Kulihat Jasen mengulas senyum tipis, menurutku lelaki itu sedang mengujiku. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, masih ada harga diri yang harus kupertahankan. Percuma jika aku menyerah saat ini, sudah tiga tahun kubangun benteng kokoh untuk memperebutkan semua.''Aku yakin kamu bisa melihat hal itu pada diriku, saat ini," ucap jasen.''Baiklah. Aku tidak ingin memaksa, jika itu memang pilihanmu untuk saat ini," lanjutnya dan mulai mengendurkan cengkraman tangannya.Aku memutar bola mata, mendengar kakimat yang dia lontarkan, begitu penuh percaya diri. Seakan Jasen yakin aku akan mengubah pendirianku. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mulai melangkah menjauh menjaga jarak.Aku menolak memberikan senyum dan hanya memasang wajah tidak berminat pada percakapan ini. Memang sama sekali tidak ada lagi hal yang kuharapkan dapat terjadi antara diriku dan Jensen selain kembali menjalani kehidupan kami masing-masing.''Kamu tampak begitu yakin, Ann." Nadanya terdengar meremehkan.''Why n
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Madiun saat itu juga. Kulihat Amel semakin lelap dalam tidurnya. Sedangkan aku belum bisa memejamkan mata. Aku masih ingat akan semua kalimat Jasen, lelaki itu bersumpah akan mempersulitku dalam kehidupan hanya karena aku tidak mau menerima ajakan rujuknya."Ann, ada apa? Jujurlah!" ucap Jupri penuh makna."Menurut kamu, apakah aku harus segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, Jup?" tanyaku ragu.Jupri diam, lelaki itu seperti sedang berpikir keras untuk meyampaikan pendapatnya. Aku menunggu jawaban darinya dengan sabar. Lalu lelaki itu mulai mengeluarkan suara."Coba kamu tanya pada hati kecilmu, Ann. Apakah sudah yakin? Apa kamu sudah benar-benar bisa melupakan Jensen?'' Suara Jupri yang masih kudengar meskipun sangat rendah.''Aku yakin, Jup. Aku tidak akan bisa memberikan kesempatan lagi padanya. Tidak ingin hal itu hanya akan membuat hatiku kembali terluka untuk kedua kalinya. Dilukai berulang kali oleh orang yang sa
Ann, bangun. Kita sudah sampai." Jupri menggoyang tubuhku pelan. Aku merasa ia melepas _sealt belt_ yang terpasang di tubuhku."Sudah di Madiun kita, Jup?" tanyaku mengusap sebelah mata.Aku tidak bisa menggerakan tangan kananku karena ada Amel yang setia menggenggam lenganku.Jupri terkekeh, "nggak, Ann. Kita di depan rumahmu."Aku mengangguk, tidak _nggeh_ dengan candaannya.Segera kupinta Jupri mengangkat Amel dari tubuhku. Setelah itu sedikit melakukan perenggangan, aku mencoba menggerakan kaki kananku serta tangan.Dirasa bisa berjalan, aku lekas keluar dari mobil, menyusul Jupri yang mengantar Amel di kamarnya.Berjalan sedikit limbung karena mengantuk, aku mempertahankan kesadaranku sekuat mungkin."Bisa jalan, Ann?" Suara Jupri menginstrupsi.Aku mengiyakan. "Makasih, Jup. Hati-hati di jalan."Jupri terkekeh mendengar ucapanku, ia mengusap puncak kepalaku sebelum kurasa ia menutup pintu depan bahkan menguncinya.Setelah itu aku hanya menikmati empuknya kasurku dan hangatnya s
"Terima kasih, Pak!" ucapku oada petugas tersebut."Iya, Bu. Mohon segera diisi agar prosesnya cepat semoga sesuai dengan inginnya Anda, Bu!" "Aamiin," balasku tulus."Berhubung tugas sudah selesai, saya pamit undur diri," pamitnya.Aku hanya mengangguk lalu berbalik badan untuk kembali ke ruanganku. Aku terkikik geli tatkala wajah Dahlia, Amel serta Andin tampak penasaran seiring langkahku melewati keduanya. Enam pasang mata itu menyorot tepat ke arah amplop coklat yang ada dalam genggaman tanganku, tingkah mereka membuatku tidak berhenti tersenyum.Akibat tidak tahan, mereka menghampiriku seperti kucing meminta majikannya makanan. "Bunda bawa amplop apa?" tanya si kecil Amel dengan kepala meneleng ke kiri. Ia menelisik lebih dekat kertas itu.Aku menggeleng, menjawab rasa penasaran ketiganya dengan menggantung. Tidak kukatakan yang sebenarnya pada mereka."Serius bukan apa-apa, Mbk?" tanya Andin sekali lagi untuk memastikan aku tidak menyembunyikan sesuatu dibalik tanganku.Aku me
"Iya, Bun. Ada apa, ya?" Suara Dahlia menyapa gendang telingaku.Aku balik menyapanya, segera kuutarakan maksudku memanggilnya kala dia sedang asyik belajar. Aku meminta tolong Dahlia untuk menjaga Amel selama aku pergi karena pasti gadis kecil itu enggan bersama siapapun kecuali orang terdekatnya."Tenang aja, Bun. Amel aman sama aku, memangnya Bunda hendak kemana?" tanyanya membuatku tersenyum."Bunda akan ke Surabaya, mengurus sesuatu yang penting untuk kelanjutam hidup Amel. Apakah bunda bisa percayakan semua pada Dahlia?" tegasku."Siap, Bun. Sebagai kakak aku akan jaga Amel dimana pun dia bermain," jawab Dahlia tegas."Pergilah, Nak. Kan ada bi Ijah, jadi tidak perlu khawatir. Nanti biar bibi yang antar jemput sekolah kedua anak ini," papar Bi Ijah.Aku terharu sekali dengan semua anggota keluarga sambungku ini. Meskipun mereka tidak ada pertalian darah, mereka sangat menyayangi Amel dan aku. Sungguh suatu keberkahan mendapat perhatian mereka bertiga."Makasih banyak, ya. Sudah
Aku baru bisa menghela napas saat semua sudah tertata apik di totebag. Langsung saja tubuhku tergeletak di samping Amel yang sudah terlelap lebih dulu di kamarku. Entah mengapa hariku sangat melelahkan, tidak seperti biasanya.Keesokan paginya, sebelum aku benar-benar pergi Amel sudah kuberi tahu dan beruntung gadis itu mampu mengerti sehingga tidak ada hambatan lagi. Sungguh sangat bersyukur mempunyai seorang putri yang bisa mengerti dengan kebutuhanku, apalagi saat ini juga ada Bi Ijah sehingga membuatku bisa lebih iklas menjalani semua.Aku pun menuju garasi untuk mengecek kendaraan roda empat yang lama tidak terpakai. Aku berniat mengemudikan mobil itu sendiri tanpa jasa sipir, hal ini sengaja aku lakukan agar lebih fokus dan juga belajar mengingat jalur Madiun-Surabaya. Dengan berbekal GPS kulajukan kendaraan roda empat itu.Selama dua jam lebih aku sampai di Surabaya, tak lama kemudian trmpat yang kutuju di depan mata. Segera kuselesaikan semuanya di sana, menyerahkan berkas-ber
Mentari pagi mulai bersinar, dan hariku mulai sibuk kembali. Rutinitas toko dan lainnya sudaj antri. Namun, tidak untuk hari ini. Ternyata hari ini aku semakin sibuk, dengan adanya tamu yang luar biasa membuatku harus berpikir ulang."Bi, aku kepasar dulu ya!" pamitku pada Bi Ijah."Bukankah ada Non Iren? Jika dia bertanya bagaimana?" jawab Bi Ijah."Bilang saja aku ke pasar," balasku sambil berjalan menuju luar.Baru beberapa langkah terdengar suara berat khas orang bangun tidur. Aku sangat hapal suara ini. Perlahan aku pun berbalik badan untuk memastikan dan ternyata benar. Yoga memanggilku."Hai Sayangnya bunda, kok sudah bangun?" sapaku."Bunda hendak kemana?" tanya Yoga."Mau ke pasar, Le," balasku.Kulihat pria kecilku melangkah tergesa mengikis jarak antara kami. Bibirnya melengkung melukiskan segala rasa, kemudian dia memeluk lenganku."Yoga ikut!" ucapnya."Ini masih pagi, Le. Apakah kamu tidak ngantuk?" tanyaku."Aku ingin membantu Bunda, boleh?" tanya Yoga lembut Aku menga
"Jadi kita tinggal terpisah lagi, Bund?" tanya Yoga.Aku tersenyum lalu melangkah mendekat pada putraku, kurengkuh tubuhnya yang memiliki tinggi hampir sama denganku. Kuusap pelan lengan kekarnya. Kulihat dia sedikit merenggangkan pelukanku, mungkin dia merasa tidak nyaman. Aku pun mengurai pelukan lalu menatap lekat pada manik mata Yoga."Iya Sayang, bukankah Yoga tahu seberapa rumah bunda? Toh jarak rumah ini dengan rumah bunda hanya satu pagar tanpa melewati rumah orang," ungkapku.Yoga perlahan mulai mengerti setelah mendengar perkataanku, kemudian dia berjalan melihat setiap kamar. Rumah Bu Ramlah lebih besar dari rumah yang aku kontrak, sehingga rumah itu memiliki empat kamar. Yoga terlihat memilih kamar mana yang cocok dengan angannya."Yoga mau pakai kamar ini, Om Frans!" pinta Yoga dengan datar."Iya, pakai saja. Om sama Tante kamar mana saja boleh, yang penting Yoga nyaman," balas Frans.Terlihat sekali jika Frans sangat memperhatikan keperluan putraku, andai sifat ini juga