"Mau langsung pulang? Atau mampir ke mana dulu?""Pulang ke hotel saja, Mas. Aku capek," jawabku dengan suara yang sangat lirih.Mas Mahesa lantas mengangguk, ia mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sementara aku fokus memandang jalanan luar, menatap pada deretan daun yang menghiasi pinggir jalan raya. Aku meraup banyak udara guna memenuhi rongga dada, tetapi tetap saja rasanya sesak."Bagaimana pertemuan kalian tadi?"Aku sontak menoleh kepada Mas Mahesa yang masih fokus kepada kemudinya."Kami sudah menyelesaikan semuanya, Mas. Kami sudah sama-sama ikhlas dan nggak ada yang menahan untuk melepaskan. Kami sama-sama sadar diri, mau bagaimanapun takdir Tuhan adalah yang terbaik.""Kamu sedih?" tanya Mas Mahesa yang aku sendiri juga tidak tahu jawabannya.Mau bilang sedih, takut ia akan sakit hati. Mau bilang tidak, itu sama saja membohongi perasaanku. Hingga selama sepuluh menit lamanya aku masih terdiam. Mas Mahesa juga tidak membuka suaranya, mungkin ia mau memberiku waktu."M
Aku membelokkan mobil ke dalam gerbang pondok dengan malas, bahkan saat sudah menghentikan laju mobil, kakiku masih enggan turun. Aku masih terduduk di dalam mobil dengan punggung bersandar dan kelopak mata terpejam.'Njenengan harus bisa melupakan aku, Gus!' kata-kata itu terus saja terngiang.Tangan terkepal erat memukul stir mobil dengan pelan. Ia tidak tahu kalau selama beberapa bulan ini aku mati-matian berusaha melupakannya, saat itu juga bayangannya semakin nyata di pelupuk mataku.Aku tidak berdaya, terbelenggu dalam keputusan sakral Abah dan Umik hingga bersatu dengan wanita yang tidak aku cintai. Bukan namanya yang aku sebut di setiap sepertiga malam, tetapi nama wanita lain, wanita yang selama lima tahun ini mengisi hari-hariku.Ingatanku melayang pada beberapa bulan lalu, saat perusahaan mendapat profit banyak dan hendak meminang kekasihku. Ingatan kelam yang sampai kini masih membuatku belum bisa melupakan Ayrani.***Flashback on."Abah sudah melamar Ning Kayshilla, putri
"Maaf, Ay," ucapku saat melihat wanita yang kucintai ini hanya bisa menangis di depanku.Malam ini disaksikan ribuan bintang dan angin malam yang menusuk kulit, aku akhirnya menjelaskan tentang apa yang terjadi. Suara hewan malam bersahutan dengan isak tangis yang terus keluar dari bibir Ayrani. Dua puluh menit sudah kami di sini dan sepuluh menit lamanya hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan. Hatiku semakin memanas saat tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa melihat gadis cantik itu tergugu pilu dengan punggung tangannya sesekali menyeka air mata."Maaf, Ay." "Bukan salah njenengan, Gus." Aku menoleh saat Ayrani membuka suaranyaSungguh! Ini sangat menyentil egoku. Selama lima tahun ini kami merawat cinta, tetapi tidak bisa memetik hasilnya. "Aku tahu ini di luar kemampuan njenengan, aku nggak marah. Hanya ... kaget. Maaf kalau aku nggak dewasa, Gus."Aku menggelengkan kepala dan tidak mampu menjawab. Kami terdiam cukup lama di atas bukit ini, bukit yang sama saat aku menyat
Setiap malam kami masih tidur terpisah, tetapi aku sering kali melihat wajah Kayshilla di saat ia terlelap. Ada guratan bersalah saat menatapnya semakin lama. Namun, aku masih belum yakin perasaanku bisa damai saat menyentuhnya.Sampai saat kehadiran pria lain membuatku belajar meluangkan waktu untuk Kayshilla. Ia wanita tangguh yang mempunyai sifat sabar, sifat itu lah yang membungkus lukanya dalam pernikahan ini. Aku semakin tahu bahwa Kayshilla memiliki kecantikan yang lebih unggul dari wanita lain. Namun, bukan itu, melainkan aku sadar bahwa garis wajahnya begitu mirip denganku.Tujuh hari berturut-turut, selama itu pula aku melakukan salat istikharah. Hasilnya tetep sama, wajah Kayshilla yang muncul dalam mimpiku.Apakah itu tandanya aku harus mencintai Kayshilla?"Jadi laki-laki itu harus logis dan realistis, Gus," ucap Danang, pria berusia 28 tahun yang menjadi rekanku dalam berbisnis."Apa maksudnya?" tanyaku.Danang mendudukkan dirinya di kursi empuk seberangku, kami hanya di
Nouryt Cafe | Siang hari."Ada sesuatu yang mau aku bicarakan, Kang," ucapku kepada sosok pria yang tengah duduk di hadapanku ini."Silakan, Gus." Mahesa menundukkan kepalanya.Yeah! Pria itu adalah Mahesa, calon suami Ayrani dan keduanya akan menikah lima bulan lagi. Aku sengaja memintanya datang ke kafe siang ini lantaran ada sesuatu hal. Aku juga sengaja memilih kafe yang agak jauh dari pondok agar tidak ada yang tahu pertemuan kami."Kamu mencintai Ayrani?" tanyaku langsung.Meskipun hubungan kami sudah selesai, tetapi tetap saja ada perasaan mengganjal. Aku merasa perlu memastikan bahwa Mahesa benar-benar tulus kepada Ayrani."Saya mencintainya, Gus. Dari enam tahun lalu, tepatnya saat pertama kali Ayrani masuk ke Pesantren, saya sudah menyimpan perasaan untuknya."Deg!Aku tertegun mendengar penuturannya."Kenapa nggak bilang dari dulu?" Aku sedikit mencondongkan tubuh kepada Mahesa.Mahesa menggelengkan kepala, "saya merasa belum cukup ilmu dan modal, Gus. Karena niat saya mema
"Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Umik dengan panik.Dokter Indri lantas mengulas senyum melihat Umik yang berdiri di tengah pintu. "Tekanan darahnya rendah, Mik. Ning Kayshilla juga mengalami radang pencernaan. Apa sempat salah makan?"Umik berjalan dan mendudukkan diri di tepi ranjang menantunya. "Pola makannya nggak teratur kemarin, Dok. Apa perlu di bawa ke rumah sakit?" Gurat wajah paruh baya itu begitu khawatir."Tidak perlu, Mik. Saya juga sudah meresepkan obat, bisa ditebus nanti di apotek. Kalau bisa tetap dipaksa makan, meskipun hanya sedikit yang masuk. Kalau tidak ada perubahan selama tiga hari, lebih baik Ning Kayshilla di bawa ke rumah sakit, ya, Mik.""Syukurlah." Wanita paruh baya itu menghela napas lega, ia lantas melihat kepada Kayshilla yang masih memejamkan kelopak matanya, tangan halus itu membelai lembut kepala menantunya."Saya sudah menyuntikkan obat, Mik. Jadi minum obatnya mulai nanti malam saja tidak papa, sebaiknya sekarang biarkan Ning Kayshilla
Pagi ini Kayshilla sudah berkutat di dapur pondok dengan Naya, wanita yang menjadi temannya selama enam tahun ini. Keduanya tengah fokus mempersiapkan sarapan, sehingga tidak sadar saat ada orang yang masuk ke dalam dapur."Mbak Naya, tolong buatkan aku smoothies alpukat.""Mau pakai es, Gus?"Aaraf menggeleng, "nggak usah. Nanti kalau sudah tolong taruh di meja makan saja, saya ambil sendiri." "Baik, Gus."Aaraf melenggang pergi setelah mengatakan demikian, sekuat mungkin pria itu menahan ujung netranya agar tidak melirik Ayrani. Begitu juga Ayrani yang memilih fokus memotong daging, ia tidak ingin menyakiti hatinya dengan melihat kepada Aaraf.Selama tiga bulan ini Ayrani menghindari Aaraf jika ia sedang di ndalem, walaupun selama itu juga hatinya tersiksa. "Tumben, ya, Mbk, Gusnya minta smoothies.""Mungkin lagi pengen, Mbak Naya."Naya menggelengkan kepala, "jangan-jangan buat Ning Kay. Katanya Ning Kay lagi sakit, kemarin sampai di panggilin Dokter.""Sakit apa?" tanya Kayshill
Devano langsung berpamitan setelahnya, pria yang sempat tertarik dengan Kayshilla itu langsung mengubur dalam-dalam perasaannya. Rasa suka yang hadir saat pertama kali Devano melihat mahasiswinya tersebut, sekarang harus ia buang jauh. Menurutnya Kayshilla sangat anggun, sehingga ia jatuh cinta pada pandangan pertama.Namun, sebelum ia sempat mengungkapkan perasaannya, semua itu terpaksa dipendam. Devano tidak mungkin menjadi perusak rumah tangga orang lain, meksipun ia begitu menginginkan Kayshilla — mahasiswi yang sudah merenggut seluruh perhatiannya.Mobil mewah yang dikendarai Devano sudah melaju pergi melewati gerbang pondok pesantren, Aaraf hanya bisa tersenyum saat melihatnya. Pria itu kembali masuk dan mendapati istrinya baru saja keluar kamar.'Untung Devano sudah pulang,' batin Aaraf."Mas?""Kamu butuh sesuatu? Kenapa keluar sendiri? Kenapa nggak panggil aku?" Aaraf langsung mendekat, tetapi ia diam saja saat tiba di hadapan Kayshilla. Tidak ada pelukan, atau hanya sekadar