Melani berjalan mondar-mandir di dapur. Sesekali, dia mengintip Nenek Karmila yang masih duduk di meja makan. “Makanlah, Nek. Sepertinya suamiku masih lama pulangnya. Sebaiknya Nenek makan dulu sebelum makanannya dingin,” bujuk Melani karena Nenek Karmila belum mau makan. “Tidak usah. Aku menunggu suamimu saja. Nanti kita bisa makan bersama,” ujar Nenek Karmila bersikukuh. “Tapi bukannya Nenek sudah lapar dari tadi?” Melani duduk di kursi makan, mengambil nasi dan lauk pauk dan meletakkannya di piring Nenek Karmila. “Ayo kita makan dulu, Nek. Nanti setelah suamiku pulang, kita bisa makan lagi,” bujuk Melani khawatir neneknya kelaparan. “Tidak mau, aku menunggu suamimu pulang saja. Cepat telepon dia biar cepat pulang. Katakan aku menunggunya,” ujar Nenek Karmila tidak sabar. Melani kembali berjalan mondar-mandir di dapur sambil memegang ponsel. Ragu-ragu dia memencet nomor ponsel Deon. Di ruangan meeting, Deon yang melihat nama Melani di layar ponselnya langsung tersenyum senang.
"Apa kamu sedang mempermainkan cucuku? Kalian sudah menikah, bagaimana bisa kamu belum memperkenalkan cucuku pada kedua orangtuamu?" Nenek Karmila menatap Deon penuh amarah. "Maafkan aku, Nek. Orangtuaku berada di luar negeri untuk mengurus bisnis. Mereka belum sempat pulang ke Indonesia. Meski begitu, mereka telah memberi restu atas pernikahan kami. Nenek tenang saja, aku janji secepatnya akan mempertemukan kalian," bujuk Deon pada Nenek Karmila. "Baiklah, aku akan menunggu janjimu itu. Sebelum kamu menepati janjimu, aku akan membawa Melani dan Nafisa pulang ke rumahku." Nenek Karmila berdiri dan menarik lengan Melani. "Ayo, ikut pulang bersama Nenek, Melani." Melani menatap Deon meminta persetujuan. Deon mengambil napas berat, lalu menghembuskannya kembali. Terpaksa dia menganggukkan kepala. "Melani dan Nafisa akan tinggal bersamaku, sampai kamu memperkenalkan kami pada kedua orangtuamu," ucap Nenek Karmila tegas. Dia menggandeng Melani dan Nafisa ke luar rumah Deon. Di depan, s
"Serius? Melani tidak lagi tinggal sama suaminya?" Evan membuka mata lebar. Dia terlihat begitu antusias. "Apa mereka pisah ranjang?" tanyanya penasaran. "Hus! Jangan ngomong gitu. Mereka cuma tinggal terpisah untuk sementara." Desy menjelaskan singkat. "Tapi kenapa?" Evan mengerutkan kening. Dia kembali masuk ke dalam kamar Desy, lalu mengambil kursi dan duduk terbalik di atasnya, bersiap mendengarkan penjelasan dari Desy. "Apa mereka bertengkar? Atau terjadi sesuatu? Bisa kamu menjelaskan semuanya pada Kakak?" tanyanya tidak sabar. "Lebih baik Kakak tidak usah ikut campur. Kakak tau, 'kan, bagaimana kekuatan seorang Deon Alvarendra? Dia bisa membuat perusahaan Kakak porak-poranda. Apa Kakak tidak kapok?" Desy masuk ke kamar mandi, berharap Evan berhenti bertanya lagi. Namira sudah sampai di rumah dengan selamat. Saat dia masuk ke dalam rumah, Bonita telah menyambutnya dengan bersedekap tangan. "Dari mana saja, Bu? Tidak ada makanan sejak tadi. Perutku sangat lapar," keluh Bonit
"Aku sangat penasaran. Bagaimana keluarga Kak Melani? Aku yakin mereka berasal dari keluarga miskin di pinggiran kota." Bonita berbicara sendiri saat Namira pergi ke dapur untuk memasak. Dia berjalan masuk ke dalam kamar, lalu membuka laci meja dan menemukan sebuah undangan di sana. Bonita membaca undangan itu sambil tersenyum menyeringai. Sebuah undangan pernikahannya dengan Johan. Dia meletakkan undangan itu kembali ke dalam laci, lalu menyalakan ponsel dan menelepon seseorang. "Kak Johan. Besok, sepulang dari kantor, kamu harus menemaniku ke suatu tempat. Aku harus mengantarkan undangan pernikahan kita pada seseorang," ujar Bonita memohon. "Bisakah kamu pergi sendiri, Bonita? Bukankah kamu bilang bisa mengantar undangan-undangan itu sendiri?" elak Johan. Bagi Johan, rebahan sepulang kerja lebih menarik dari pada harus berlelah-lelah menemani Bonita mengantar undangan. "Kali ini Kak Johan harus ikut! Kita akan mengundang tamu penting," ujar Bonita agak memaksa. Johan mengerutkan
Deon terbangun di sebuah kamar kecil yang sederhana, berbeda drastis dengan kamar dia sebelumnya. Dia bergegas bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Jendela kamar Deon, tepat berhadapan dengan kamar Melani.Bersamaan saat Deon membuka jendela kamar, di kamar yang bersebelahan dengan kamar Deon, Evan pun melakukan hal yang sama. Evan membuka jendela kamar, lalu mengamati rumah besar milik Nenek Karmila.Melani baru saja terbangun dari tidurnya saat seorang pelayan membukakan jendela kamar untuknya. Cahaya matahari pagi yang masuk ke kamar Melani membangunkan tidur lelap Melani dan Nafisa.“Nyonya Karmila menunggu kalian di bawah untuk sarapan pagi, Nona,” ucap pelayan seraya mengangguk hormat pada Melani.“Baiklah! Kamu boleh turun ke bawah dulu. Aku dan anakku akan bersiap-siap dan segera menyusul pergi ke bawah,” ujar Melani tegas. Dia segera bangkit dari tidurnya dan merapikan tempat tidur.“Kapan kita pulang ke rumah, Ma? Aku mau pulang ke rumah Papa Deon,” rengek N
“Ayahmu tidak ada di foto itu, Melani. Dulu, ayahmu sangat sibuk hingga tidak sempat kumpul bersama kami sekeluarga.” Nenek Karmila menjelaskan.Melani melengkungkan bibir ke bawah. Lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Padahal, sudah lama sekali dia ingin melihat ayahnya.“Jangan bersedih. Makanlah yang banyak. Lihatlah, Nafisa akan ikut sedih jika melihatmu sedih.” Nenek Karmila memberi petuah.“Selesai sarapan nanti, cepatlah bersiap-siap, sopir akan mengantar kita ke butik setelah mengantar Nafisa ke sekolah,” ujar Nenek Karmila pada Nafisa dan Melani.Di penginapan seberang rumah Nenek Karmila, Deon sedang bersiap-siap. Dia berjalan mengelilingi kamarnya yang sempit sambil membawa handuk dan peralatan mandi. “Di mana kamar mandinya?” ujarnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Deon tidak sendirian di ruangan itu. Karena tidak terbiasa di lingkungan asing, dia meminta Aldo menemaninya.Aldo sendiri sudah bangun satu jam sebelum Deon bangun, dia sudah selesai mandi da
“Le-lelaki psikopat? Maksud Anda?” Aldo tidak mengerti apa yang dibicarakan Deon.“Kamu tidak tahu? Lelaki psikopat itu juga menginap di sini. Aku bertemu dengannya tadi saat ke kamar mandi.” Aldo menjelaskan. “Dia pasti sengaja menginap di sini untuk menemui istriku,” ujarnya seraya mendengkus kesal. Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa membuat lelaki psikopat itu meninggalkan penginapan ini,” titahnya tegas pada Aldo.“Tapi siapa saja bisa menginap di penginapan ini, Tuan. Kita bukan pemilik penginapan. Tidak da alasan untuk mengusir orang lain dari penginapan ini jika pemilik penginapan sudah memberi izin.” Aldo berkata panjang lebar.“Kalau begitu, aku akan membelinya,” ujar Deon santai.“Apa?” Aldo melebarkan mata tidak percaya. “Apa aku tidak salah dengar?” lanjutnya. Biasanya, Deon tidak sembarangan memilih properti untuk dibeli. Penginapan kecil yang sudah tua ini bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Aldo sendiri tidak tertarik untuk membelinya.“Apa ada yang salah de
“Selamat ya, Aldo. Sepertinya tahun ini kamu akan mengucapkan selamat tinggal pada gelar jomlo.” Deon mengulurkan tangannya pada Aldo saat Nenek Karmila baru saja masuk ke dalam rumah.Aldo melebarkan mata, lalu memutar bola mata malas. “Maksud Anda, Tuan? Ini tidak mungkin karena Nenek Karmila terus menatapku, ‘kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Deon tertawa geli. “Aku tidak menyangka, kamu menjadi selera nenek-nenek, Aldo. Sebentar lagi kamu akan menjadi kakek mertuaku,” candanya.“Itu tidak mungkin.” Aldo menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia bergegas melepaskan kumis dan jenggot palsunya. “Ini semua karena kumis dan jenggot palsu ini. Seharusnya Anda tidak meminta saya memakainya, Tuan.” Keduanya tertawa bersama.Aldo kembali memasang kumis dan jenggot palsunya saat dia melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah Nenek Karmila. Melani dan Nafisa juga ada di dalam mobil itu.“Cepat ambil mobil, Aldo. Kita berangkat ke kantor sekarang,” titah Deon bersemangat. Melani akan ber