Lima bulan berlalu, perut Kayshilla semakin membesar. Wanita itu merasakan seluruh badannya mudah lelah bahkan suasana hatinya sering berantakan. Ia menjadi malas pergi ke mana-mana lantaran merasa berat membawa perut, alhasil Aaraf mengurus cuti istrinya di kampus untuk masa enam bulan.Namun, entah kenapa hari ini Kayshilla ingin sekali mengunjungi pusat perbelanjaan bersama Adele. Ia tiba-tiba merindukan sahabatnya, sehingga tanpa membuang waktu ia langsung menelpon Adele dan memintanya datang ke sini."Halo, Kay?" sapa Adele di seberang telepon."Kamu lagi apa, Del? Sibuk nggak?""Nggak, sih. Aku 'kan jarang ada pekerjaan kalau di rumah, lagian Papa juga nggak nyuruh ke Perusahan.""Nganggur, dong?" tanyanya dengan nada girang."Iya," jawab Adele sekenanya."Ke sini saja, Del. Aku tiba-tiba ngidam ke mall sama kamu."Hening! Hanya terdengar helaan napas dari seberang telepon. Entah apa yang saat ini dipikirkan oleh Adele, mungkin ia juga bingung dengan sikap sahabatnya yang tiba-ti
Di sisi lain, Aaraf langsung bangkit dari kursi kebesarannya saat mendengar suara panik Kayshilla di seberang telepon, ia langsung mematikan sambungan telepon itu dan melihat istrinya baru saja menyalakan sambungan GPS.Tanpa membuang-buang waktu, ia langsung berlari keluar ruangannya menuju ruangan Danang. Pria berusia 26 tahun yang masih sibuk berkemas itu tak ayal terkejut melihat Aaraf membuka pintu ruang kerjanya dengan kasar."Kayshilla diculik, Nang. Tolong bantu aku mengejarnya."Danang semakin terkejut mendengar ucapan Aaraf, tetapi sejurus kemudian ia langsung menganggukkan kepala dan lekas keluar ruangan mengikuti Aaraf.Keduanya menaiki mobil Aaraf dengan Danang sebagai kemudi, ia tidak mengizinkan Aaraf menyetir lantaran takut sahabatnya hilang kendali dan malah membahayakan pengendara lain.Danang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mobil berwarna putih itu membelah jalanan raya yang tampak lenggang tanpa hambatan apapun.Sedangkan Aaraf, ia langsung menghubungi A
"Cepat pergi, Gus! Kenapa diam saja?!" sentak Danang yang merasa geram dengan Aaraf."Nang—""Di luar ada polisi, biar mereka yang membawa kalian!"Aaraf menggelengkan kepala. "Kayshilla pendarahan, Nang!"Danang terhenyak untuk beberapa detik, tetapi sejurus kemudian ia bisa kembali berpikir jernih. Mungkin karena Danang melihat Kayshilla sebagai temannya, jadi ia tidak terlalu mengedepankan perasaan. Tidak seperti Aaraf yang berperang dengan hatinya yang terus mengkhawatirkan sang istri."Sudah tahu begitu kenapa nggak cepat di bawa turun, Gus!" Danang memekik emosi.Tepat saat ia menghentikan ucapannya, polisi masuk ke dalam kamar bersama Adele. Saat itu juga Danang langsung menunjuk ke arah ranjang seakan meminta polisi membantu Aaraf membawa tubuh Kayshilla.Adele yang melihat sahabatnya terkulai tak berdaya langsung menangis histeris, apalagi saat ia ikut mendekat dan melihat darah segar masih mengalir di sela-sela kaki jenjang Kayshilla.Aaraf dan satu polisi membopong tubuh Ka
Aaraf berdiri termenung melihat ke dalam ruang ICU, di wajahnya terdapat jejak air mata yang belum mengering. Tatapan nanar itu menghunus lurus pada tubuh istrinya yang terpasang banyak alat medis.Beberapa jam lalu Dokter menyatakan Kayshilla koma, ia harus dipisahkan dengan bayinya sampai masa waktu yang tidak dapat dipastikan. "Le?" Suara Abah terdengar dan membuyarkan lamunan, pria itu kemudian menolehkan pandangannya. Tubuh lemahnya berbalik dan lantas beradu pandang dengan pria paruh baya itu, sepersekian detik kemudian bola matanya membelalak lebar. Bukan karena melihat Abahnya, melainkan kedua mertuanya kini berdiri di hadapannya dengan senyum kepahitan."Abah!" Aaraf langsung menjatuhkan diri di bawah kaki Abah Mahrus, ia tergugu sembari bibirnya terus menggumamkan kata maaf."Berdiri, Le. Abah tidak suka kamu seperti ini," ucap Abah Mahrus seraya menarik lengan menantunya untuk bangkit."Saya minta maaf, Bah. Saya gagal menjaga Kayshilla.""Kami tidak menyalahkan mu, Le. I
"Umik, Adele mau ketemu sama Kayshilla, boleh?" tanya wanita itu kepada Umik Salma."Boleh, Nduk. Mau diantar atau sendiri saja?""Sendiri saja, Mik."Umik Salma mengangguk, ia bangkit dari duduknya dan mengantar Adele sampai pintu ruang ICU. Setelahnya wanita itu masuk sendirian menemui Kayshilla yang masih berbaring di ranjang pesakitan."Kay, kamu nggak mau bangun? Aku besok mau pulang ke Jember, loh. Kamu nggak mau peluk aku?" tanya Adele seraya mendudukkan dirinya di kursi."Papa besok jemput aku, Kay. Beliau bilang sekalian menjenguk kamu. Huh ... banyak yang sayang dan ingin melihat kamu, tapi kenapa kamu nggak mau membuka mata?"Adele meletakkan kepalanya di sisi punggung tangan sahabatnya, ia melihat dengan jelas selang infus menempel di sana. Tanpa terasa air matanya kembali menitik, sungguh! Ia tidak sanggup melihat Kayshilla sengsara seperti ini."Aku kira, setelah mendengar kabar kamu hamil, rumah tanggamu sudah baik-baik saja. Aku kira setelah itu kalian akan bahagia dan
Hari terus berganti, tetapi kondisi Kayshilla masih belum menunjukkan perubahan. Tubuh wanita itu bisa bertahan hidup dengan ditempeli banyak alat medis yang juga menyiksanya. Setiap hari Aaraf membawa putrinya mendekat kepada Kayshilla, berharap bayi itu bisa memanggil Umiknya untuk sadar. Bayi perempuan yang berusia dua minggu itu sudah stabil setelah keluar dari NICU dan dirawat jalan di rumah oleh beberapa tenaga medis yang tiga hari sekali akan datang ke Pondok.Satu bulan berlalu...Kayshilla masih berteman dengan alat-alat medis yang seakan enggan dilepas dari tubuhnya, setiap hari orang-orang bergantian menjenguk, tetapi wanita itu tetap tidak mau membuka matanya. Begitu pula saat hari ini Adele kembali datang, ia sendirian melainkan bersama Rafael."Assalamualaikum, Kay," sapa Adele saat baru saja duduk di kursi samping ranjang Kayshilla."Aku datang lagi, tapi kamu tetap nggak mau membuka mata. Apa kamu nggak lelah? Sudah enam minggu kamu seperti ini, kamu nggak kangen sama
"Ada apa, Aaraf?" tanya Umik yang baru saja kembali dari kantin.Aaraf tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan sendunya yang tidak beralih dari pintu runga ICU. Di pangkuannya Baby juga masih diam, tidak bergerak sedikit pun.Umik yang melihatnya turut mengalihkan pandangan ke pintu ruang ICU, ia langsung tahu kalau tim medis tengah memeriksa menantunya di dalam sana."Kayshilla sedang diperiksa oleh Dokter?" Umik kembali bertanya.Aaraf mengangguk. "Kayshilla tadi kejang-kejang, Mik," sahutnya dengan suara lirih.Umik langsung menunduk, ia bingung hendak menjawab apa. Tidak mungkin dirinya meminta sabar, sedangkan ia tahu sendiri putranya selama ini sudah bersabar dalam menunggu.Umik Salma menjadi saksi bagaimana putranya terlunta-lunta selama enam bulan ini. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak. Berat badannya pun juga menurun drastis. Aaraf tidak pergi ke perusahaan dan hanya mengawasi Danang dari kejauhan, ia merasa tidak sanggup untuk memikirkan hal lain se
Satu minggu telah berlalu, hari ini Kayshilla sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Wanita itu tentu saja senang. Setelah hampir dua bulan ia di rumah sakit, akhirnya bisa lepas dari ranjang pesakitan."Jangan lupa untuk kontrol satu bulan sekali, Pak," ujar Dokter kepada Aaraf."Baik, Dok. Saya dan istri akan datang ke sini setiap satu bulan."Dokter perempuan itu mengangguk. "Baiklah kalau begitu, saya rasa semuanya sudah selesai dan Ibu Kayshilla sudah boleh pulang. Untuk vitamin dan obat-obatan bisa Anda ambil di apotek.""Terima kasih banyak, Dok. Kalau begitu saya permisi keluar dulu.""Silakan, Pak."Aaraf mengangguk dan lantas bangkit dari duduknya, pria itu keluar dari ruang Dokter dengan langkah semangat karena senang istirnya sudah diperbolehkan pulang. Ia juga tidak lupa mengambil obat, selanjutnya kembali melangkah menuju ruang rawat Kayshilla untuk menjemput wanita itu."Sudah siap?""Iya, Mas. Aku sudah kangen rumah," sahut Kayshilla dengan riang."Ayo aku bantu turun