Sejak tahun aku hamil, Mas Elman jadi over protective. Kadar sayangnya naik berkali-kali lipat, aku rasa itu bukan perasaanku saja, Mas Elman memang makin sayang dan perhatian padaku. Tiap jam makan siang, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Memastikan aku sudah makan dan istirahat yang cukup. Kalau pun tak bisa, dia akan menelfon. Cerewet sekali suamiku itu. Apa aku jatuh cinta lagi padanya? Mungkin. Aku tipe wanita yang suka diperlakukan romantis, jadi aku mudah baper kalau Mas Elman bersikap manis begini. Salah nggak sih, kalau hatiku meleleh dengan perlakuan Mas Elman? "Papa pulang!" Suara ceria itu menyapa kami tiap dia datang. Zila yang sedang duduk di sampingku, langsung berlari menyongsong sang ayah. "Hore .... Papa pulang!" pekiknya girang, dan langsung melompat ke dalam pelukan Mas Elman. Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu, romantis. "Lihat apa yang papa bawa!" Mas Elman mengangkat plastik putih yang dia bawa."Bawa apalagi sih, Mas? Tad
Pov Elman "Nira! Dengar Nira! Aku hamil anak Elman!" teriak Dita dari balik pintu. Membuat Aku dan Nira saling pandang. "Mas?" lirih Nira. Tatapan matanya menuntut penjelasan dariku. "Itu nggak bener, Ra. Itu fitnah, kamu tahu sendiri dari dulu Dita terobsesi padaku." Aku berusaha meraih tangan Nira, tapi buru-buru ditepisnya. "Dita pernah tinggal di luar negeri, kamu tahu sendiri kehidupan di sana seperti apa. Dita penganut faham free se*, dia bisa melakukan dengan siapa saja tanpa ikatan, bahkan tanpa cinta. Bisa saja anak yang dikandungnya itu bukan anakku." Sebisanya aku mencoba berkilah, jujur aku tak mau kehilangan Nira. "Apapun itu, harusnya kamu bersikap jantan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Mas. Bukan sibuk menghindar mencari alasan pembenaran." Bulir bening yang tadinya mengembun itu, kini deras mengalir. Membuat aku semakin didera rasa bersalah. "Ra, dengarkan penjelasanku dulu." Nira menggeleng pelan. "Penjelasan apa lagi, Mas?" Nira terisak, tangisnya semakin m
Mbak Dita hamil anak Mas Elman? Bagaimana mungkin? Ah, aku lupa. Mereka pernah menjalin hubungan, dan sudah melakukan perbuatan terlarang. Mereka sendiri bahkan sudah mengakui. Lalu aku harus bagaimana? Melepaskan Mas Elman untuk Mbak Dita? Terus anakku gimana? Dia juga butuh ayahnya. Atau mku ijinkan saja Mas Elman menikahi Mbak Dita, tanpa harus berpisah? Tapi aku nggak mau berbagi suami. Membayangkan saja aku tidak sanggup, apalagi harus benar-benar terjadi? Ya Allah ... cobaan apalagi ini? Sepertinya setahun terakhir ini hidupku jungkir balik penuh dengan cobaan. Dari sulitnya merengkuh hati Mas Elman, kini badai kembali menghantam, kala hati Mas Elman berhasil kugenggam. Untuk pertama kalinya aku menyesal menerima pinangan Mas Elman. Semalaman aku tak bisa tidur, meski mata ini terpejam, tapi otak ini terus aktif berfikir. Mencari jawaban atas segala permasalahan yang menghampiri. Apa ini karma? Tapi aku pernah melakukan dosa apa? Belum sempat terjawab pertanyaanku, tiba-tiba
Sudah seminggu ini aku di rumah orang tuaku. Membantu ibu merawat bapak yang sakit-sakitan. Kesibukan membuatku sedikit melupakan kisruh rumah tangga ku, meski masih sering kepikiran. Terbiasa dimanja Mas Elman, membuatku terkadang merindukan sosok laki-laki itu. Kangen aroma tubuhnya, kangen belaiannya. Kenapa bisa begini? Apalagi tiap hari Mas Elman sering nelfon nanyain kabar, mengingatkan makan, nelpon kapan bisa jemput aku? Semua perhatiannya membuat rinduku makin menggebu. Apa aku masih mencintai Mas Elman? Mungkin, tapi aku harus segera menepis semua rasa itu, demi bisa move on. "Wes to, Ra. Kamu itu istirahat saja! Biar ibu yang jagain bapak. Ingat, kamu gitu lagi hamil, jaga kesehatan. Ada raga yang bergantung padamu," ucap Ibu mengingatkanku. Ibu hanya tahu aku hamil, tanpa tahu sebenarnya kandungan lemah. Ibu juga nggak tahu, kalau aku pernah dirawat di rumah sakit, karena pendarahan. Semuanya aku sembunyikan, agar tak jadi beban pikiran. "Nggak pa-pa Bu, tujuan Nira k
Pov Elman"Aku masih mau di sini, Mas." Nira masih menolak aku jemput, padahal dia sudah seminggu di rumah orang tuanya. Aku jadi mikir, apa sebenarnya Nira memang tak ingin kembali bersamaku. Merawat bapak hanya alasannya saja, agar bisa pergi dari sisiku. "Ya sudah, kalau kamu masih betah di sana. Tapi jangan terlalu lama ya? Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Jangan lupa jaga kesehatan, aku titip anak kita," pungkasku mengakhiri panggilan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin rasanya memaksa Nira pulang, tapi kalau itu kulakukan dia bisa benar-benar pergi dariku. Semua ini gara-gara Dita, kalau saja bukan perempuan, sudah kuhajar sampai babak belur dia. "Pak Elman, ini ada masalah di proyek yang dipegang PT Inti Besi." Edwin datang menyodorkan lembaran laporan di meja kerjaku. Aku menerima laporan itu, membacanya dengan seksama. Sementara Edwin masih berdiri menunggu tanggapanku.Aku hanya bisa menghela nafas, Pak Susilo tidak menepati janji. Dia mulai tidak mengindah
"Sayang, kenapa bisa begini?" Jantungku tiba-tiba berdegup kencang demi melihat siapa yang datang. Mas Elman, sudah seharusnya dia datang menjenguk istrinya yang tengah tergolek di ranjang rumah sakit. Masalahnya sekarang tengah ada dr. Bagus juga, yang sedang menjenguk ku. Beberapa waktu yang lalu Mas Elman pernah terang-terangan mengutarakan rasa tidak sukanya terhadap teman SMA ku ini, dia juga secara terbuka menunjukkan rasa cemburunya. Kalau sekarang dr. Bagus sedang di sini, dengan posisi duduk samping ranjang jelas bukan situasi yang menyenangkan. Aku khawatir terjadi baku hantam, meski keduanya bukan tipe pria bar-bar, tapi rasa cemburu bisa membuat mereka tidak bisa berfikir jernih. Mas Elman memeluk kepalaku, mencium puncaknya berkali-kali. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai jatuh? Kenapa tidak hati-hati?" cerca Mas Elman, dengan posisi masih memelukku. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi sebaiknya biarkan Nira istirahat dan merasa tenang. Jangan ditany
Reaksi ibu benar-benar di luar ekspektasiku, nggak nyangka ibu bakal mendukung perceraianku. "Bu, dengar dulu penjelasan saya," melas Mas Elman. "Penjelasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kamu sedang khilaf, iya? Kamu sedang tidak sadar, kamu dijebak, begitu? Saya tidak butuh alasan basi! Sekarang juga kamu ceraikan Nira, atau Nira yang akan menggugat kamu!" tegas Ibu. Membuatku tersenyum penuh kemenangan, ibu dilawan. "Saya tidak pernah menghianati Nira, Bu. Di hati saya hanya ada dia. Saya melakukan semua ini hanya untuk balas dendam, bukan karena saya membagi hati. Percaya saya Bu, saya berani sumpah demi apapun," ucap Mas Elman berusaha meyakinkan ibu. Entah berapa kali Mas Elman mengatakan bahwa cintanya hanya padaku, tapi entah mengapa aku tidak merasa bahagia. Padahal dulu aku berusaha merengkuh hatinya untuk mendapat cintanya, tapi kenapa sekarang jadi beda? "Kamu pikir saya akan percaya begitu saja dengan omongan kamu, hah! Pakai sumpah-sumpah segala, kamu lihat itu ang
Aku hanya bisa menatap punggung itu hingga menghilang di balik pintu, ada perasaan lega, akhirnya keputusanku bercerai didukung ibu. Orang yang aku khawatirkan bakal menentang keras perceraianku. Tapi entah mengapa masih ada rasa nyesek di dada? Apakah rasa cintaku terlalu besar, hingga mengalahkan rasa sakit yang dia torehkan? Sebelumnya aku sempat memaafkan dia, menerimanya kembali dan mencoba melupakan penghianatannya. Hingga Mbak Dita datang membawa pengakuan, bahwa di rahimnya ada benih Mas Elman. Aku berfikir lebih baik mundur, mengalah untuk Mbak Dita, daripada dihantui perselingkuhan mereka. Tapi kenapa sekarang hatiku terasa ada yang meremas-remas? 'Gusti, tolong beri aku kekuatan dan kesabaran untuk menjalani takdir ini' doaku dalam hati. "Nduk! Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya ibu dengan wajah khawatir. Pelan kuusap bulir bening di sudut mata ini. Meski keputusanku untuk bercerai sudah bulat, toh rasa sakit tetap kurasakan. "Iya, Bu. Sedikit nyeri dibagian perut bawa