Tanpa terasa sudah satu minggu Mahesa dan Ayrani menghabiskan waktunya di Bali, akhirnya pasangan itu memilih untuk pulang. Selama di sini Ayrani tidak banyak pergi keluar, ia setiap hari mual dan muntah parah. Sehingga Mahesa lebih memilih berdiam diri di kamar menemani wanita itu. Begitu pula dengan Zaki dan Izza yang lebih memilih menghabiskan waktu bersama keponakannya."Aku mau beli jus lemon, Mas," celetuk Ayrani saat melihat penjual jus dipinggir jalan."Biar Bibi yang jalan ke sana, Nduk. Kamu tunggu saja di mobil.""Nggak usah, Bi. Ayrani mau beli sendiri, lagian itu nggak antri kok.""Mau aku temani?" tawar Mahesa.Ayrani menggelengkan kepala. "Nggak usah, Mas. Nggak tahu kenapa aku pengen saja beli sendiri," sahutnya."Ya sudah, hati-hati kalau begitu, Dek."Ayrani kembali mengangguk, selanjutnya ia lantas keluar dari mobil dan berjalan menuju penjual jus buah. Entah kenapa lidahnya terasa pahit, sehingga ia ingin sekali makan dan minum sesuatu yang asam.Saat tengah asyik
"Kay." Aaraf menarik tangan Kayshilla sehingga membuat langkah wanita itu terhenti. "Dengarkan aku dulu," ucapnya lagi."Semua keluarganya meninggal, dan mertuanya tidak mau menampung Ayrani. Aku tidak tega melihatnya dengan keadaan seperti itu, Kay. Dia akan tinggal di ndalem seperti sebelum menikah dulu."Hening! Kayshilla masih tidak bergeming."Ini bukan keputusan sepihak, Kay. Saat mengurus jenazah Paman Zaki dan Bibi Izza, aku dan Abah yang membuat keputusan ini."Kayshilla membalikkan tubuhnya. "Abah ikut dalam keputusan ini?" tanyanya.Aaraf mengangguk dengan tatapan serius."Aku kira ... kamu akan menikahi Ayrani," ucap Kayshilla lirih."Aku nggak pernah berpikiran seperti itu, Kay. Aku dan Abah hanya kasihan, dia nggak punya siapa-siapa di sini."Kayshilla tampak menimbang-nimbang, sebenarnya ada rasa iba pada Ayrani. Namun, ia khawatir suaminya semakin sulit melupakan wanita itu. "Kalau kamu berpikir aku akan melanggar janjiku, aku akan bicara agar Abah menempatkannya di s
Ayrani langsung dilarikan ke rumah sakit malam ini juga, ia didampingi semua keluarga Abah yang mencemaskannya. Tampak dari air mata semua orang yang tidak mau berhenti mengalir sedari tadi.Wanita itu langsung dibawa menuju ruang operasi dikarenakan kondisinya yang sudah memperihatinkan. Satu jam berselang, seorang Dokter perempuan paruh baya keluar dan langsung membuka masker menampakkan wajah berwibawanya."Dokter!" Umik langsung bangkit dan menghampiri sang Dokter. "Bagaimana kondisi putri dan cucu kami, Dok?" tanyanya lagi dengan suara parau."Syukurlah bayinya selamat, Bu. Jenis kelaminnya laki-laki, lahir lengkap tanpa kurang satupun, dan pastinya sangat tampan. Namun, dikarenakan kondisinya yang prematur, jadi beratnya hanya dua kilogram, dan kami akan membawanya ke ruang NICU setelah ini agar mendapat perawatan sampai pulih," jelas Dokter panjang lebar yang langsung disahuti ucapan syukur dari semua orang."Lalu, bagaimana kondisi Ibunya, Dok?"Senyuman yang sedari tadi mengh
Lima bulan berlalu, perut Kayshilla semakin membesar. Wanita itu merasakan seluruh badannya mudah lelah bahkan suasana hatinya sering berantakan. Ia menjadi malas pergi ke mana-mana lantaran merasa berat membawa perut, alhasil Aaraf mengurus cuti istrinya di kampus untuk masa enam bulan.Namun, entah kenapa hari ini Kayshilla ingin sekali mengunjungi pusat perbelanjaan bersama Adele. Ia tiba-tiba merindukan sahabatnya, sehingga tanpa membuang waktu ia langsung menelpon Adele dan memintanya datang ke sini."Halo, Kay?" sapa Adele di seberang telepon."Kamu lagi apa, Del? Sibuk nggak?""Nggak, sih. Aku 'kan jarang ada pekerjaan kalau di rumah, lagian Papa juga nggak nyuruh ke Perusahan.""Nganggur, dong?" tanyanya dengan nada girang."Iya," jawab Adele sekenanya."Ke sini saja, Del. Aku tiba-tiba ngidam ke mall sama kamu."Hening! Hanya terdengar helaan napas dari seberang telepon. Entah apa yang saat ini dipikirkan oleh Adele, mungkin ia juga bingung dengan sikap sahabatnya yang tiba-ti
Di sisi lain, Aaraf langsung bangkit dari kursi kebesarannya saat mendengar suara panik Kayshilla di seberang telepon, ia langsung mematikan sambungan telepon itu dan melihat istrinya baru saja menyalakan sambungan GPS.Tanpa membuang-buang waktu, ia langsung berlari keluar ruangannya menuju ruangan Danang. Pria berusia 26 tahun yang masih sibuk berkemas itu tak ayal terkejut melihat Aaraf membuka pintu ruang kerjanya dengan kasar."Kayshilla diculik, Nang. Tolong bantu aku mengejarnya."Danang semakin terkejut mendengar ucapan Aaraf, tetapi sejurus kemudian ia langsung menganggukkan kepala dan lekas keluar ruangan mengikuti Aaraf.Keduanya menaiki mobil Aaraf dengan Danang sebagai kemudi, ia tidak mengizinkan Aaraf menyetir lantaran takut sahabatnya hilang kendali dan malah membahayakan pengendara lain.Danang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mobil berwarna putih itu membelah jalanan raya yang tampak lenggang tanpa hambatan apapun.Sedangkan Aaraf, ia langsung menghubungi A
"Cepat pergi, Gus! Kenapa diam saja?!" sentak Danang yang merasa geram dengan Aaraf."Nang—""Di luar ada polisi, biar mereka yang membawa kalian!"Aaraf menggelengkan kepala. "Kayshilla pendarahan, Nang!"Danang terhenyak untuk beberapa detik, tetapi sejurus kemudian ia bisa kembali berpikir jernih. Mungkin karena Danang melihat Kayshilla sebagai temannya, jadi ia tidak terlalu mengedepankan perasaan. Tidak seperti Aaraf yang berperang dengan hatinya yang terus mengkhawatirkan sang istri."Sudah tahu begitu kenapa nggak cepat di bawa turun, Gus!" Danang memekik emosi.Tepat saat ia menghentikan ucapannya, polisi masuk ke dalam kamar bersama Adele. Saat itu juga Danang langsung menunjuk ke arah ranjang seakan meminta polisi membantu Aaraf membawa tubuh Kayshilla.Adele yang melihat sahabatnya terkulai tak berdaya langsung menangis histeris, apalagi saat ia ikut mendekat dan melihat darah segar masih mengalir di sela-sela kaki jenjang Kayshilla.Aaraf dan satu polisi membopong tubuh Ka
Aaraf berdiri termenung melihat ke dalam ruang ICU, di wajahnya terdapat jejak air mata yang belum mengering. Tatapan nanar itu menghunus lurus pada tubuh istrinya yang terpasang banyak alat medis.Beberapa jam lalu Dokter menyatakan Kayshilla koma, ia harus dipisahkan dengan bayinya sampai masa waktu yang tidak dapat dipastikan. "Le?" Suara Abah terdengar dan membuyarkan lamunan, pria itu kemudian menolehkan pandangannya. Tubuh lemahnya berbalik dan lantas beradu pandang dengan pria paruh baya itu, sepersekian detik kemudian bola matanya membelalak lebar. Bukan karena melihat Abahnya, melainkan kedua mertuanya kini berdiri di hadapannya dengan senyum kepahitan."Abah!" Aaraf langsung menjatuhkan diri di bawah kaki Abah Mahrus, ia tergugu sembari bibirnya terus menggumamkan kata maaf."Berdiri, Le. Abah tidak suka kamu seperti ini," ucap Abah Mahrus seraya menarik lengan menantunya untuk bangkit."Saya minta maaf, Bah. Saya gagal menjaga Kayshilla.""Kami tidak menyalahkan mu, Le. I
"Umik, Adele mau ketemu sama Kayshilla, boleh?" tanya wanita itu kepada Umik Salma."Boleh, Nduk. Mau diantar atau sendiri saja?""Sendiri saja, Mik."Umik Salma mengangguk, ia bangkit dari duduknya dan mengantar Adele sampai pintu ruang ICU. Setelahnya wanita itu masuk sendirian menemui Kayshilla yang masih berbaring di ranjang pesakitan."Kay, kamu nggak mau bangun? Aku besok mau pulang ke Jember, loh. Kamu nggak mau peluk aku?" tanya Adele seraya mendudukkan dirinya di kursi."Papa besok jemput aku, Kay. Beliau bilang sekalian menjenguk kamu. Huh ... banyak yang sayang dan ingin melihat kamu, tapi kenapa kamu nggak mau membuka mata?"Adele meletakkan kepalanya di sisi punggung tangan sahabatnya, ia melihat dengan jelas selang infus menempel di sana. Tanpa terasa air matanya kembali menitik, sungguh! Ia tidak sanggup melihat Kayshilla sengsara seperti ini."Aku kira, setelah mendengar kabar kamu hamil, rumah tanggamu sudah baik-baik saja. Aku kira setelah itu kalian akan bahagia dan