Share

Aku Mau Punya Anak

Cassian punya solusi dan Aveline juga punya..

~~~

“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?” Tanya Papa Vincent yang duduk dihadapanku, di sofa ruang keluarga. Belum selesai pesta ulang tahun Stella, Papa Vincent langsung menyuruhku untuk ikut pulang dengannya. Bukan untuk bertamu, melainkan untuk diinterogasi seperti saat ini.

“Maksudnya, Pa?” Tanyaku bingung, tidak paham kemana arah pertanyaan Papa Vincent.

Papa Vincent menatapku dengan pandangan serius, “Apa kalian sudah melakukan ‘itu’?” Tanya Papa Vincent dengan menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda peace.

Wajahku memerah saat mendengar pertanyaan yang langsung mengarah ke hal yang sangat pribadi tersebut. Aku merasa canggung dan tidak nyaman menjawab pertanyaan Papa Vincent yang begitu terbuka.

“Ngapain Papa nanya begituan?” Jawabku dengan gugup.

Papa Vincent melipat tangannya dan bersandar di sofa ruang keluarga ini. “Yah, karena kamu belum hamil sampai sekarang, yang mana usia pernikahan kalian sudah delapan bulan,”

Aku diam. Aku tidak mungkin mengatakan kalau kami tidak pernah melakukannya. Bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.

Papa Vincent meneliti keterdiamanku, “Jangan bilang kalian tidak satu kamar,” Tebak Papa Vincent langsung seakan bisa membaca pikiranku.

“Udahlah, Pa. itu privasi rumah tangga mereka. Kita jangan ikut campur,” Ujar Mama Natalia yang menjadi penolongku. Dia datang dari arah dapur sambil membawa dua cangkir minuman untuk menemani pembicaraan berkedok interogasi ini.

Aku bernafas lega karena pawang Papa Vincent sudah datang. “Nah tuh, bener banget. Itu privasi aku sama Kak Ian. Gak boleh diumbar sana-sini,” Ujarku sambil cengengesan.

“Alesan aja kamu,” Cibir Papa Vincent. “Kalau tebakan Papa benar, berarti kamu harus usaha lagi. Ikatan kalian akan lebih kuat kalau ada anak,”

“Pa, semua yang dipaksa bakal ngerugiin diri sendiri,” Ujarku mencoba memberi pengertian pada Papa Vincent.

“Ck, itu bukan memaksa. Kamunya aja yang gak usaha yang bener,” Kata Papa Vincent yang membuatku tertohok. “Pokoknya kamu harus hamil. Kalau perlu, kamu yang mulai duluan!” Ujarnya sambil berdiri dan berlalu hingga menghilang di tangga.

Aku menghembuskan nafas kasar. Permintaan Papa Vincent sungguh sulit. Bagaimana caranya agar aku bisa hamil, sedangkan Cassian sendiri enggan tidur di ranjang yang sama denganku?

Mama Natalia duduk disampingku dan memelukku. Dia sepertinya menyadari kalau aku sedang gundah saat ini. “Jangan dimasukin hati kata Papa yah, sayang. Dia itu cuma mau kamu dan Cassian terus sama-sama,” Kata Mama Natalia sambil mengelus lembut rambutku.

Aku mendongak, “Tapi gak perlu sampai segitunya, Ma. Aku bisa apa kalau Kak Ian yang gak suka sama aku?” Ujarku berusaha untuk bersikap tegar.

Mama Natalia menatapku dengan penuh kasih sayang dan memegang wajahku dengan lembut. “Sayang, percayalah bahwa pernikahan itu gak selalu mulus. Pasti ada cobaan dan halangan yang harus dihadapin. Cassian mungkin perlu waktu buat menerima pernikahan kalian.”

Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang ingin keluar. “Doain aku, Ma. Doain rumah tangga aku juga supaya tetap kokoh.”

Mama Natalia tersenyum penuh pengertian. “Tentu, sayang. Mama selalu mendoakan kamu dan rumah tangga kalian supaya tetap kuat. Kamu harus percaya sama perasaan cinta dan tekad kamu untuk berjuang mempertahankan rumah tangga kalian. Kasih waktu buat Cassian sadar kalau ada perempuan dengan perasaan cinta yang besar untuknya dan ada disisinya.”

Aku mengangguk. Aku merasa tidak pernah menceritakan perasaanku pada siapapun, terlebih Mama Natalia. Namun aku paham kalau sebagai orang yang melahirkanku, dia pasti bisa merasakannya. The power of feeling ibu.

“Udah mau malam, nih. Kamu mau makan malam disini?” Tanya Mama Natalia saat merasa aku sudah lebih tenang.

Aku menggeleng, “Aku mau makan malam di rumah aja. Kasian suamiku makan sendiri nanti,” Ujarku dengan sedikit memainkan kedua alisku.

Mama Natalia mencubit hidungku, “Dasar. Yaudah sana pulang. Nanti keburu suami kamu yang sampe duluan.”

Aku mengangguk dan pamit pulang pada Mama Natalia.

Di dalam mobil, aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan pada Cassian.

Aku gak jadi pulang telat. Kita makan malam bareng di rumah, yah.. tulisku.

Aku mulai menyalakan mesin mobil dan bersiap untuk pulang. Namun aku merasakan ponselku yang bergetar.

Baguslah. Ada yang mau aku bicarain juga. Balas Cassian yang membuatku penasaran. Tak biasanya dia membalas pesan-pesanku yang tidak terlalu penting menurutnya.

Mobilku sampai di halaman rumah. Setelah memarkirkannya asal-asalan, aku memberikan kuncinya pada Pak Tomo selaku satpam untuk dibawa ke garasi. Selanjutnya, aku bergegas memasuki rumah untuk membersihkan diri dan bersiap menyambut kepulangan suamiku.

Aku baru saja mengecek masakan Bi Mina saat aku mendengar suara mobil Cassian di depan. Aku bergegas membuka pintu dan menunjukkan senyum termanisku padanya. Berharap Cassian akan terpesona.

Namun aku yang justru terkesiap dan terpesona melihatnya. Senyumku perlahan surut. Tatapanku penuh kagum. Rambut hitamnya tidak serapi tadi pagi. Jasnya dilepas dan dipegang bersama dengan tas kerjanya. Rompi hitam yang membungkus kemeja putihnya yang dua kancing atasnya dibuka. Dan… tatapan matanya yang membiusku.

Kami saling bertatapan sekitar lima detik. Setelahnya dia berjalan dengan anggun mendekat ke arahku.

“Aku mau masuk,” Ujarnya padaku yang menghalangi pintu masuk.

Aku gelagapan dan berusaha mengontrol diriku. Aku tersenyum padanya dan mengambil alih tas serta jasnya. Tanpa berkata apapun, dia berlalu melewatiku. Aku yang melihat itu mengikutinya. Dan seperti biasa, aku mengikuti langkahnya dari belakang.

“Aku udah nyiapin pakaian buat kamu di kamar. Aku tunggu di meja makan, yah,” Ujarku yang sama sekali tidak ditanggapi olehnya.

Aku menghela napas pelan, sudah terbiasa dengan sikapnya yang sering kali mengacuhkanku. Berusaha tetap tegar, aku tersenyum tipis dan meletakkan jas Cassian di Laundry room dan tasnya di ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Setelahnya, aku kembali ke ruang makan untuk memastikan semuanya telah siap.

Beberapa saat kemudian, Cassian muncul di ruang makan. Aku mengambilkan nasi dan lauk untuknya serta untukku. Kami makan dengan diam dan tenang.

“Kamu mau bicara apa?” Tanyaku pada Cassian saat makanan kami sudah habis.

“Aku udah dapet cara buat bujuk Papa kamu,” Ujar Cassian sambil meneguk habis air di gelasnya.

Jantungku mencelos mendengar itu. “Caranya?” Ujarku sambil berusaha menelan saliva yang entah kenapa tiba-tiba aku lupa caranya.

“Aku punya teman. Dia punya perusahaan konstruksi. Kalau kamu menikah dengannya, bisa jadi dia bakal bantu kamu Kelola perusahaan Papa kamu,” Ujarnya dengan santai.

“Maksud kamu apa menyuruhku menikah, sementara aku masih istri kamu?” Ujarku dengan dingin. Rasa marah semakin menguasai hatiku karena keputusannya yang begitu tiba-tiba dan tanpa mempertimbangkan perasaanku.

Cassian tampak tenang. “Kalian bisa saling mengenal dulu. Kalau kontrak kita selesai, kalian bisa menikah,”

What? Saran macam apa itu?

Rasa marah menguasaiku. Detak jantungku semakin cepat dan napasku memberat. Tanganku menggenggam erat sendok makanku untuk mengendalikan emosiku yang akan meluap. Entah karena marah, dorongan kuat untuk mempertahankan pernikahan kami dengan meminta anak pada Cassian, tidak lagi terasa memalukan bagiku.

“Tapi aku punya cara lain,” Ujarku sambil memejamkan mata.

“Apa?”

“Anak,” ujarku sambil membuka mataku dan menatap dalam matany.

Cassian mengerutkan keningnya, “Anak?”

“Aku mau hamil dan punya anak,” Ujarku dengan tenang. Cassian terperangah. Terlihat kilatan keterkejutan di matanya.

Cassian memperbaiki duduknya yang tidak nyaman, “Kalian bisa memiliki anak kalau sudah menikah nanti,”

Pegangan tanganku di sendok mengerat. Rahangku menegang. “Aku mau hamil anak kamu,” Ujarku penuh penekanan.

“APA?” Cassian berdiri dan menggebrak meja. Dia berusaha mengintimidasiku. Tapi maaf, aku yang sekarang tidak mudah diintimidasi.

Aku bukannya percaya diri. Namun entah mengapa aku mempunyai aura yang menyeramkan dan akan balik mengintimidasi orang lain saat aku merasa sangat kesal seperti sekarang ini. Bahkan keluargaku mengakui hal itu.

"Kalau aku hamil sebelum kontrak pernikahan berakhir, kita bikin kontrak baru!" Ujarku tenang.

“Gila kamu,” Ujarnya berniat pergi meninggalkanku.

Oh tidak bisa, Cassian sayang. Kamu tidak bisa pergi begitu saja kali ini.

“Kak Ian,” Ujarku lembut namun penuh dengan peringatan. Nada ini sering digunakan oleh Mama Natalia untuk menaklukan Papa Vincent.

Cassian menghentikan langkahnya. Dia tidak berbalik dan hanya menungguku menghampirinya.

Aku mendongakkan kepalaku saat sudah berada dihadapannya. Mataku menatap dalam matanya. Aku tersenyum manis dan menautkan tangan kami. Saat aku merasa kalau dia sudah dibawah kendaliku, aku menariknya lembut ke atas, kamar kami.

Dan...

Brakkk….

Silahkan menebak sendiri apa yang terjadi….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status