Pov Elman"Pak Elman, di depan ada Pak Susilo mau ketemu," ucap Edwin, sekretarisku. "Suruh langsung masuk aja!" Edwin membungkuk sopan lalu meninggalkan ruanganku. Tak lama kemudian orang yang dimaksud Edwin tersebut datang. "Pak Elman apa kabar?" Pak Susilo menyapa ramah seraya mengulurkan tangan padaku. "Baik Pak, Alhamdulillah .... baik," jawabku seraya menyambut uluran tangan Pak Susilo."Gimana-gimana ada kabar baik apa ini, sampai-sampai Pak Elman Branch manager PT. Sedayu ini menghubungi saya?" Wajah Pak Susilo nampak semringah, sejak tadi senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Tentu saja dia senang bukan main, perusahaan tempatku bekerja melelang tender besar. Ada beberapa perusahaan yang menjadi pesertanya. Diantaranya perusahaan milik Pak Susilo, PT HD group milik Hardiono orang tua Dita dan beberapa perusahaan rekanan lainnya. Beberapa kali perusahaan milik Pak Susilo ini ikut tender, tapi kalah terus karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi, aku tahu karena aku sal
"Siapa dia?" Mas Elman bertanya dengan nada dingin, tak lupa tatapan tajamnya yang terus mengarah pada dr. Bagus yang berjalan menjauh. "dr. Bagus, kenapa?" jawabku malas. "Dia dokter? Kok bisa-bisanya sok akrab sama kamu?" cercanya. Dari bicaranya, ada nada tidak suka. Dia cemburu, kah? Kalau bukan di rumah sakit sudah aku maki-maki dia, bisa-bisanya cemburu pada dr. Bagus. Kami hanya berbincang biasa, tak ada sentuhan fisik, bagian mananya yang membuat Mas Elman cemburu? Bagaimana kalau aku bergelendot manja pada dr. Bagus, seperti Mbak Dita padanya? "Tadinya aku memeriksakan Bapak ke klinik dr. Bagus, tahu kan kliniknya yang dekat jalan raya itu?" Mas Elman mengangguk. "Setelah diperiksa, gejalanya merujuk ke DB. Lalu tes darah di laborat, ternyata trombositnya rendah banget. Karena di klinik itu nggak punya fasilitas rawat inap, maka dirujuk ke rumah sakit ini," ucapku menjelaskan kronologinya. "Tapi nggak dia nggak perlu ikut juga, kan?" protesnya tidak suka, sementara aku m
"Ra, ada hal yang penting yang ingin aku sampaikan." Ditengah acara makan kami, tiba-tiba Mas Elman bicara. "Tentang?""Aku dan Dita." Kembali aku menatap dalam-dalam netra Mas Elman. Entah mengapa tiba-tiba jantungku deg-degan begini? Jangan-jangan dia mau mengakui perselingkuhannya. "Sebaiknya jangan bicara di sini, Mas. Takut Bapak denger," ucapku sambil menyuap siomay ke mulut. "Iya, aku tahu."Kembali hening, kami fokus pada makanan masing-masing, hingga dua sosok tercinta muncul di depan pintu. Memecah kebisuan diantara kami berdua. "Ibu, Mas Agus?" Kompak kami menyapa kakak dan ibuku. Mas Elman buru-buru menghampiri mereka, mencium takzim punggung tangan Ibu, dan setelahnya menyalami Mas Agus. "Katanya di luar kota, Mas?" tanya Mas Elman basa-basi. "Iya, tadi baru sampai, langsung ditodong Ibu suruh nganterin. Katanya khawatir banget sama Bapak. Tau tuh, udah sepuh masih bucin aja," seloroh Mas Agus, yang langsung mendapat hadiah cubitan di pantat dari Ibu. "Bucin piye?
"Apa perlu ku jelaskan?" Tentu saja tidak perlu, aku tahu kemana arah pembicaraan Mas Elman. Dua orang dewasa menjalin hubungan, apa yang akan mereka lakukan, kalau bukan .... ? Ah, sudahlah! Apalagi Mbak Dita terlihat agresif begitu. Di tempat umum saja, tidak tahu malu. Bergelendot manja seperti monyetnya si Buta. Apalagi kalau sedang berdua? Aku benar-benar tidak menyangka, sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku, Mas Elman ternyata sebejat itu. Oke dia marah, dia dendam, tapi kenapa harus meniduri Mbak Dita? Dia itu orangnya alim lho, rajin ibadah, masak iya tidak tahu kalau perbuatannya itu dilarang agama? Kepalaku jadi nyut-nyutan begini memikirkannya. Kembali terlintas bayangan bagaimana dia berbagi peluh dengan Mbak Dita, lalu saat di rumah kami pun bercinta. Ya Allah .... se menjijikkan itu suamiku. Aku ingat betul, waktu dia pamit keluar kota dua hari, katanya ada urusan pekerjaan. Pulangnya dia seperti orang yang nggak pernah bercinta bertahun-tahun, dia "menghajar
Pov AthorSementara itu di sebuah mes rumah sakit ternama di Jogjakarta, Dita meringkuk memeluk lutut di sudut tempat tidur, tatap matanya kosong. Sudah dua hari sejak dia datang, dia terus saja seperti itu, membuat sang adik bingung sendiri. Untungnya wajah mereka berdua bakal pinang dibelah dua, jadi, meski tanpa dijelaskan teman-teman sejawatnya paham kalau mereka kakak beradik. Kalau tidak, bisa dianggap melanggar kode etik dia, membawa perempuan tanpa ikatan menginap. "Mbak, ngomong dong ada apa? Aku mana bisa bantu kalau kamu terus seperti itu?" Dito sudah hampir frustasi, karena belum berhasil membujuk kakak satu-satunya untuk buka mulut. "Meski aku nggak banyak membantu, setidaknya hati Mbak bisa sedikit lega." Dita bergeming, masih tetap pada posisinya. "Ini masalah perusahaan?" Dita menggeleng, padahal Dito berjanji akan menemui papanya, membuang egonya untuk menemui laki-laki yang telah menganggapnya anak durhaka. Demi kakak tercinta, agar masalahnya segera teratasi. Di
Setelah memastikan keadaan aman, pelan kudekati Mas Agus yang sedang berjongkok memberi makan ayam itu. "Mas!" kutepuk pelan bahu laki-laki yang umurnya selisih lima tahun denganku itu. "Apa? Mau minta duit?" ucapnya pura-pura ketus. Laki-laki ini biar sudah punya anak istri kelakuannya masih kayak anak kecil, susah diajak serius, becanda aja kerjanya. "Dih, nggak doyan duitmu aku, Mas!" Aku ikut berjongkok di samping Mas Agus. "Heleh, sombong amat! Mentang-mentang suaminya banyak duit!" cibirnya. "Boleh minta tolong, nggak?" ucapku pelan, takut kalau tiba-tiba Mbak Santi menyusul Mas Agus. Maklum, rumah Mas Agus dan orang tuaku bersebelahan. Jangan lupa dengan keberadaan Mas Elman di rumah ini, dia bisa saja muncul tanpa sepengatahuanku. "Mau ngutang?" Plak! Tanganku mendarat keras di pundak laki-laki yang berwajah mirip denganku itu. "Sudah dibilang nggak doyan duitmu!" "Terus mau minta tolong apa? Biasanya orang kalau ngomong minta tolong itu, nggak jauh-jauh dari soal utang
"Ra, kangen," bisik Mas Elman lembut di telingaku, membuat bulu kudukku meremang seketika Meski hati ingin menolak sentuhannya, tapi tubuhku berhianat, justru merasa nyaman dan menikmatinya. "Jangan Mas, nanti Zila lihat." Aku berusaha melepas tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, tapi gagal. Lelaki itu justru mengeratkan pelukannya. "Nggak pa-pa sayang, Zila main ke rumah Mas Agus, kan?" ucap Mas Elman tanpa merubah posisinya. "Iya, tapi kalau dia tiba-tiba masuk gimana?""Ayolah, Ra. Beberapa hari ini kita nggak melakukannya, kan? Aku nggak tahan Ra." Ada yang aneh dengan pernyataan Mas Elman, dia bilang tak tahan beberapa hari tak menyentuhku, lalu apa kabar yang setahun kemarin puasa? Tangan Mas Elman gerilya kemana-mana, membuat tubuhku merespon sentuhannya. Pikiranku seperti ditarik ke alam sadar, ketika bayangan Mbak Dita bergelayut manja di lengan Mas Elman melintas. Aku mendorong tubuh kekar itu sekuat tenaga, tak rela disentuh laki-laki yang pernah meniduri pere
Pertama kali membuka mata, yang kulihat adalah wajah Mas Elman yang tersenyum lega. "Alhamdulillah .... Akhirnya kamu sadar juga, Ra," ucapnya lembut. Berkali-kali dia mencium telapak tanganku, kemudian meletakkan di pipinya. "Kamu tahu? Aku hampir gila saat melihatmu pucat tak berdaya, aku nggak sanggup kehilangan kamu, sayang," lirih Mas Elman, matanya berkaca-kaca. Bisa kulihat, ketulusan di sana. "Ini di mana Mas? Kayak bukan kamar kita?" ucapku setelah menyadari berada di kamar asing. Seperti di rumah sakit, karena ruangannya serba putih. Aku berusaha bangkit dari posisiku bermaksud untuk duduk, tapi Mas Elman buru-buru menahannya. "Jangan bergerak dulu, sayang. Sebentar aku ambilkan minum ya? Kamu haus pasti." Sebotol air mineral yang sudah dipasang sedotan disodorkan Mas Elman padaku. "Sudah Mas, terimakasih. Mas belum jawab pertanyaanku tadi. Ini dimana?" ucapku setelah menyesap hampir setengah air mineral itu. "Kamu di rumah sakit sayang," . Di rumah sakit? Terakhir yan