Share

Sekam dan Redam 2

Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso?

Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?

Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!

Raimu raiku do whatever you wanna do

Buenci pol body shamming jan garai crying

Gendat gendut kura kuru lambemu lambemu

I love my body and... you should too

Siji loro telu

Hi, all i love you!

Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.

“Yang sopan toh, Nduk...” Ayudia menyambut kedatangan salah satu putri kesayangan dan kebanggaannya, Pramudya Gayatri Ranajaya. “Bajunya ganti dulu,” ujar wanita itu. Paham betul apa yang terjadi tapi terus mencoba untuk meredamnya, dari tahun ke tahun.

“Bu...”

“Dalem,” jawab sang ibu.

“Kado ulang tahunku.” Pramudya menengadahkan tangannya. “Hidupin Ibu Ayunia dari kuburnya, sebentar aja. Aku mau ketemu.”

“Dya, ayo!” teriak Pradnya dari ujung sana, beruntung sekali karena Ayudia tidak tahu harus menjawab apa terkait permintaan Pramudya padanya. “Ganti baju, dandan yang cantik, Danish datang, kan?”

Pramudya menggeleng, dia menampilkan layar ponsel untuk menunjukkan daftar penumpang yang hadir ke acara mereka, dan Danish tidak ada di sana. Lagi pula dia memang tidak akan datang kalau Sayna tidak ada.

“Yowes,” kata Pradnya sambil mengalihkan tatap pada pergelangan tangannya. “Dari siapa, toh ini? Huruf D, Danish yang beli?” Gadis itu terkikik, menyadari sebuah gelang berbandul melingkar di tangan Pramudya. “Cantik,” ungkapnya tulus. “Kelihatan murah sih, tapi ya nggak apa-apa, segitu juga dia inget. Aku penasaran dia kasih aku kado ulang tahun apa kalau kamu dibeliin gelang.”

Dya tidak tahu ini kado ulang tahun dari Danish atau bukan, jadi dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa pada adiknya. Dulu keluarga mereka menjuluki Danish, Dya dan Anya sebagai kembar tiga. Tapi bagi Anya itu berbeda, hubungan mereka tidak begitu. Dia melabeli diri sendiri sebagai istri pertama, Dya istri kedua, sementara Sayna adalah pacar Danish, selingkuhan mereka.

“Ya ampun, bajumu lho!” Pramudya terkesiap melihat saudarinya berjalan mendului. Gaun Anya yang terdiri dari simpul tali di punggung hingga ke panggul membuatnya amat terkejut. “Guntingnya enak nih. Mak kres, pedot kabeh.”

Pradnya terkikik geli tapi tidak tampak peduli, jelas-jelas itu sindiran keras. Dya merasa aneh karena kembarannya itu gemar sekali berpakaian seksi. Mereka kembar memang, tidak identik, kadang tidak ada persamaan sama sekali, wajah juga hanya mirip sedikit, tidak sama persis.

“Mau baca puisi lagi? Aku wes nyanyi buat persembahan spesial malam ini.”

Anya tidak dikaruniai suara yang bagus, tapi dia suka menyanyi, kadang nyanyiannya hanya terdengar seperti teriakan atau orang membaca syair, melodinya berlarian. Tapi Anya percaya diri, dan itu cukup. Sementara Pramudya, dari tahun ke tahun selalu menulis dan membaca puisi tiap ada pesta yang digelar Ranajaya.

“Belum nulis apa-apa,” akunya jujur. Pramudya tidak menyiapkan apa pun untuk malam ini. Makin dewasa, semakin sulit mengendalikan diri. Semakin susah baginya menutup kesedihan.

Anya terlentang di tempat tidur, menatap lampu kristal di tengah-tengahnya, membiarkan tiap bulir air mata berjatuhan ke sisi wajah. “Nggak usah nulis, puisimu makin tahun makin sedih.”

Pramudya mengangguk, dia mengakuinya. Puisi bukan hanya tersusun dari bait-bait indah, tapi juga menyentuh, menggambarkan bagaimana perasaan penulisnya.

“Udah, jangan nangis.” Gadis itu—sebagai kakak, karena dia lebih tua dua menit dari Anya, menyeka air mata adiknya. “Makeup mu lho, mahal.”

“Aku justru mau ngajakin kamu nangis bareng.”

Bedanya mereka adalah, Pradnya lebih terbuka, ceria dan gampang menunjukkan emosinya. Sementara Pramudya, kendati dia murung seharian, jarang sekali meneteskan air mata. Lagi pula dia tidak merasa benar-benar sedih sekarang, hanya... kosong. Seperti ada yang hilang, padahal mungkin dia tidak pernah benar-benar memilikinya.

Bagaimana rasanya kehilangan hal yang tidak pernah dia genggam secara nyata? Aneh, bukan? Perasaan yang sukar dijelaskan.

Suara tepuk tangan meriah, sorak-sorai suka cita, kamera blitz yang menyala serta gegap gempita doa-doa dari teman dan keluarga mendominasi acara ulang tahun Pradnya dan Pramudya yang ke 20. Mereka semakin dewasa, semakin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pramudya berjalan menjauh begitu selesai meniup lilin dan memotong kue ulang tahunnya bersama Anya.

“Wish you all the best, Nduk. Anak-anak yang tuanya lama, lahir akhir tahun.”

Pramudya langsung tersenyum saat suara Kevin Sandjaya berdengung di telinganya. Mereka saling menghampiri lalu memberi pelukan untuk satu sama lain, senang sekali bisa melihat pria itu di sini.

“Maaf ya, Mbak Hanum nggak bisa ikut. Lagi mabok parah, Nduk, muntah-muntah terus.”

Senyum di wajah gadis itu tetap terpajang profesional penuh maklum.

“Mas juga nggak bisa lama-lama.”

“Nggak apa-apa.” Melihatnya saja, Dya sudah bahagia. Bersama Kevin, dadanya selalu berdebar-debar, tapi debar itu menyenangkan untuk dirasakan.

“Kamu sudah tahu belum? Mbak Hanum mau kasih mas anak.”

Pramudya tersenyum, akhirnya... setelah dua tahun menikah Kevin dan Hanum akan punya momongan yang begitu mereka damba-dambakan. Tentu saja Dya tahu, kabar itu simpang siur di lingkungan mereka, tak lama lagi akan berderet acara syukuran, selamatan dan lain-lainnya seperti saat Dinara mengandung Irya.

“Nggak kasih selamat, Nduk?”

“Selamat, Mas.” Dya mengucapkannya singkat saja. Belum bisa merasa ikut berbahagia.

“Mukanya jangan ditekuk,” kata pria itu sembari mengusap rambut panjangnya yang tergerai menutupi punggung. “Karena Hanum mengandung, mas mungkin akan sering ajak ketemu dan minta bantuan kamu.”

Pramudya mengangguk, menahan senyumnya yang terasa kecut.

“Danish! Danish... Danish... Danish, oh my God! Ternyata lo datang!”

Sepertinya nyaris seluruh tamu terinterupsi pada suara itu. Bagaimana lantangnya Pradnya menggaungkan nama Danish lalu menyambut kedatangan pemuda itu untuk menyeretnya ke tengah aula, mengajak Danish berdansa mendadak di sana, lalu menghambur ke pelukannya.

“Kado ulang tahunnya ditalangin sama Bu Melia?” tanya Pradnya melihat Danish sama sekali tidak menenteng apa-apa. “Kalau gitu kasih hadiah yang lain, gue mau ciuman, di pipi kanan dan kiri.”

“Nggak usah ngide deh.” Danish terkikik sambil menyentil dahi Anya yang tak kalah lebar dengan saudarinya. “Mending lo suruh gue metik bintang daripada cium di sini.”

“Bawel.” Pradnya mencuri ciuman dari pipi Danish yang dibalas dengan senyuman malu super manis.

“Selamat ulang tahun, Anya.” Dia berkata begitu sambil melayangkan kecupan di pipi kanan Pradnya, kontan saja gadis yang tengah berulang tahun itu melonjak kegirangan. Kendati di sana ada kekasihnya, Pradnya tidak tampak peduli sama sekali.

“Wangi banget.” Anya bergelanyut di lengan Danish, membaui parfum yang sengaja disemprot pemuda itu di antara perpotongan lehernya. “Parfum baru, ya? Nanti ghue beliin.”

Danish menghadiahkan gadis itu senyum tipis, dia sedang tidak punya selera bercanda dengan Anya. Pikirannya kacau sekali sebelum memutuskan berangkat ke sini.

Sementara itu dari sudut lain, Pramudya memandanginya. Mereka saling melempar senyum kecil dari kejauhan, hanya sebagai tanda bahwa keduanya saling kenal.

“Ganteng ya, Nduk. Siapa namanya? Mas Adis?”

“Adis?” Dya membeo, dia bingung pada nama yang disebut Kevin barusan.

“Bukannya dari keluarga Adiswara, ya? Masih generasi pertama, harus dibesarkan namanya itu.”

Pramudya terkekeh, pasti Danish akan kegelian setengah mati saat mendengar panggilan itu. Sebagian besar keluarga dan kolega Ranajaya memang menyebut keluarga dari istri Arya adalah Adiswara. Dan berhubung perusahaan mereka baru berjalan kali pertama di tangan Melia, maka penyandang nama Adiswara sekaligus penerusnya hanyalah Danish, satu-satunya Adiswara.

“Bapak yang kenalin Mas Adis dengan nama Adiswara, biar suatu saat nanti besar seperti Ranajaya, Sandjaya, Kamandayu, Mahera dan lain-lainnya.” Kevin adalah pria dewasa yang kadang obrolannya tidak sefrekuensi dengan Pramudya. “Orang yang kamu suka, ya?”

Gadis itu terkesiap saat ponsel yang dia pegang berpindah tangan. Kevin menyengir lebar sambil menunjukkan layar, ada gambar Danish di sana. Dya pernah memotret Danish diam-diam dan menjadikan fotonya sebagai gambar latar belakang.

“Semoga sukses sama Mas Adis, ya.”

“Udah punya pacar, Mas.” Dya menundukkan kepala, alasan itu terdengar mengada-ada.

“Cuma pacar, toh? Belum janur kuning, Nduk.” Kevin memegang kedua bahu gadis mungil itu. “Sudah janur kuning pun, kalau belum bendera kuning, nggak usah ragu.”

Pramudya bahkan tidak bisa pura-pura tersenyum mendengar Kevin mengatakannya. Perasaannya pada Danish hanya sekadar suka, tanpa apa-apa menyertainya. Dya tidak berdebar saat dekat dengan Danish, tidak rindu, dan tidak pernah cemburu. Dia tidak akan memperjuangkan Danish sehebat itu. Menerobos janur kuning hingga bendera kuning.

Dya memang suka padanya, karena Danish tampak baik juga enak dilihat. Matanya butuh pemandangan yang indah-indah untuk menambah kebahagiaan dan menurunkan tingkat stres. Dia hanya suka, tapi status mereka tidak lebih dari saudara, keduanya bahkan bukan teman dekat, mengingat Danish sering bertingkah seenak jidat.

Kevin pergi dan Pramudya berjalan ke luar sendiri. Bintang-bintang di langit tidak tampak, kalah oleh lampu yang dipasang untuk memeriahkan pesta hari ini. Dan beberapa menit kemudian Danish menyusul, dia membawa dua gelas minuman beralkohol di tangan.

“Mas Arya bilang, normal melihat Pramudya murung di pesta ulang tahunnya, jadi gue disuruh bawain ini buat lo.” Pemuda itu menyodorkan salah satu gelas berisi anggur padanya. “Dya?”

“Hm?”

Danish memiringkan wajah. “Gue yang bawain ini sendiri, bukan disuruh Mas Arya.”

Pramudya melebarkan bibir untuk mengulas senyuman. “Kenapa datang?” tanyanya, melihat Sayna tidak ikut serta.

Pemuda itu mengangkat bahu. “Sedih aja sendirian di rumah.” Dia bergumam pelan.

Sejujurnya, Danish akui jika Pramudya adalah satu-satunya orang yang tahu kisah cintanya dengan Sayna. Bahkan masalah-masalah hingga keruwetannya. Pada gadis itu, dia tidak perlu mengatakan semua dari awal, Dya sudah tahu. Beda jika Danish curhat pada orang lain, mereka kebanyakan akan menanyakan detail ini dan itu. Dan jujur saja, dia datang jauh-jauh ke Surabaya karena ingin menumpahkan keluh kesahnya.

Namun melihat keadaan Pramudya tak kalah kacau saat ini—dan sekarang adalah pesta ulang tahunnya—Danish mungkin harus berpikir ulang.

“Sedih itu pas lo ngerasa sendiri di keramaian,” bisik Pramudya nyaris tak kedengaran. “Tapi sendirian saat benar-benar sendiri juga sedih sih.” Gadis itu buru-buru mengoreksi kalimatnya. Dia tahu tidak baik membandingkan kesedihan dan perasaan orang.

“Kayak lo sekarang,” tebak Danish tanpa menunggu jawaban. Dua orang itu berdiri dengan tubuh condong ke depan, bersandar di pagar sambil menikmati angin malam yang berembus pelan. “Gue paham, Dya. Pasti rasanya aneh harus pesta di hari dua orang anak kehilangan ibu mereka buat selamanya.”

Dan itu sudah terulang sebanyak dua puluh kali, sama dengan usia Pramudya sekarang.

“Aneh rasanya ngerasa kangen ke orang yang bahkan nggak pernah kita ingat.” Danish menyambung kalimat. Dia pasti tahu rasanya, Danish kehilangan ayah kandung sejak bayi.

Perasaan itu mirip. Rindu, kehilangan, tidak nyaman, tidak tergantikan terakumulasi menjadi perasaan aneh yang tidak mampu mereka terjemahkan.

“Kenapa Ibu harus... menukar kehidupannya demi gue dan Anya?” tanya Pramudya. Meski dia tahu pertanyaan itu tidak akan pernah mendapat jawaban.

“Nggak ada yang menukar kehidupan, Dya.” Danish nyaris tertawa, Pramudya jarang sekali mengutarakan perasaan dan isi kepalanya, ini momen langka. “Bahkan kalau waktu bisa diulang, dan orang-orang di sekitar kita dikasih pilihan, mereka pasti tetap bakal milih lo sama Anya lahir.”

“Maksudnya?” Dya kebingungan. “Ini kayak Bu Melia ditanya, mau suaminya tetap hidup atau lo nggak lahir?”

Meski ragu, Danish pada akhirnya mengangguk. “Gue yakin Mama bakal tetap melahirkan gue meski tahu akan kehilangan suaminya.”

Dia terdengar percaya diri, Dya suka sekali pada perasaan dan keyakinan itu.

“Suaminya Bu Melia itu ayah lo, Nish.”

Danish terkekeh, lidahnya kaku mengucap panggilan itu karena dia tidak pernah menyebut siapa pun dengan panggilan tersebut seumur hidupnya. Papa bukan miliknya, beliau hanya sempat dimiliki Dinara dan Melia. Papa tidak mau bersabar sedikit lagi hingga Danish besar dan bisa mengingatnya.

“Kenapa Sayna?” tanya Dya peka. Dia jelas tahu apa penyebab Danish bertindak aneh dan impulsif dengan menyusul penerbangan ke Surabaya naik maskapai komersil biasa.

“Aneh banget.”

“Mungkin PMS.”

“Bukan.” Danish menggeleng cepat, dia mencatat jadwal bulanan Sayna di ponsel, masih dua minggu lagi. “Dia nggak bales chat gue, nggak angkat telepon, dia cuma ngasih tahu kalau gue nggak perlu ke Bandung minggu ini, dia juga kayaknya nggak jadi pulang ke Jakarta. Gue bingung dia kenapa.”

“Tanya.”

Danish menolehkan kepala. Matanya bertatap dengan Dya. Selama berhari-hari dia lebih suka mengamankan diri, meredam-redam ledakan, dia tidak mau bertengkar dengan Sayna. Danish berdiri di posisi yang menerima dan memahaminya meski dia bertanya-tanya.

“Menurut lo gue boleh ke tempat dia meski dia udah larang sebelumnya?”

Pramudya memalingkan muka dari Danish. “Lo lebih kenal dia dari gue, Nish. Lo tahu harus gimana.”

Kenapa Pramudya sering sekali bilang begitu? Dia memang tidak serius mendengarkan Danish bicara, jarang sekali memberi solusi yang benar.

“Ehem!” Danish berdeham pelan. “Selamat ulang tahun,” ucapnya. Lupa pada tujuan utama kenapa kediaman orang kaya ini mengadakan pesta. “Lo doa yang baik-baik, minta apa aja terserah, gue bantu aminin.”

Dya tersenyum geli. Danish sejak dulu begitu, tidak pernah memberi apa-apa, atau menjanjikan apa-apa padanya. Malam ini Danish mengenakan kemeja salur berwarna hitam dan coklat pudar, memadukannya dengan jas senada, menyisir rambutnya rapi, memakai parfum baru, Dya dengan mudah mengenalinya.

Mata mereka bertatap, alis Danish selalu indah tiap dilihat, dia tampan tapi tidak cukup di situ, Danish kelihatan imut sekaligus. Sungguh definisi manusia yang aneh. Dia berdiri dengan gaya yang keren tapi jelas Pramudya bisa melihat aura menggemaskan seperti bayi di mata bulatnya. Pesona itu benar-benar membuat orang jadi gila.

Bukankah lucu ada seseorang yang terlihat cantik, tampan sekaligus seksi dan imut dalam satu waktu? Dan Danish memiliki semuanya. Mengagumkan sekali, auranya bukan lelucon.

“Gue lagi suka sama seseorang,” ucap Pramudya memecah hening di antara mereka.

“Oh, cowok yang tadi? Ganteng.”

“Bukan.” Dya menggeleng cepat. “Inisialnya L sama O.”

“Hm? Berapa huruf?”

“Dua.”

Danish tertawa, tangannya bergerak mengacak rambut Pramudya. Dia sudah tidak mempan pada kata suka yang sering diumbar-umbar oleh gadis itu.

“Sori, Dya.” Pemuda itu menerawangkan pandangannya. “Gue udah punya Sayna, satu-satunya orang yang gue suka... dan gue cinta.”

“Gue cuma bilang suka, bukan cinta.” Pramudya seolah mengoreksi pernyataannya.

Itu... jelas berbeda. Suka dan cinta itu bukan hal yang sama.

Jadi, kalau padanya Dya hanya suka, siapa orang yang dicintainya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status