Share

Ganjil yang Mengganjal

Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.

Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.

Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.

Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim foto itu pada Danish.

Sayna: Selamat pagi! Tidur nyenyak malam tadi?

Dia tahu kalau Danish sudah bangun sepagi itu, tapi pemuda yang Sayna kenal 5 tahunan ini jarang berinteraksi dengan ponsel. Ada saja yang dia kerjakan sehingga media sosial pun Danish tidak punya. Menurut beberapa orang, dia tertutup dan susah didekati, padahal Danish orang yang ramah dan ceria sekali.

Danish: Pagi, Sayang (smile)

Danish: Senyumnya jangan cerah-cerah, nanti matahari kalah.

Sayna menyengir, dia menyimpan ponsel lalu bergegas ke kamar mandi, beruntung sekali sudah ada stiker di jendelanya, jadi tidak ada drama bertemu dengan si cicak gila. Dia menyalakan shower air hangat dan mulai mandi sembari bersenandung ringan. Beberapa botol produk perawatan kulit terpajang di rak, Danish yang membelinya, beberapa juga hadiah dari Dinara, bahkan Pradnya.

Ya, cukup menguntungkan memang mengenal Danish dan keluarganya walau Pradnya dan Pramudya terhitung orang baru dalam hidup pemuda itu. Karena mereka kaya raya, jadi sering sekali pergi belanja lalu membagi-bagikannya. Dan kendati hubungan Sayna dengan mereka tidak terlalu baik, ipar kembar Danish itu tidak membedakan jatah oleh-oleh untuknya. Sayna sering dapat apa saja, produk kecantikan, parfum, pakaian, sepatu dan tas mahal. Biasanya Danish yang jadi kurir antar.

Bangunan kos Sayna terdiri dari empat lantai dan dia menempati lantai kedua, pemandangan dari atas cukup bagus, terutama di pantry kamarnya karena ada jendela yang bisa dibuka. Udara dingin Bandung menyapu saat Sayna menggoreng telur untuk sarapan. Makan roti dengan telur dan saus sepertinya bagus, Sayna belum belanja apa-apa, tapi Danish tiap minggu datang untuk mengisi kulkasnya juga.

Dia benar-benar pacar yang baik. Mereka mirip suami istri sungguhan tanpa ikatan pernikahan. Danish juga mengiriminya uang bulanan yang jarang Sayna pakai, rasanya tidak enak, tapi kadang dia punya kebutuhan mendesak. Tidak apa-apa, sisa uangnya ditabung untuk tambahan modal mereka menikah di masa depan, meski Danish bilang itu untuk jajan.

“Sayna! Udah ketebak, pasti pakai merek Okamoto karena itu yang paling tipis bin ngeunah buat coli-an.”

“Hah?” Sayna terperangah.

Baru saja sampai di kelas dan Erwin sudah menyambutnya dengan kehebohan. Mereka mengumpulkan sampel sperma yang disimpan dalam klep berlapis plastik ziplock per-kelompok. Dan dalam sekali lihat, Erwin langsung mencecarnya, pemuda itu mengangkat bahan praktikum yang Sayna bawa dengan ibu jari dan telunjuknya.

“Bilangin kabogoh maneh, Say, coli sakali deui. Biar A Erwin yang modalin kondomnya.”

“Belegug!” Rafika menjitak kepala Erwin dari arah belakang, pemuda itu mengaduh tapi tidak diindahkan. “Naha lain maneh wae, Win? Nanaonan nyuruh pacarnya Sayna, kan jauh di Jakarta.”

“Heh, ini teh hari apa, Ceu Pika? Ini hari Senin alias Monday, yeuh kabogoh Sayna tiap Monday to Friday mah si Kang Giopani bukan orang Jakarta lagi.”

Sayna buru-buru memisahkan keduanya. “Kenapa memang? Yang ini kenapa? Nggak bisa dipakai, ya?”

“Nggak bisa, Say.” Rafika menanggapinya segera. “Tadi udah diskusi semua, anak-anak lain mulai cari yang jualan mani, soalnya nggak akan keburu buat praktek nanti siang. Rata-rata bawa bahan pakai kondom yang ada spermisidanya, nggak akan bisa dipakai buat latihan.”

Sayna menepuk jidat. Dia dan Danish mendapatkan benda cair itu susah payah dan ini yang harus mereka dapatkan. Kelas mulai riuh karena dosen belum datang untuk mengajar pagi ini, beberapa mahasiswa didesak oleh mahasiswinya. Mereka butuh bahan praktek segera, banyak kelompok yang belum mendapatkannya.

“Nih, gampang sebenarnya mah karena seangkatan kita ada berapa mahasiswa laki-lakinya? Itu kalau disuruh masturbasi semua bahan praktek kita terpenuhi kuotanya.” Salah satu anak mengusulkan pendapat yang tentu disambut protes cepat.

“Kamu pikir gampang dapetnya?”

“Yang namanya mau masturbasi itu sama kayak ibu-ibu mau lahiran, butuh proses, nggak bisa tiba-tiba disuruh terus dapet, kecuali yang udah pro tuh!”

“Kita semua habis diperas, terus pas praktek nggak ada yang beres karena lemas.”

“Nah!”

Bayangkan saja satu kelas itu diisi 120 orang, bagaimana riuh dan gaduhnya suasana saat tidak ada pawang alias dosen di depan sana. Sayna sakit kepala, tidak tahu harus bagaimana, harus ke mana mencarinya, meski teman kelompok mendapat nomor makelar sperma tapi mereka tidak terima pesanan lagi, sudah penuh untuk hari ini, kuota mereka sangat terbatas.

Dan menyuruh anak laki-laki melakukannya amat tidak pantas, kecuali mungkin seperti Danish dan Sayna yang rela-rela saja karena mereka mendapat kompensasi demi cairan mani. Itu terbukti dari desah demi desah yang bergaung dua malam berturut-turut kemarin. Kalau Danish ada di sini, dia akan membantunya dengan senang hati. Tapi masturbasi dengan pemaksaan dan keterpaksaan amat tidak dianjurkan, kecuali orang-orang profesional yang terbiasa melakukannya.

“Say, gimana?” Rafika kembali membuat Sayna memijit pelipisnya.

Setelah kelas PBL pagi ini Sayna punya 1 jam kosong menuju kelas tutorial dan 2 jam istirahat menuju praktikum di laboratorium Patologi Klinis. Dia memutar otak, tangannya bergerak cepat, menghubungi seseorang, meminta pertolongan.

Sayna: Kak Gio, bisa ketemu sebentar kalau ada waktu senggang? Aku mau minta tolong.

****

Senin yang baik. Awal minggu yang baik karena berakhir dengan minggu yang melegakan. Hubungannya dengan Sayna kembali harmonis, gadis itu kembali jadi pacarnya yang manis, tidak ada gangguan orang ketiga seperti biasanya—Giovanni, dan... Pramudya kembali ke Jakarta setelah membuat kehebohan di mana-mana karena semua orang sibuk mencarinya.

“Nggak ada yang nyariin Dya, aku juga biasanya santai kok, Mas. Tapi waktu itu Danish nanyain jadi ya tak cariin, lha anaknya ngilang siapa yang nggak khawatir? Di Surabaya nggak ada, di Jakarta juga sama, nggak naik pesawatnya siapa-siapa, kan panik semua!”

Pradnya mengoceh di panggilan telepon saat Arya mengomelinya karena mereka terkesan berlebihan dalam melakukan pencarian terhadap Pramudya. Lucunya, Danish adalah terduga sebagai biang kerok, coba kalau dia tidak iseng menanyakan di mana keberadaan Pramudya pada Pradnya, sudah pasti semua akan aman-aman saja.

Danish jelas tidak terima disalahkan, tapi dia juga lega karena Pramudya kembali setelah ditinggalkan olehnya terakhir kali. Jadi Senin paginya, dia merasa tenang sekali, banyak hal berhasil diatasi. Sayna juga tidak berlebihan padanya lagi.

“Hai, Nish. Sudah pulang kuliah, ya?”

Namun seperti kata pepatah juga, dunia ini tidak adil apabila hidup seseorang terlalu sempurna. Masalah itu perlu untuk terus mengasah kewaspadaan.

“Kelihatannya, Om?” jawab Danish seraya menyunggingkan bibir. Baru saja turun dari mobil dia sudah disambut oleh seorang pria yang... tidak disukainya. “Masuk, Om, tapi kayaknya Mama belum pulang.”

Tiodore mengulas senyum berwibawa, sudah jelas itu pengusiran serta sindiran halus untuknya. “Kalau Melia belum pulang, berarti kamu yang nemenin Om ngobrol, ya?”

Danish agak meringis tapi tidak langsung menolak atau menerima tawarannya. Dia hanya mendorong pintu utama dan Danish terkejut karena mendapati seorang gadis tengah menduduki kursi ruang tamunya.

“Dya?” panggil Danish pada tamu tak diundang itu. “Mama mana?” tanyanya. Sudah pasti Pramudya hanya bersedia datang jika ibunya yang meminta.

“Di dapur,” jawab gadis itu sambil berdiri dari tempatnya duduk. Dia melirik heran pada orang di sebelah Danish, Dya tidak mengenalnya.

“Kok mobilnya nggak ada? Kirain Mama belum pulang,” ujar Danish tak enak hati, merujuk pada caranya mengusir Tio barusan. “Duduk, Om, nanti Mama aku panggilin aja. Aku nggak bisa nemenin ngobrol, maaf ya. Ini ada temanku datang.”

“Nggak apa-apa, Nish.”

“Kami pamit dulu, Pak.”

Pramudya memberi sapaan sekaligus berpamitan sebagai ajang basa-basi, sementara dia pikir Danish akan memanggil ibunya lebih dulu dan memberi tahu bahwa ada tamu, tapi Dya salah besar. Danish menariknya langsung ke lantai dua, bukan ke dapur.

“Lo dari mana aja?” tanya Danish pada gadis itu setelah merasa cukup jauh dari ruang tamu. Biar saja Melia tidak tahu kalau pacarnya datang, Danish sengaja melakukannya. “Lo habis ketemu hari Jumat sama gue terus ke mana, Dya?”

Pramudya tidak menjawab, dia berjalan mendului Danish untuk duduk di kursi santai dekat jendela kamar. Eh, sejak kapan mereka masuk ke kamar?

“Ck, Dya jawab!” Danish mencak-mencak. Manusia sebiji ini kebiasaan sekali malas menjawab pertanyaan orang.

“Ke Singapur,” ujar gadis itu sambil duduk bersandar. “Weekend di sana.”

“Sama siapa?” Danish penasaran. “Jangan bilang sama cowok lo yang kebagian jatah kencan hari Sabtu!” cecarnya.

Pramudya melipat tangan di atas perut, menaikkan sebelah alis, maksudnya apa sih?

“Dya, lo udah gila? Berduaan sama cowok ke luar negeri? Lo tidur berdua?”

“Apa sih, Danish?” Pramudya merasa jengkel diinterogasi pemuda itu. Cerewet, mirip Mas Arya. “Mau ikut minggu depan?”

“Nggak, ya!” tolak Danish cepat. Padahal seharian ini sudah tenang, tapi berkat bertemu dengan pacar ibunya dan kelakuan Pramudya sekarang, Danish jadi meradang. “Lo tahu nggak gimana paniknya orang-orang? Gimana rasanya jadi gue yang lagi pacaran sama Sayna disuruh bubaran pulang buat nyariin lo doang? Gue nyetir dari Lembang ke Jakarta subuh-subuh, Dya!”

Pramudya mengorek kupingnya dengan jari kelingking, lama-lama bisa pengang mendengar ocehan Danish yang tidak ada habisnya. Sebenarnya kenapa sih dia?

“Lebay,” desis gadis itu pelan, tanpa memperdulikan reaksi Danish setelahnya.

“Bagus lo, ya! Berani lo ngomong gitu di depan Bu Ayudia?!” Ibu angkat Pramudya yang bahkan bisa pingsan hanya karena mendengar anaknya tergores kaca. “Mbak Dinar mau lapor polisi tahu, nggak?!”

Duh, Danish kenapa sih? Dia pasti banyak masalah makanya melampiaskan itu semua pada Dya, kan? Saat dia pulang kemarin, tidak ada yang memarahinya—sama sekali. Dan kenapa orang ini dengan semangat berapi mengorek informasi sekaligus membentak-bentaknya begini?

“Dya!”

“Apa?”

“Lo dari mana? Sama siapa? Ngapain aja?”

Pramudya membeliak tak percaya, pertanyaan Danish tidak perlu dijawab olehnya. Kenapa juga dia harus menjawabnya, kan? Memang apa urusannya?

“Heh, gue lempar lo ke luar jendela. Jawab buruan!” ancamnya sambil benar-benar menggeser kaca di depan mereka. Dya sudah pernah benar-benar dilempar oleh pemuda itu, meski tidak ke luar jendela. Jadi sekarang rasanya agak ngeri juga.

“Gue sama karyawannya Mas Arya.”

“Hah?” Danish menganga tak percaya.

“Kak Henny bilang dia kangen temennya yang di Singapura, terus Tante Dian pengen jalan-jalan sore di Orchard, beli tas sama sepatu, jadi kami ke sana.”

“Sama cowok lo juga?”

“Iya.”

“Kok lo pergi nggak bilang-bilang, sih?”

“Biasanya juga nggak bilang.”

Bagus sekali. Ternyata orang yang dikhawatirkan seluruh umat di sini malah sedang senang-senang di Singapura bersama teman dan pacarnya. Sia-sia sekali rasa syukur dan lega yang Danish rasakan seharian ini padanya, saat ini yang ada Danish murka pada Pramudya.

“Mas sama Mbak nggak akan panik nyariin gue kalau bukan karena lo telepon Anya,” ucap gadis itu padanya.

“Oh, jadi lo nyalahin gue sekarang?”

“Aduh... ini kenapa ribut-ribut begini anak dua? Ada apa?”

Melia datang sebagai penyelamat, ada jus pomegrante di gelas tinggi yang dia bawa, minuman kesukaan Pramudya. Maka gadis itu bangkit dari kursi dan mengambilnya, mengabaikan Danish yang masih—entah kenapa—marah-marah saja.

“Tuh, si Dya, Ma. Nyebelin!” Danish tidak bilang alasannya apa, langsung melabelinya, untung saja Melia bukan orang yang gampang terhasut.

“Marah-marah mulu anak bujang, padahal baru kemarin ketemu sama Sayna, kan? Kayak lagi PMS deh, Nish.”

“Iya, aku ketemu Sayna bentaran aja gara-gara disuruh pulang sama Mbak Dinar buat nyariin Dya.”

“Kamu nginap dua malam lho di sana, itu nggak sebentar.” Melia berujar, dan Pramudya memeletkan lidah padanya. Danish kalah telak. “Kangen banget lihat kalian ngumpul bertiga. Anya nggak di Jakarta, ya?”

“Nggak, Bu. Anya lagi main di Jogja sampai hari Rabu. Aku mau ngasihin undangan pesta juga, ulang tahunku bareng sama Anya.”

“Ya iya bareng, kan anak kembar,” dumel Danish sebal.

Dya tidak sama sekali menggubrisnya. “Bu Melia datang, ya? Nanti akomodasi diatur bareng semua kok. Udah izin ke Mas Arya.”

“Gue nggak diundang, nih?” Danish menyerobot di tengah. “Tapi gue nggak mau datang kalau Sayna nggak ada.”

“Hush, Nish!” Melia menegur putranya yang nakal itu dengan sedikit pelototan. “Ibu boleh datang bawa teman, kan? Ulang tahun ke berapa, Nduk? Duh, undangannya bagus banget, Cah Ayu...”

Danish tidak lagi mendengarkan dua perempuan itu berbincang sejak mendengar ibunya berkata untuk membawa teman ke pesta ulang tahun Pramudya dan Pradnya. Sudah pasti pria di bawah sana adalah orang yang akan diajaknya. Danish yakin sekali. Dan dia tidak suka.

“Nih...” Pramudya duduk di sebelahnya, sementara Danish terlentang di tempat tidur. “Kasihin ke Sayna.”

Sebuah undangan berwarna putih kebiruan itu diserahkan. Danish sedang tidak ingin bicara, dia hanya membuka lembaran itu untuk melihat-lihat isi tanpa minat. Ada dress code segala, tanpa topeng untungnya, itu norak kalau benar ada. Anehnya, tidak ada foto Pramudya di sana, hanya Pradnya yang menghias tiap lembar di bingkai undangannya. Kenapa?

Namun Danish tidak ingin bertanya, jadi dia hanya menutup undangan itu dan diam dengan mata terpejam.

Ibunya tidak butuh wali untuk menikah lagi, beda dengan Dinara yang sangat membutuhkannya kala menikah dengan Arya. Kali ini, Danish harus apa? Dia ingin menentang, Danish tidak suka pada pria itu. Pria manapun yang membersamai ibunya, bahkan mungkin ayah kandungnya. Sebab Danish kecil tumbuh tanpa sosok ayah, jadi kehadiran mereka hanya mengusik dan membuatnya tidak tenang saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status