Septi sengaja berdehem membuat kami kaget. Septi muncul sepertinya baru selesai menyapu rumah. Septi memang tipe orang yang senang membersihkan rumah. Kalau kotor sedikit saja, ia sudah sibuk membersihkannya. Aku membayangkan kalau ia punya anak nanti, pasti akan cerewet dengan anak-anaknya. Sedangkan aku tipe orang yang senang memasak, entah masak sayur dan lauk, atau membuat snack.“Eh, Septi, ngagetin aja deh.” Aku memang benar-benar kaget."Apa yang perlu dibantu, nih?" tanya Septi sambil melihat ke sekeliling."Kamu mencuci beras untuk memasak ini saja.""Oke, Mbak.""Sep, kamu bisa memasak kan?" tanyaku."Bisa dong, Mbak. Walaupun tidak seenak Mbak Nova yang masak. Tapi setidaknya makananku tidak diprotes sama Ibu dan Pak Edi." Septi berkata sambil cengengesan."Kalau Pak Edi tidak bakal protes. Soalnya kalau diprotes, kamu nggak bakal mau masak lagi, haha," kataku sambil tertawa."Ih, Mbak Nova meledek saja nih. Tapi benar juga kata Mbak Nova. Mau protes nggak berani, hihi.” Se
Menjelang tidur malam, aku masih mengingat pembicaraanku dengan Bapak. Betapa Bapak begitu menyayangiku, mengingatkan aku supaya tidak salah jalan. Tapi aku juga penasaran dengan Romi. Apakah aku harus bertanya pada Bapak tentang Romi? Apa tanggapan Bapak kalau aku sampai menanyakan hal itu? Pasti Bapak akan menceramahi aku.Seandainya Bang Jo seperti Romi, masih muda, ganteng dan pasti juga perkasa di… eh aku kok jadi ngelantur. Ingat Nova, kamu itu sudah punya suami. Aku hanya menggelengkan kepala, menyadari kebodohan ku. Tiba-tiba bayangan Bang Jo melintas di pikiranku.“Kenapa geleng-geleng, Mbak?” Suara Septi mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya, aku pikir ia sudah tidur.“E..enggak apa-apa, Sep. Aku pikir kamu sudah tidur.”“Aku nggak bisa tidur, Mbak. Mungkin karena hatiku sedang bahagia, jadi seolah-olah mataku tidak mau terpejam sedikitpun ikut merasakan kebahagiaan hatiku.” Septi pun bangun dari tidurnya dan duduk di kasur.“Ih, sok puitis kamu.” Aku tertawa.“Mbak, apa yan
Aku, Septi dan Nayla sudah sampai di rumah. Barang bawaan sudah diturunkan dari mobil. Senang rasanya sudah kembali ke rumah. Malam ini Septi menginap di rumahku lagi. Besok pagi ia akan pulang ke dusun Ibu.Aku dan Septi mengantar oleh-oleh ke rumah Emak."Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam," jawab Emak."Apa kabar, Mak?" sapa Septi sambil menyalami Emak."Alhamdulillah, kabar baik. Ayo masuk, Sep." Emak mempersilahkan Septi dan aku masuk.Aku membawa beberapa bungkus oleh-oleh untuk Emak dan keluarga disini."Sudah pulang dari rumah Bapak, ya?" sapa Bapak mertuaku."Sudah, Pak."Septi dan aku duduk di sofa. Emak dan Bapak juga ikut duduk."Bapak, Emak, saya disini diutus Ibu dan Pak Edi untuk mengundang Emak dan Bapak. InsyaAllah bulan saya mau menikah." Septi membuka pembicaraan."Alhamdulillah, insya allah kami datang. Selamat ya? Semoga nanti acaranya lancar, tidak ada hambatan apapun." Bapak menjawab undangan Septi."Amin."“Jadi kemarin pergi ke dusun Ba
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku terbangun dan melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Aku jadi takut, jangan-jangan hanya pendengaranku saja, mana ada orang bertamu pada dini hari seperti ini. Apakah ini mimpi? Aku menatap ke arah Bang Jo, ia tampak tertidur pulas. Aku pun berusaha untuk memejamkan mata lagi. Terdengar lagi suara orang mengetuk pintu.Tok...Tok"Pak Johan!" Suara orang memanggil Bang Jo. Jantungku berdetak dengan kencang.Berarti memang benar ada yang mengetuk pintu dan memanggil Bang Jo. Aku pun membangunkan Bang Jo."Bang, ada yang memanggil," kataku pada Bang Jo. Bang Jo hanya menggeliat saja."Bang!" panggilku lagi."Ada apa sih?" tanya Bang Jo dengan kesal dan membuka mata."Ada yang mengetuk pintu.""Jam berapa sekarang?""Jam satu.""Jam satu pagi?""Ya iya lah, masa jam satu siang." ucapku."Aduh, siapa sih yang mengetuk pintu jam segini?" gerutu Bang Jo sambil beranjak dari tempat tidur.Aku mengikuti langkah kaki Bang Jo, kare
"Kata Deni, semenjak Mella sakit, Deni merasakan kalau Mella sudah tidak hot lagi. Tidak menggairahkan. Jadi Deni melakukan dengan Ani untuk memuaskan hasratnya."Aku kaget mendengar kata-kata Bang Jo, seketika aku menjadi sangat kesal."Memang laki-laki kebanyakan begitu ya Bang? Yang di rumah sudah tidak mampu memuaskannya kemudian mencari kepuasan diluar. Dasar laki-laki," kataku dengan kesal."Tapi Abang nggak seperti itu, Dek." Bang Jo membela diri."Ya iyalah, selama ini aku masih bisa memuaskan Abang. Tapi nanti kalau Abang sudah tidak merasa puas lagi, bagaimana?" Aku menjadi sewot sendiri."Adek kok kayak gitu sih. Kok jadi marah sama Abang? Bukan Abang yang melakukan itu. Lagipula Abang akan tetap melakukan hanya dengan Adek seorang."Aku tersipu malu, menyadari kesalahanku."Maaf, Bang, aku jadi emosi mendengar alasan Deni. Tapi memang benar, Bang. Seperti yang pernah aku baca, penderita diabetes itu gairah se*snya biasanya menurun. Tapi kan itu bukan alasan untuk mencari k
"Bang, dalam kehidupan itu kan tidak selalu mulus. Ada saatnya melewati jalan berkerikil. Disaat kehidupan kita sedang berada di jalan yang mulus, aku sangat bahagia. Tapi saat sedang banyak cobaan, aku merasa putus asa. Seperti waktu itu, ibunya Dewi datang." Aku berkata dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Bang Jo."Nggak usah diingat-ingat yang dulu. Itu kan Abang dalam kondisi tidak sadar. Abang berterima kasih padamu, kamu tetap bertahan dengan Abang. Kalau saat itu kamu benar-benar memilih berpisah, Abang nggak tahu apa yang akan terjadi.”"Iya, semoga kita selalu mampu melewati cobaan dalam kehidupan rumah tangga kita. Tujuan hidup kita sekarang adalah mendampingi anak-anak sampai mereka bisa hidup mandiri.”"Amin," kata Bang Jo mengamini ucapanku."Ibu," panggil Nayla dari dalam kamar, pasti Nayla sudah bangun.Aku pun masuk ke kamar untuk melihatnya."Ada apa, Nay?" tanyaku."Susu." Nay menjawab singkat padat dan jelas."Bangun dulu, pipis, baru minum susu," buj
Aku berjalan menuju ke rumah Bapak dengan perasaan yang tidak menentu. Sedih membayangkan betapa kecewanya Emak dan Mella. Di perjalanan aku bertemu dengan Lasmi. Ia mencegat langkah kakiku."Mbak, sudah tahu berita heboh, nggak?" tanya Lasmi. Aku tahu yang dimaksud Lasmi tapi aku pura-pura tidak tahu."Berita apa, ya? Aku belum keluar dari rumah, jadi nggak tahu ada berita heboh.” Aku mengernyitkan dahi, pura-pura memikirkan sesuatu.“Apakah Minah dan Warti nggak kasih tahu?”“Enggak.” Aku menggelengkan kepala."Deni tadi malam digerebek di rumah Ani. Parahnya lagi, mereka melakukan bertiga. Wow hebat sekali ya Ani itu, melayani dua orang laki-laki sekaligus. Tapi kok aku jijik mendengarnya. Hiii." Lasmi bergidik. Pasti berita ini sudah menyebar kemana-mana, apalagi zaman teknologi canggih seperti saat ini. Kasihan Bapak dan Emak yang harus menanggung malu akibat perbuatan Deni. "Astaghfirullahaladzim," kataku sambil menutup mulut, seolah-olah aku baru tahu kabar ini."Berarti Mbak
“Aku memang penyakitan, tapi penyakitku ini bukan penyakit yang memalukan!” Mella membalas dengan sengit.“Terus, maksud kamu apa?” tantang Deni."Pa, perempuan bernama Ani itu kan PSK kelas kakap. Pelanggannya banyak, karena pelayanannya sangat memuaskan. Apa Papa pikir Ani itu bebas dari penyakit kelamin? Okelah kalau ia sehat. Tapi apakah pelanggannya sehat semua? Belum tentu kan? Apakah Papa kemarin pakai pengaman? Terus laki-laki satunya pakai pengaman? Coba cek ke Puskesmas, untuk memastikan Papa sehat atau tidak. Jangan sampai setelah menikah, barang Papa nggak bisa dipakai karena penyakitan." Mella berkata dengan tegas."Aku sehat. Ani juga sehat, buktinya bisa memuaskan." Deni menjawab dengan meyakinkan."Tentu saja bisa memuaskan karena memang itu pekerjaannya. Kalau tidak memuaskan nggak punya pelanggan bodoh sepertimu. Kenapa kamu nggak menikah dengan Ani, biar tidak membayar denda," kata Bang Jo, terlihat sekali kalau ia kesal dengan Deni."Enak saja menikah dengan Ani. A