Pov Elman"Mau apa dia kesini?" Tanya Nira dingin. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Edan Dita, kenapa dia nekat datang ke sini? Bisa ngamuk Nira nanti, kalau hanya ngamuk, kalau langsung kabur gimana? "Mau bicara sama Bu Nira," jelas Suster Sari, yang masih berdiri di depan pintu. "Bicara sama aku?" "Bilang sama dia! Bu Nira tidak bisa diganggu," potongku cepat. "Iya Pak." Suster Sari berlalu dari hadapanku sambil menggandeng Zila. Aku menoleh ke arah Nira yang sudah bersiap turun dari tempat tidur. Segera aku menghampiri dan mencegahnya. "Eh jangan turun! Kamu lupa apa kata dokter kemarin? Kamu harus bed rest." Mendengar perintahku, Nira segera mengurungkan niatnya. Untung saja ada alasan aku mencegah dia keluar, bisa kacau balau kalau itu terjadi. "Aku menemui Mbak Dita, Mas." "Buat apa sih? Nggak penting.""Kok nggak penting? Mbak Dita bela-belain ke sini pasti ada yang penting. Atau jangan-jangan kalian masih --- " Belum sempat Dita menyelesaikan ucapannya, aku suda
Pov AuthorDita menatap nanar Elman yang duduk di seberangnya, entah punya dendam apa Elman padanya, hingga tega menghancurkan dia tanpa ampun. Setelah penolakan terhadap janin yang ada di perutnya, kini dia harus menerima kenyataan bahwa perusahaannya kalah tender. Bagaimana bisa? Semua persyaratan sudah dipenuhi, kredibilitas perusahaannya pun sudah teruji, perusahaan milik ayahnya itu bukan perusahaan kaleng-kaleng. Dan satu lagi, Elman adalah konsultannya, bagaimana mungkin bisa kalah tender? Banyak jiwa yang bergantung pada perusahaannya, staf dan karyawan, biaya pengobatan ayahnya yang tidak murah, jangan lupakan biaya pendidikan spesialis Dito yang harus dia tanggung. Uang dari mana kalau perusahaannya harus kolaps? Dunia seakan runtuh menimpanya, ujian berat menerpanya bertubi-tubi. Dia hampir depresi saat mendapatkan kenyataan dirinya hamil, dan Elman menolak mengakui. Kini harus dihadapan kenyataan perusahaan yang dia kelola terancam bangkrut. Tiba-tiba semua gelap, Dita
Pov AuthorSetelah mendengar cerita Dito, bahu Hardiono terguncang hebat, air matanya mengalir deras. Seumur hidupnya baru kali ini dia menangis, meratap menyesali kesalahannya di masa lalu. Apa penyesalan itu berguna? Tentu saja tidak, semua sudah terlanjur terjadi. Bayangan peristiwa kelam itu kembali, seperti film yang diputar. Semua terlihat jelas, wajah ketakutan dan frustasi terus terbayang semua tampak nyata, meski puluhan tahun sudah berlalu. "Aku mohon, lepaskan aku .... " Rintihan Mirna bukannya membuat Hardiono iba, justru membuat laki-laki semakin bergairah menjamah tubuh lemah yang berada dalam kungkungannya."Jangan! Aku mohon jangan sentuh aku! Mira, tolong aku Mira! Kita saudara Mira!" Harapan Mirna saudara sepupunya itu mau menolong.Mirna berjongkok, membuat Hardiono menyingkir sejenak, memberi tempat pada Mira. Gadis itu menatap tubuh lemah Mirna dengan tatapan mengejek. "Saudara? Aku bahkan menyesal punya saudara seperti kamu!" sinis Mira, entah dimana hati nura
Pov AuthorBugh! "Mama!" pekik Dito dan Hardiono bersamaan. Sigap Dito menghampiri tubuh Mira yang tergeletak di lantai, dan mengangkatnya ke ranjang. Dito memeriksa denyut nadi Mira, memastikan mamanya masih bernafas. "Sepertinya Mamamu mendengar obrolan kita, To," lirih Hardiono dengan nafas terengah-engah. Berjalan beberapa langkah saja dia sudah kepayahan, apalagi harus turun gunung lagi, menyelesaikan masalah yang menimpa anak dan perusahaannya. "Semoga Mama hanya kaget Pa, tapi kita tetap harus membawanya ke rumah sakit," ujar Dito khawatir. "Biaya dari mana? Ini Singapore, surat keterangan miskin tak berlaku di sini." Hardiono berkata dengan senyum getir. Begitu mendengar perusahaan kolaps, Hardiono segera menghentikan proses pengobatan yang sedang berjalan untuk istri dan dirinya. Bahkan dia keluar rumah sakit dengan status pulang paksa, alasan biaya tentu saja. Dia tidak mau menjadi beban anaknya."Tapi Mama butuh penanganan, Pa."Hardiono mendesah. "Apa kamu belum tahu
Sejak tahun aku hamil, Mas Elman jadi over protective. Kadar sayangnya naik berkali-kali lipat, aku rasa itu bukan perasaanku saja, Mas Elman memang makin sayang dan perhatian padaku. Tiap jam makan siang, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Memastikan aku sudah makan dan istirahat yang cukup. Kalau pun tak bisa, dia akan menelfon. Cerewet sekali suamiku itu. Apa aku jatuh cinta lagi padanya? Mungkin. Aku tipe wanita yang suka diperlakukan romantis, jadi aku mudah baper kalau Mas Elman bersikap manis begini. Salah nggak sih, kalau hatiku meleleh dengan perlakuan Mas Elman? "Papa pulang!" Suara ceria itu menyapa kami tiap dia datang. Zila yang sedang duduk di sampingku, langsung berlari menyongsong sang ayah. "Hore .... Papa pulang!" pekiknya girang, dan langsung melompat ke dalam pelukan Mas Elman. Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu, romantis. "Lihat apa yang papa bawa!" Mas Elman mengangkat plastik putih yang dia bawa."Bawa apalagi sih, Mas? Tad
Pov Elman "Nira! Dengar Nira! Aku hamil anak Elman!" teriak Dita dari balik pintu. Membuat Aku dan Nira saling pandang. "Mas?" lirih Nira. Tatapan matanya menuntut penjelasan dariku. "Itu nggak bener, Ra. Itu fitnah, kamu tahu sendiri dari dulu Dita terobsesi padaku." Aku berusaha meraih tangan Nira, tapi buru-buru ditepisnya. "Dita pernah tinggal di luar negeri, kamu tahu sendiri kehidupan di sana seperti apa. Dita penganut faham free se*, dia bisa melakukan dengan siapa saja tanpa ikatan, bahkan tanpa cinta. Bisa saja anak yang dikandungnya itu bukan anakku." Sebisanya aku mencoba berkilah, jujur aku tak mau kehilangan Nira. "Apapun itu, harusnya kamu bersikap jantan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Mas. Bukan sibuk menghindar mencari alasan pembenaran." Bulir bening yang tadinya mengembun itu, kini deras mengalir. Membuat aku semakin didera rasa bersalah. "Ra, dengarkan penjelasanku dulu." Nira menggeleng pelan. "Penjelasan apa lagi, Mas?" Nira terisak, tangisnya semakin m
Mbak Dita hamil anak Mas Elman? Bagaimana mungkin? Ah, aku lupa. Mereka pernah menjalin hubungan, dan sudah melakukan perbuatan terlarang. Mereka sendiri bahkan sudah mengakui. Lalu aku harus bagaimana? Melepaskan Mas Elman untuk Mbak Dita? Terus anakku gimana? Dia juga butuh ayahnya. Atau mku ijinkan saja Mas Elman menikahi Mbak Dita, tanpa harus berpisah? Tapi aku nggak mau berbagi suami. Membayangkan saja aku tidak sanggup, apalagi harus benar-benar terjadi? Ya Allah ... cobaan apalagi ini? Sepertinya setahun terakhir ini hidupku jungkir balik penuh dengan cobaan. Dari sulitnya merengkuh hati Mas Elman, kini badai kembali menghantam, kala hati Mas Elman berhasil kugenggam. Untuk pertama kalinya aku menyesal menerima pinangan Mas Elman. Semalaman aku tak bisa tidur, meski mata ini terpejam, tapi otak ini terus aktif berfikir. Mencari jawaban atas segala permasalahan yang menghampiri. Apa ini karma? Tapi aku pernah melakukan dosa apa? Belum sempat terjawab pertanyaanku, tiba-tiba
Sudah seminggu ini aku di rumah orang tuaku. Membantu ibu merawat bapak yang sakit-sakitan. Kesibukan membuatku sedikit melupakan kisruh rumah tangga ku, meski masih sering kepikiran. Terbiasa dimanja Mas Elman, membuatku terkadang merindukan sosok laki-laki itu. Kangen aroma tubuhnya, kangen belaiannya. Kenapa bisa begini? Apalagi tiap hari Mas Elman sering nelfon nanyain kabar, mengingatkan makan, nelpon kapan bisa jemput aku? Semua perhatiannya membuat rinduku makin menggebu. Apa aku masih mencintai Mas Elman? Mungkin, tapi aku harus segera menepis semua rasa itu, demi bisa move on. "Wes to, Ra. Kamu itu istirahat saja! Biar ibu yang jagain bapak. Ingat, kamu gitu lagi hamil, jaga kesehatan. Ada raga yang bergantung padamu," ucap Ibu mengingatkanku. Ibu hanya tahu aku hamil, tanpa tahu sebenarnya kandungan lemah. Ibu juga nggak tahu, kalau aku pernah dirawat di rumah sakit, karena pendarahan. Semuanya aku sembunyikan, agar tak jadi beban pikiran. "Nggak pa-pa Bu, tujuan Nira k