"Iya, Bun. Ada apa, ya?" Suara Dahlia menyapa gendang telingaku.Aku balik menyapanya, segera kuutarakan maksudku memanggilnya kala dia sedang asyik belajar. Aku meminta tolong Dahlia untuk menjaga Amel selama aku pergi karena pasti gadis kecil itu enggan bersama siapapun kecuali orang terdekatnya."Tenang aja, Bun. Amel aman sama aku, memangnya Bunda hendak kemana?" tanyanya membuatku tersenyum."Bunda akan ke Surabaya, mengurus sesuatu yang penting untuk kelanjutam hidup Amel. Apakah bunda bisa percayakan semua pada Dahlia?" tegasku."Siap, Bun. Sebagai kakak aku akan jaga Amel dimana pun dia bermain," jawab Dahlia tegas."Pergilah, Nak. Kan ada bi Ijah, jadi tidak perlu khawatir. Nanti biar bibi yang antar jemput sekolah kedua anak ini," papar Bi Ijah.Aku terharu sekali dengan semua anggota keluarga sambungku ini. Meskipun mereka tidak ada pertalian darah, mereka sangat menyayangi Amel dan aku. Sungguh suatu keberkahan mendapat perhatian mereka bertiga."Makasih banyak, ya. Sudah
Aku baru bisa menghela napas saat semua sudah tertata apik di totebag. Langsung saja tubuhku tergeletak di samping Amel yang sudah terlelap lebih dulu di kamarku. Entah mengapa hariku sangat melelahkan, tidak seperti biasanya.Keesokan paginya, sebelum aku benar-benar pergi Amel sudah kuberi tahu dan beruntung gadis itu mampu mengerti sehingga tidak ada hambatan lagi. Sungguh sangat bersyukur mempunyai seorang putri yang bisa mengerti dengan kebutuhanku, apalagi saat ini juga ada Bi Ijah sehingga membuatku bisa lebih iklas menjalani semua.Aku pun menuju garasi untuk mengecek kendaraan roda empat yang lama tidak terpakai. Aku berniat mengemudikan mobil itu sendiri tanpa jasa sipir, hal ini sengaja aku lakukan agar lebih fokus dan juga belajar mengingat jalur Madiun-Surabaya. Dengan berbekal GPS kulajukan kendaraan roda empat itu.Selama dua jam lebih aku sampai di Surabaya, tak lama kemudian trmpat yang kutuju di depan mata. Segera kuselesaikan semuanya di sana, menyerahkan berkas-ber
Mentari pagi mulai bersinar, dan hariku mulai sibuk kembali. Rutinitas toko dan lainnya sudaj antri. Namun, tidak untuk hari ini. Ternyata hari ini aku semakin sibuk, dengan adanya tamu yang luar biasa membuatku harus berpikir ulang."Bi, aku kepasar dulu ya!" pamitku pada Bi Ijah."Bukankah ada Non Iren? Jika dia bertanya bagaimana?" jawab Bi Ijah."Bilang saja aku ke pasar," balasku sambil berjalan menuju luar.Baru beberapa langkah terdengar suara berat khas orang bangun tidur. Aku sangat hapal suara ini. Perlahan aku pun berbalik badan untuk memastikan dan ternyata benar. Yoga memanggilku."Hai Sayangnya bunda, kok sudah bangun?" sapaku."Bunda hendak kemana?" tanya Yoga."Mau ke pasar, Le," balasku.Kulihat pria kecilku melangkah tergesa mengikis jarak antara kami. Bibirnya melengkung melukiskan segala rasa, kemudian dia memeluk lenganku."Yoga ikut!" ucapnya."Ini masih pagi, Le. Apakah kamu tidak ngantuk?" tanyaku."Aku ingin membantu Bunda, boleh?" tanya Yoga lembut Aku menga
"Jadi kita tinggal terpisah lagi, Bund?" tanya Yoga.Aku tersenyum lalu melangkah mendekat pada putraku, kurengkuh tubuhnya yang memiliki tinggi hampir sama denganku. Kuusap pelan lengan kekarnya. Kulihat dia sedikit merenggangkan pelukanku, mungkin dia merasa tidak nyaman. Aku pun mengurai pelukan lalu menatap lekat pada manik mata Yoga."Iya Sayang, bukankah Yoga tahu seberapa rumah bunda? Toh jarak rumah ini dengan rumah bunda hanya satu pagar tanpa melewati rumah orang," ungkapku.Yoga perlahan mulai mengerti setelah mendengar perkataanku, kemudian dia berjalan melihat setiap kamar. Rumah Bu Ramlah lebih besar dari rumah yang aku kontrak, sehingga rumah itu memiliki empat kamar. Yoga terlihat memilih kamar mana yang cocok dengan angannya."Yoga mau pakai kamar ini, Om Frans!" pinta Yoga dengan datar."Iya, pakai saja. Om sama Tante kamar mana saja boleh, yang penting Yoga nyaman," balas Frans.Terlihat sekali jika Frans sangat memperhatikan keperluan putraku, andai sifat ini juga
Matahari mulai condong ke arah barat. Udara perlahan menjadi hangat. Di jalan depan rumah, anak-anak sibuk bermain. Ada yang bermain sepeda, berkejaran atau sekedar duduk-duduk sambil bercerita. Aku melihat Amel dan Dahlia asik bermain masak-masakan dengan anak-anak lain. Amel terlihat memetik rumput lalu menghaluskannya dengan batu. Mereka ceria sekali. Sesekali Amel tertawa lepas. Senang rasanya melihat Amel punya teman-teman baru seperti sekarang. Setidaknya itu bisa menjadi penambal lubang yang mungkin ada di hati Amel terkait perpisahan kami, kedua orang tuanya."Maafin Bunda, Nak." Aku menghela napas berat. Di antara keriangan anak-anak itu, aku melihat Irene dan Frans berjalan bersisian. Saat melihatku, Irene pun langsung melambaikan tangannya. "Ann!"Aku menyambut sepasang sejoli itu dengan senang. Tidak lupa, aku segera mengajak mereka masuk. Tetapi kulihat tidak ada Yoga yang berjalan di belakang mereka, aku sedikit kecewa."Kalian tidak istirahat dulu saja di kontrakan?"
Aku pun mengulum senyum. "Wah, kalau gitu, jangan sampai kamu sia-siakan Irene ya, Frans. Jangan buat hatinya sakit. Lihat, dia susah didapatkan dan penuh pertimbangan. Kalau kamu sakiti, dia bisa pergi sejauh-jauhnya. Jangan sampai kejadian. Nanti kamu bisa menyesal, Frans," ungkapku akan diri Irene.Kulihat Frans tersenyum lalu mengangguk. "Paham, Mbak. Aku bakal jaga Irene. Dia sudah memberiku kesempatan untuk membuktikan diri, Mbak. Aku jelas tidak akan menyia-nyiakannya."Aku pun memandang bergantian dua sejoli yang sedang curi-curi pandang itu. Perasaan bahagia ini. Suasana ini. Seperti membawaku kembali pada momen saat pertama aku jatuh hati dengan Jasen. Momen itu, seolah baru saja terjadi kemarin. Aku pun menatap langit-langit lalu menghela napas pelan. "Lihat yang terjadi padaku dan Jasen sekarang," gumamku dalam hati. "Ann," panggil Irene pelan. "Ya?""Soal kamu dan Jasen--"Aku tersenyum simpul sambil menggeleng. "Jangan dibahas, Ren. Itu merusak suasana."Kulihat Irene
Aku masih menatap penuh tanya pada sulungku, pria kecilku masih bungkam. Dia seakan enggan untuk memulai sebuah ungkapan yang selama ini ingin dia utarakan secara langsung. Aku menganggukkan kepala tanda sedang menunggu sebuah kata yang meluncur dari bibir mungilnya.Yoga terlihat sedang menata hati, hal itu terbukti dari cara dia mengambil napas. Aku kembali tersenyum manis agar pria kecilku merasa nyaman sehingga semua yang ada dalam benaknya bisa keluar tanpa beban."Bicaralah, Le! Bunda akan mendengarkan semua, jika memang itu suatu hal yang baik akan bunda coba jalani dengan iklas," paparku."Iya, benar apa yang Bunda kamu katakan, Yoga. Ungkapkan saja, jika memang itu terbaik untuk semua kita akan pikirkan jalan keluarnya," ucap Frans mencoba berbicara pada putraku dengan nada rendah.Yoga kembali menarik napas panjang, lalu bibirnya mulai membuka. Dengan lirih suaranya keluar satu demi satu."Jika Bunda melakukan gugatan cerai berarti kalian berdua sudah tidak bisa bersatu, bol
Aku pun berjalan mendekat pada Bi Ijah yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Kuhampiri wanita tua itu untuk berpamitan. Bi Ijah menatapku seaat lalu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Setelah melihat anggukan kepala Bi Ijah, aku berjalan menuju ruang tamu dimana para orang terkasihku ada dan berkumpul di sana."Irene, Frans dan Yoga, maaf sepertinya aku tidak bisa makan malam bersama kalian. Malam ini aku harus lembur membantu Andin yang sedang menerima job pelanggan dalam partai besar," paparku."Apakah kami boleh ikut?" tanya Irene."Lebih baik kalian istirahat saja dulu, persiapkan tenaga kalian buat perjalanan besok ke Surabaya!" titahku dengan nada rendah."Kamu harus istirahat juga, Ann!" kilah Frans.Aku tersenyum, meskipun sudah memiliki istri lelaki itu tidak pernah lupa memberiku perhatian kecil dan dia tidak peduli jika ada Irene. Sedangkan Irene begitu percaya pada Frans bahwa hatinya hanya untuk Irene."Tenang saja aku sudah biasa seperti ini." Aku pun berjalan menu