani di gedung sekolah Nafisa.Melani sampai di kantor polisi dan melihat Deon sedang menggendong Nafisa. Dia berlari menghampiri Nafisa sambil tersenyum lega.“Kamu ke man
"Jadi siapa wanita yang menculik dan berusaha melenyapkan Nafisa? Punya dendam apa dia kepadaku?" Melani kembali bertanya karena Deon tidak kunjung menjawab.Deon baru saja membuka mulut. Namun, kehadiran Nenek Karmila membuatnya urung berbicara."Ayo Melani, kita pulang!" ujar Nenek Karmila seraya menarik lengan Melani.Melani dan Deon masuk ke mobil yang berbeda sebelum Deon menjawab pertanyaan Melani."Kita kembali ke penginapan, Aldo!" titah Deon pada Aldo. Mereka kembali memakai atribut penyamaran mereka. Deon dengan topi dan kacamata hitamnya, dan Aldo dengan kumis dan jenggot palsunya."Untung saja, Nenek Karmila tidak mengenali kita," ucap Deon bernapas lega. Mereka sampai di penginapan lima belas menit setelah mobil Nenek Karmila terparkir di garasi rumah. Mereka tidak sempat bertemu.Saat hendak masuk ke penginapan, Deon menghampiri Evan yang sedang duduk bersantai di teras penginapan. Matanya tajam menatap Evan.Aldo mengekor di belakang Deon. Dia juga mengikuti cara Deon m