"Aku mencintaimu""Aku nggak mau kehilangan kamu""Aku nggak sanggup hidup tanpamu""Aku mohon jangan pergi""Jangan tinggalkan kami"Entah berapa kali Mas Elman mengulang kata-kata itu sepanjang perjalanan kami, tapi aku memilih membisu. Untuk apa bersuara, kalau dia tetap pada pendiriannya. Menyimpan rapat rahasia, dengan alasan belum saatnya aku tahu. Bukankah dalam sebuah pernikahan harus landasi keterbukaan, kejujuran. Emang dia nggak tahu, komunikasi itu penting banget agar hubungan tetap langgeng? Kalau dia tetap teguh dengan pendiriannya, aku juga bisa. Usai berbalas pesan dengan kepala daycare, minta ijin tidak masuk, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menoleh ke arah jendela. Bagiku pemandangan lebih menarik, daripada mendengar ocehan Mas Elman. Percuma dia keluarkan segala rayuan gombal, nggak mempan. Hatiku sudah terlanjur membatu. "Ra!" Mas Elman meraih jemariku dalam genggamannya, tapi buru-buru ku tarik. Malas aku bersentuhan dengan laki-laki pembohong seperti d
"Lho, Nak Elman nggak ikut nginep sekalian?" Suara Ibu bernada kecewa. Saat Mas Elman berpamitan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, Bu. Lagipula saya dan Zila tidak bawa baju ganti, memang dari awal niatnya hanya ngantar Dek Nira saja." Mas Elman menolak permintaan Ibu. "Padahal sejak menikah, Nak Elman belum pernah nginep di sini lho." Setelah ijab kabul terucap, Mas Elman langsung memboyongku ke rumah Eyang tanpa menunggu malam. Waktu itu pernikahan kami digelar secara sederhana, hanya akad dan resepsi kecil-kecilan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal, Bu.""Ya .... Sayang sekali, padahal sudah sampai sini, kenapa nggak nginep sekalian?" Ibu menatap kecewa Mas Elman. "Maaf, Bu. Saya terlanjur membuat janji. Insya Allah saya akan menginap di sini, kalau ada waktu longgar." Elak Mas Elman. Aku jadi mikir, apa dia janjian sama Mbak Dita? Menang banyak dong, Mas Elman. Aku nggak di rumah, dia bisa bebas ketemuan sama mantan pacarnya itu. Eh, ngapain aku mikirin mer
Pov Elman"El!" Baru saja aku turun dari mobil, hendak membuka pintu pagar, Dita datang berjalan ke arahku. "Kamu kemana aja seharian? Ponselmu mati, aku cari di kantor nggak ada. Aku khawatir banget tahu, nggak?" Wajah Dita nampak khawatir. "Aku ngantar Nira pulang tadi. Ada apa?" jawabku datar. Harusnya aku senang, mendapat perhatian dari wanita secantik Dita, tapi sayangnya hatiku terlanjur membencinya. Sebenernya bukan dia yang aku benci, melainkan ayahnya. Tapi sikapnya yang terus mengejarku, membuatku tidak nyaman. Benar-benar wanita nggak punya hati, berusaha merebut laki-laki yang sudah menjadi milik wanita lain. "Ck, cuek banget sih, jadi orang! Aku bingung tahu! Kamu nggak bisa dihubungi, orang kantor juga nggak tahu kamu kemana? Kan aku jadi panik! Takut kamu kenapa-napa! Ngabarin apa susahnya sih!" Dita bersungut-sungut dengan bibir mengerucut. Kalau ini terjadi lima tahun yang lalu, pasti aku sudah mengacak rambutnya, karena gemas. Tapi itu dulu, saat di hatiku dipe
Pov Elman"Pak Elman, di depan ada Pak Susilo mau ketemu," ucap Edwin, sekretarisku. "Suruh langsung masuk aja!" Edwin membungkuk sopan lalu meninggalkan ruanganku. Tak lama kemudian orang yang dimaksud Edwin tersebut datang. "Pak Elman apa kabar?" Pak Susilo menyapa ramah seraya mengulurkan tangan padaku. "Baik Pak, Alhamdulillah .... baik," jawabku seraya menyambut uluran tangan Pak Susilo."Gimana-gimana ada kabar baik apa ini, sampai-sampai Pak Elman Branch manager PT. Sedayu ini menghubungi saya?" Wajah Pak Susilo nampak semringah, sejak tadi senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Tentu saja dia senang bukan main, perusahaan tempatku bekerja melelang tender besar. Ada beberapa perusahaan yang menjadi pesertanya. Diantaranya perusahaan milik Pak Susilo, PT HD group milik Hardiono orang tua Dita dan beberapa perusahaan rekanan lainnya. Beberapa kali perusahaan milik Pak Susilo ini ikut tender, tapi kalah terus karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi, aku tahu karena aku sal
"Siapa dia?" Mas Elman bertanya dengan nada dingin, tak lupa tatapan tajamnya yang terus mengarah pada dr. Bagus yang berjalan menjauh. "dr. Bagus, kenapa?" jawabku malas. "Dia dokter? Kok bisa-bisanya sok akrab sama kamu?" cercanya. Dari bicaranya, ada nada tidak suka. Dia cemburu, kah? Kalau bukan di rumah sakit sudah aku maki-maki dia, bisa-bisanya cemburu pada dr. Bagus. Kami hanya berbincang biasa, tak ada sentuhan fisik, bagian mananya yang membuat Mas Elman cemburu? Bagaimana kalau aku bergelendot manja pada dr. Bagus, seperti Mbak Dita padanya? "Tadinya aku memeriksakan Bapak ke klinik dr. Bagus, tahu kan kliniknya yang dekat jalan raya itu?" Mas Elman mengangguk. "Setelah diperiksa, gejalanya merujuk ke DB. Lalu tes darah di laborat, ternyata trombositnya rendah banget. Karena di klinik itu nggak punya fasilitas rawat inap, maka dirujuk ke rumah sakit ini," ucapku menjelaskan kronologinya. "Tapi nggak dia nggak perlu ikut juga, kan?" protesnya tidak suka, sementara aku m
"Ra, ada hal yang penting yang ingin aku sampaikan." Ditengah acara makan kami, tiba-tiba Mas Elman bicara. "Tentang?""Aku dan Dita." Kembali aku menatap dalam-dalam netra Mas Elman. Entah mengapa tiba-tiba jantungku deg-degan begini? Jangan-jangan dia mau mengakui perselingkuhannya. "Sebaiknya jangan bicara di sini, Mas. Takut Bapak denger," ucapku sambil menyuap siomay ke mulut. "Iya, aku tahu."Kembali hening, kami fokus pada makanan masing-masing, hingga dua sosok tercinta muncul di depan pintu. Memecah kebisuan diantara kami berdua. "Ibu, Mas Agus?" Kompak kami menyapa kakak dan ibuku. Mas Elman buru-buru menghampiri mereka, mencium takzim punggung tangan Ibu, dan setelahnya menyalami Mas Agus. "Katanya di luar kota, Mas?" tanya Mas Elman basa-basi. "Iya, tadi baru sampai, langsung ditodong Ibu suruh nganterin. Katanya khawatir banget sama Bapak. Tau tuh, udah sepuh masih bucin aja," seloroh Mas Agus, yang langsung mendapat hadiah cubitan di pantat dari Ibu. "Bucin piye?
"Apa perlu ku jelaskan?" Tentu saja tidak perlu, aku tahu kemana arah pembicaraan Mas Elman. Dua orang dewasa menjalin hubungan, apa yang akan mereka lakukan, kalau bukan .... ? Ah, sudahlah! Apalagi Mbak Dita terlihat agresif begitu. Di tempat umum saja, tidak tahu malu. Bergelendot manja seperti monyetnya si Buta. Apalagi kalau sedang berdua? Aku benar-benar tidak menyangka, sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku, Mas Elman ternyata sebejat itu. Oke dia marah, dia dendam, tapi kenapa harus meniduri Mbak Dita? Dia itu orangnya alim lho, rajin ibadah, masak iya tidak tahu kalau perbuatannya itu dilarang agama? Kepalaku jadi nyut-nyutan begini memikirkannya. Kembali terlintas bayangan bagaimana dia berbagi peluh dengan Mbak Dita, lalu saat di rumah kami pun bercinta. Ya Allah .... se menjijikkan itu suamiku. Aku ingat betul, waktu dia pamit keluar kota dua hari, katanya ada urusan pekerjaan. Pulangnya dia seperti orang yang nggak pernah bercinta bertahun-tahun, dia "menghajar
Pov AthorSementara itu di sebuah mes rumah sakit ternama di Jogjakarta, Dita meringkuk memeluk lutut di sudut tempat tidur, tatap matanya kosong. Sudah dua hari sejak dia datang, dia terus saja seperti itu, membuat sang adik bingung sendiri. Untungnya wajah mereka berdua bakal pinang dibelah dua, jadi, meski tanpa dijelaskan teman-teman sejawatnya paham kalau mereka kakak beradik. Kalau tidak, bisa dianggap melanggar kode etik dia, membawa perempuan tanpa ikatan menginap. "Mbak, ngomong dong ada apa? Aku mana bisa bantu kalau kamu terus seperti itu?" Dito sudah hampir frustasi, karena belum berhasil membujuk kakak satu-satunya untuk buka mulut. "Meski aku nggak banyak membantu, setidaknya hati Mbak bisa sedikit lega." Dita bergeming, masih tetap pada posisinya. "Ini masalah perusahaan?" Dita menggeleng, padahal Dito berjanji akan menemui papanya, membuang egonya untuk menemui laki-laki yang telah menganggapnya anak durhaka. Demi kakak tercinta, agar masalahnya segera teratasi. Di