Melani melebarkan mata karena terkejut. Hanya beberapa detik, kemudian dia menutupi tangannya dengan telapak tangan dan membalikkan badan menghadap ke pintu. Dia baru saja melihat apa yang seharusnya dilihat. "Kamu kenapa, Melani?" Deon berjalan mendekati Melani. Dia merasa heran dengan sikap Melani yang seperti baru saja melihat hantu. Apakah dirinya begitu menyeramkan bagi Melani? "Seharusnya Anda berpakaian terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi," ucap Melani terbata-bata. Dia mash memejamkan mata menghadap pintu kamar yang telah tertutup. Deon melebarkan mata, lalu menundukkan kepala melihat tubuhnya yang hanya terlilit handuk kecil. "Apa Anda sengaja memamerkan roti sobek?" tanya Melani membuat Deon semakin melebarkan mata. "Tetaplah di situ. Aku akan memakai bajuku." Deon segera berbalik hendak pergi ke ruang ganti. Namun, saat dia mulai melangkah, tiba-tiba lilitan handuk di pinggangnya terlepas. Pada saat yang sama, Melani melihatnya dan berteriak. Deon segera m
"Baju kurang bahan? Apa maksudnya? Aku tadi hanya asal mengambil baju di lemari." Deon bergumam bingung. Dia kembali mengambil baju dari dalam lemari dan memberikannya pada Melani. Kali ini piyama longgar yang lebih sopan untuk dipakai. Melani keluar kamar mandi dengan bibir ditekuk ke bawah. Dia menatap Deon dengan menyipitkan mata, lalu bertanya, "Jadi Anda sengaja ingin menggoda saya?" "Sengaja? Itu tidak mungkin. Aku hanya asal mengambil pakaian yang ada di sana," ucap Deon seraya menunjuk ke sebuah lemari yang sangat besar. Melani terkesima menatap lemari yang besar dan luas. Dia berjalan mendekati lemari yang telah terisi penuh oleh pakaian wanita dewasa. Deon telah meminta pelayan menyiapkan pakaian-pakaian itu untuk Melani. "Apa semua pakaian ini milikku?" tanya Melani yang dijawab Deon dengan anggukan kepala. Mata Melani tertuju pada beberapa pakaian kurang bahan. Melani melirik sinis Deon. "Apa pria itu sengaja membeli pakaian kurang bahan ini untukku? Aku tidak akan m
“Aku akan menepati janjiku. Karena kamu bersedia menikah denganku. Seluruh aset milikku akan kuubah menjadi namamu,” ucap Deon pasti. Melani melebarkan mata tidak percaya. Apa lelaki di depannya ini sudah gila? Atau jangan-jangan lelaki yang telah menjadi suaminya itu sedang terlibat pencucian uang dan ingin menyembunyikan kekayaannya di balik nama istri? Melani menggelengkan kepala. “Aku tidak menginginkan semua aset itu,” ujarnya. “Baiklah, jika kamu tidak menginginkannya, lalu apa yang bisa aku berikan sebagai hadiah untukmu? Katakan kepadaku. Apa yang kamu inginkan saat ini?” Deon menatap lekat Melani. Dia tidak menyangka, Melani akan menolak pemberiannya yang berharga. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu? Apa ada yang lebih berharga dari aset-aset bernilai miliaran miliknya? “Tidak perlu memberikan apa pun. Saya tidak menginginkan apa pun dari Anda. Lagi pula, kita tidak pernah tau, apakah pernikahan ini akan bertahan lama?” ujar Melani ragu. Perceraiannya dengan Johan b
“Desy, apa kamu benar-benar tidak mengenal siapa orang yang membeli semua pakaian di butik kita?” Melani merasa penasaran. Jangan-jangan Deon memang membeli di butiknya? Sejak bercerai dengan mantan suami, diam-diam Melani mendirikan butik kecil bekerja sama dengan Desy. Pada hari pernikahannya dengan Deon, dia meminta tolong Desy untuk mengurus semua keperluan di butik karena dia tidak bisa datang ke butik. “Aku benar-benar tidak tahu. Dia tidak menjawab saat aku menanyakan namanya. Ah, tunggu dulu.” Desy membuka daftar riwayat transaksi dan membuka mata lebar-lebar saat membaca nama si pemilik rekening yang melakukan transaksi virtual sejumlah satu miliar rupiah. “Deon Alvarendra. Bukankah dia pria kejam itu? “Bukan pria kejam, dia lelaki yang baik, Desy,” ujar Melani tegas. “Jadi benar Tuan Deon yang membeli semua pakaian di butik kita?” Melani melebarkan mata tidak percaya. Pantas saja dia merasa tidak asing dengan pakaian-pakaian yang di lemari besar pemberian Deon. “Kamu sela
“Sentuhlah aku, Istriku!” Deon mendekatkan wajahnya pada Melani. Melani memundurkan tubuhnya, menghindari Deon. Jantungnya berdegup kencang. “Aku akan memeriksa Nafisa,” ucapnya mengalihkan pembicaraan. Dia bergegas pergi menuju kamar Nafisa. Melani tersenyum lembut melihat Nafisa yang telah terlelap. Dia menggeleng-gelengkan kepala melihat selimut Nafisa yang berantakan. Bergegas dia merapikan selimut Nafisa, lalu mengecup kening bocah kecil itu dengan lembut. Saat kembali ke kamar, Melani melihat Deon telah terlelap di tempat tidur. Dia menghembuskan napas lega. Menutup pintu pelan-pelan, lalu berjalan menuju sofa. Dia membaringkan tubuh di atas sofa dan menyelimuti tubuhnya. “Jangan membuatku merasa menjadi suami tidak berguna dengan tidur di sana.” Tiba-tiba Deon berbalik dan menatapnya. “Ke sinilah. Kamu bisa tidur di sebelahku,” ucapnya sambil menepuk-nepuk tempat tidur yang luas di sebelahnya. “Tidak apa-apa, aku tidur di sini saja,” ucap Melani singkat. Dia bersiap memeja
Melani memejamkan mata hanya untuk menutupi kecanggungannya. Ini bukan kali pertama dia tidur bersama laki-laki, tetapi tetap saja dia merasa canggung ketika harus tidur satu kamar dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya. Dia membuka mata untuk melirik suaminya, tetapi buru-buru memejamkan mata kembali ketika melihat Deon sedang memandanginya. “Kamu tidak bisa tidur?” tanya Deon saat memergoki Melani baru saja meliriknya. Bibirnya tidak berhenti mengembangkan senyum. “Apa kamu mau mengatakan sesuatu?” tanyanya lagi. Dia tahu Melani tidak tidur. “Aku mengantuk,” jawab Melani tanpa membuka matanya. Dia mengubah posisi tidurnya membelakangi Deon. Deon melengkungkan bibir ke bawah. Dia mengangkat kedua bahu, lalu menarik selimut dan memejamkan mata. “Malam pertama yang dingin tanpa pelukan istri,” gumamnya. Melani membuka mata mendengar perkataan Deon. ‘Apa katanya? Berani sekali dia membicarakan malam pertama. Bukankah dia sudah berjanji tidak akan menyentuhku?’ Dia menggeser tubuh
“Mama! Biarkan Om Deon ikut ya, Ma!” Nafisa memohon pada Melani. Dia menarik-narik lengan Melani dan menatap mamanya itu dengan tatapan memelas. "Nafisa! Kita bisa berangkat sendiri. Om Deon harus berangkat ke kantor," bujuk Melani pada Nafisa. "Emangnya kenapa? Om Deon aja gak keberatan kok." Nafisa melengkungkan bibirnya ke bawah. "Lagian, bukannya Mama juga kerja di kantor Om Deon?" tanyanya meminta penjelasan. Melani mengusap-usap kepala Nafisa. "Om Deon adalah pimpinan perusahaan. Dia harus berangkat lebih pagi untuk memberi contoh yang baik pada karyawan-karyawannya," bujuk Melani. "Apa Nafisa mau Om Deon terlambat karena harus mengantar Nafisa dulu?" tanyanya pada Nafisa. Nafisa menggelengkan kepala. "Lalu, bagaimana dengan Mama? Gimana kalau Mama juga terlambat karena mengantar Nafisa dulu?" tanya Nafisa polos. "Tidak apa-apa. Mama ingin mengantar Nafisa dulu sebelum berangkat ke kantor," ujar Melani yakin. Mendengar Melani yang bersikukuh ingin mengantar Nafisa tanpanya
"Tolong! Ada pencopet yang mengambil tas milikku!" Melani masih berteriak panik. "Di mana copetnya?" Seorang lelaki setengah baya dan beberapa warga menghampiri Melani. Mereka segera berlari ke arah pencopet. Tiba-tiba Nafisa menangis ketakutan. Melani menatap Nafisa yang merasa ketakutan, dan seketika merasa bersalah. "Hey, kesayangan Mama. Kenapa menangis? Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Pencopet itu akan segera tertangkap," bujuk Melani seraya mengusap pipi Nafisa yang telah basah. Tidak lama Melani menunggu, beberapa warga kembali menghampirinya. "Apa ada barang berharga Ibu di dalam tas itu?" tanya seorang di antara mereka. "Tidak ada. Hanya ada beberapa surat-surat dan dokumen penting," jawab Melani lirih. Untung saja dia tidak menyimpan banyak uang di dalam dompet itu. Namun, akan sangat menyusahkan jika surat-surat berharga dan dokumen penting itu raib. Apalagi di tas itu juga ada rekening berisi uang satu miliar hasil penjualan butik. Rencananya uang itu aka