Share

Yang Terdalam

Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.

Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.

Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?

“Kakak Sayna!”

Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambut cokelat ada di sekitar sini—di kamarnya. Lalu mengembuskan napas keras karena merasa beruntung gadis itu ada bersamanya sekarang, saat pikirannya melayang-layang.

“Ayo, makan dulu.”

“Kenapa nasi? Kakak mau seblak.” Sayna mengeluh. Aroma nasi padang dengan rempah menyengat tercium di hidung, baunya agak sulit dihilangkan untuk beberapa waktu.

“Nanti habis makan nasi aku jajanin seblak. Hayu atuh, makan nasi dulu.”

Inara tersenyum, gadis muda itu sepupu kandung Sayna dari pihak ibu. Dia sedang mengenyam pendidikan sebagai calon pramugari dan sengaja mengunjungi Sayna untuk berlibur. Usia mereka hanya selisih 1 tahun, Inara di bawahnya. Bisa dibilang, gadis itu adalah teman kecil Sayna.

“Kak,” panggil Inara sambil menyuap nasinya sementara sebelah tangan memegang ponsel. “Ibu suruh aku tanya, kenapa nggak mau pulang ke Jakarta? Padahal jarang-jarang juga, terus... aku pikir Kakak mungkin lagi ada masalah.”

Mereka berdua berhenti makan dan saling bertatap.

“Ternyata benar,” ujarnya kemudian, menyambung obrolan.

Sayna berdeham pelan. Dia tahu kalau dirinya pulang, ibunda akan dengan mudah membaca itu semua, dan dia tidak siap. Mungkin di kampus seperti tidak terjadi apa-apa, tapi beban moril yang menggantung di kepala tidak berkurang sedikit juga. Sayna menarik diri, dan semua hal jadi berbeda setelahnya.

“Cerita atuh, nggak bisa bantu juga minimal Kakak lega. Kelihatannya beban banget itu.”

Sayna menoleh ke cermin dan memeriksa kantung mata, mengerikan sekali wajahnya saat ini. Inara dan Sayna memang jarang berjumpa, mereka tidak tinggal di kota yang sama, pun keduanya jarang berkomunikasi via pesan atau apa, hanya saling memantau di sosial media. Tapi jika bertemu, bisa dibilang Sayna selalu memuntahkan segalanya pada gadis itu. Tempat sampahnya. Mereka bisa bicara semalaman, membahas apa saja.

Dan Sayna tidak perlu khawatir, Inara tidak pernah membocorkannya pada siapa-siapa. Gadis itu bisa dipercaya. Mereka dekat sebagai sahabat.

“Buat yang satu ini kayaknya enggak dulu.” Sayna tidak tahu bagaimana memulai obrolan dengan topik mengerikan itu. “Kakak belum siap, De.”

Dede, adalah panggilan kesayangan untuk gadis Sunda dengan wajah seperti boneka itu.

“Ini ada hubungannya sama si Aa kasep, nggak?”

“Kalau ada?”

“Putus aja udah, biar si Aa buat aku.” Inara menyengir lebar, dia tahu kalau Danish adalah pacar Sayna—dari sosial media tentunya, dan terang-terangan mengaku akan jadi pelakor saat hubungan Danish dan Sayna kendor.

“Ambil aja kalau dia mau.” Sayna menantangnya, melipat tangan di dada.

“Dia pasti mau.” Inara mengangguk-anggukkan kepala, percaya diri luar biasa. “Aku punya lima slot, nah nomor dua kosong nih, tiga, empat, lima udah ada.”

“Kenapa yang nomor dua kosong? Ke mana dia?”

“Baru aja meninggal, Kak. Sedih banget kalau ingat.”

Sayna tersedak, kebetulan mereka memang sedang makan dan Inara yang tahu penyebab sepupunya nyaris mati terbatuk-batuk ketika menelan nasi, hanya terkikik kegelian. Dasar gadis tidak punya perasaan.

“De, kamu harusnya masih sibuk tahlilan!” Sayna mengerang.

“Nggak perlu, Kak. Dia Hindu.” Gadis itu terkekeh ringan. “Tiga harian setelah kabar meninggalnya aku dengar sih, galau banget, Kak. Aku nangis terus siang malam, tapi sekarang udah mendingan. Aku siap kalau si Aa kasep mau menggantikan.”

“Kenapa meninggalnya?” tanya Sayna tak terpengaruh candaan gadis itu.

“Bunuh diri.”

“Hah?”

“Katanya sih gitu.”

“Udah berapa lama?”

“Kayaknya... seminggu.”

Seminggu dan dia sudah siap cari yang baru.

Sayna bergerak sambil mengelus rambut cokelat Inara yang selalu terlihat indah sejak mereka kecil dulu. Dia bisa melihat kesedihan di mata gadis itu, hanya saja Inara memang bukan orang biasa. Dia pintar membunuh perasaannya.

“Danish pasti mau kalau pelakornya kayak kamu,” bisik Sayna pelan. Aura di udara kembali sendu kala mengenang Danish di dalamnya. Dia masih belum bisa bertatap muka dengan pemuda itu.

“Iya, udah makanya siniin kalau udah nggak mau.”

Sayna tersenyum, menjauhkan tubuh usai mengacak rambut sepupunya. Inara terlahir lebih cantik dari Sayna, semua orang mengakuinya. Jika Sayna didefinisikan seperti boneka atau barbie hidup, maka Inara lebih dari itu.

Kalau Danish bilang wajah Sayna agak bule, maka Inara lebih bule lagi. Sayna mungkin putih, tapi Inara jauh lebih putih, hidungnya bangir sementara hidung Inara lebih bangir lagi, Sayna punya kornea yang cokelat, milik Inara lebih cokelat lagi. Dia seperti Sayna dalam versi yang lebih ter-upgrade.

Bukan hal aneh ketika pemuda yang mendekati Sayna berbelok pada Inara begitu mereka mengenalnya. Entah kalau Danish, semoga saja tidak.

“Kakak agak tertekan sama tugas-tugas kuliah.” Sayna buka suara setelah diam-diam memperhatikan wajah sepupunya yang paripurna. “Beberapa hal cenderung kasih pilihan yang menyulitkan.”

“Manajemen coping udah nggak work lagi?”

Gadis itu terkekeh. Inara hafal sekali, di awal-awal kuliah dulu, Sayna sering bilang jika tingkat stres mahasiswa kedokteran telah diatasi dengan metode manajemen coping.

“Ini di luar manajemen coping.” Keduanya selesai makan, Inara memilih menyingkirkan bungkusan nasi Padang yang belum dihabiskan. “Apa pendapat kamu, De, soal mahasiswi yang jual diri ke dosen demi nilai dan kelulusan?”

Alis gadis itu berkerut. “Nope,” jawabnya sambil menaikkan bahu.

“Gimana image mahasiswi itu di mata kamu?”

“Selama dia baik sama aku, nggak ada hubungannya dia mau ngapain sama dosen demi nilai-nilainya itu.”

Inara adalah si jago pura-pura tidak tahu.

“Kamu nggak kaget Kakak nanya gini?”

Dia menggeleng. “Kakak kan cantik, wajar aja misal ada dosen yang nawarin gitu.” Gadis itu mengatakannya sambil tersenyum. “Tapi pilih-pilih, ya. Sama yang muda dan ganteng atuh. Hahaha.”

Sayna ikut tertawa mendengar suara tawa sepupunya. Dia belum tahu saja seperti apa penampakan para Professor di kelas Sayna.

“Kak,” panggil Sayna sambil menatapnya. “Nggak ada yang boleh menghakimi apa pun yang Kakak lakukan, atau yang orang lain lakukan ketika kita nggak pernah ada di posisi itu. Semua orang benar untuk alasan mereka masing-masing. Tapi nggak semua orang bisa membenarkannya. Benar atau salah, itu cuma sekadar persepsi.”

“Tapi nggak pernah ada alasan masuk akal kenapa harus melakukan hal-hal murahan hanya demi sebuah nilai, De.”

“Bahkan orang menjual diri hanya karena mereka kesepian, bukan cuma butuh uang untuk makan.” Inara mungkin harusnya jadi mahasiswa jurusan psikologi, bukannya bercita-cita jadi pramugari. “Dan nilai Kakak itu berharga, kuliah adalah sebagian besar hidup Kakak. Ada usaha dan doa mati-matian di sana. Jangan disepelekan, jangan bilang hanya demi sebuah nilai. Jangan mengecilkan hal yang sebenarnya besar dan mati-matian kita perjuangkan. Kakak di sini, merantau sendiri, jauh dari orangtua, karena itu salah satu alasannya.”

Sayna menangis, tanpa dia ketahui apa penyebabnya. Dia merasa bersalah meski Inara terdengar membela. Sayna tetap merasa kotor dan keji pada semuanya, walau tidak ada yang menaikkan telunjuk untuk menudingnya.

Pasalnya, semakin dia dimengerti, semakin besar rasa bersalah itu melahap dirinya sendiri.

“Itu salah, De, jangan kasih kakak pandangan untuk cari pembenaran.”

“Aku juga nggak bilang itu benar.” Inara dengan cepat menyangkal. “Aku cuma mau Kakak nggak bergulung di situ aja, Kakak pasti punya alasan, Kakak tahu itu sebuah kesalahan. So what, kan? Aku nggak perlu repot mengingatkan Kakak, aku ke sini buat kasih dukungan, biar Kakak semangat lagi, bangkit lagi. Setiap orang punya sisi gelap mereka masing-masing, but you’re more than you think. Semangat, Kak. Nggak apa-apa sesekali kita keliru dan salah ambil keputusan.”

Sayna tersedu-sedu sambil memeluk sepupunya yang notabene berusia satu tahun lebih muda. Dia ingin sekali diyakinkan bahwa orang seperti dirinya masih berhak mendapat kesempatan.

Dan Inara, tanpa tahu dengan jelas apa yang menimpa Sayna sudah mengatakan lebih dari yang ingin dia dengar. Sayna butuh diyakinkan, dia ingin kembali pada hidupnya yang semula tapi masih sering merasa tidak pantas ada di sana. Sayna sudah berbeda karena telah melakukan hal kotor dengan Giovanni, dan itu membuatnya sangat terbebani. Dia masih merasa belum siap untuk kembali, terutama pada hubungannya dengan Danish.

“Uh, kakak nggak bisa...” Gadis itu menggugu dalam tangisnya. “Nggak punya muka lagi...” Tapi Sayna masih sangat menyayanginya. “Kalau dia tahu, dia pasti benci sama kakak.”

Takut kehilangan itu lumrah terjadi. Sayna tahu bagaimana rasanya. Namun takut memiliki karena merasa dirinya tidak pantas lagi, mengerikan sekali.

Dia takut memiliki Danish lebih lama daripada ini.

“Kak,” Inara mengusap punggungnya. “Setahu aku, saat pasangan kita membuat kesalahan, yang kita benci dari dia bukan orangnya, tapi kesalahannya. Kakak jangan menutup diri, kalau Kakak merasa bersalah, tebus kesalahannya, bukan begini, apalagi pergi.”

Tangisnya pecah semakin keras. Harusnya Sayna tidak bertemu sepupunya hari ini, atau minimal dia harusnya tidak cerita apa-apa pada gadis itu. Sayna merasa lega, sekaligus tidak pantas karena Inara tampak memihaknya, walaupun itu memang yang dia inginkan.

Sayna menutup diri, menganggap seluruh dunia maupun orang yang mengenalnya tengah memalingkan muka, memandangnya hina. Kenapa Inara tidak? Dia bahagia, tapi juga tidak suka.

“Duh, air matanya banyak pisan.” Inara terkekeh sambil mengusap wajah Sayna yang basah. “Mukanya jadi jelek gini kayak bebek, Kak. Untung air matanya bening, nggak ada lunturan eyeliner atau maskara.”

Inara sedang berusaha menghiburnya.

“Kakak tahu kenapa air mata warnanya bening?”

“Ke..napa?” Sayna balik bertanya.

“Kalau warna hijau namanya air matcha. Hehe.”

“Nggak lucu.”

Namun mengatakan hal itu, Sayna mengukir senyum sembari mencubit hidung adik sepupunya yang kelewat mancung. Dia merasa agak lega, meski merasa berdosa setelahnya. Sayna seorang pendosa tidak boleh merasakan kelegaan seperti itu. Dia harus menebus kesalahannya.

“Eh, kata Teh Ayu ada tamu di lobi. Tunggu ya, aku tadi pesen seblak delivery.”

Sayna mengangguk dan membiarkan Inara turun ke lobi. Bercerita pada orang yang tepat memang solusi yang dibutuhkannya saat ini. Meski Inara mungkin tidak membantu dan tidak mengubah sesuatu.

Sementara itu Inara berlarian menuruni anak tangga di gedung kos mewah milik sang sepupu. Heran sekali kenapa kurir pengantar seblak tidak menghubunginya dulu dan malah melapor pada resepsionis sebagai tamu. Dan begitu sampai, yang ditemuinya bukan kurir seblak atau semacam itu. Justru orang asing, orang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.

“Sayna ada?” tanyanya tanpa basa-basi. Kontan saja gadis itu mengangguk. “Dia sehat, kan? Saya ke sini karena dia nggak respons telepon dan pesan, udah hampir dua mingguan.”

Mengingat cerita kakak sepupunya tadi, Inara tahu kenapa Sayna melakukan itu.

“Sehat kok, A. Mau ketemu langsung?”

“Kalau boleh.” Orang itu berdiri sigap dari tempatnya duduk, buru-buru meraih ransel dan ponsel yang tergeletak di kursinya. “Oh, saya Danish. Kamu siapa?”

“Inara.” Gadis itu mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Pacarnya Kak Sayna ya, A?”

Danish mengulum senyum. “Iya. Salam kenal ya, Inara.”

“Aku sepupunya Kakak,” ucap gadis itu percaya diri. “Aa kalau nanti putus sama si Kakak, jadi pacar aku aja, ya? Aku udah bilang tadi, kata Kakak sok aja ambil kalau dia mau. Aa mau nggak sama aku?”

Hampir dua minggu bermuram durja karena kepikiran Sayna, baru hari ini Danish bisa tertawa lepas. Inara terlihat polos, ramah tapi nakal dan lucu.

“Serius kamu sepupunya?” tanya Danish tak langsung percaya saat mereka meniti anak tangga.

“Serius. Aku sama Kakak tuh cuma beda setahunan, ibunya Kak Sayna sama papaku kakak beradik kandung. Kami kurang mirip, ya?”

Danish terkekeh, bukan kurang mirip lagi, mereka hampir tidak ada mirip-miripnya. Inara mungkin jauh lebih cantik, tapi Sayna tetap membuat Danish jatuh cinta. Jadi dia tidak tergoda.

Berhubung kamar Sayna letaknya di lantai dua, tidak perlu waktu lama untuk berjalan sampai ke sana. Danish sebenarnya bisa langsung masuk, tapi dia takut Sayna tidak mau diganggu atau sedang tidak di tempat. Dia tidak mungkin masuk ke kamar tanpa izin pemiliknya.

“De—”

“Aku bawa yang lebih hot daripada seblak.”

Sayna mematung, saat suara pintu berbarengan dengan suara sepupunya menyahut. Gadis itu bersama seseorang, orang yang setengah mati dirindukannya, orang yang juga sedang dihindarinya.

“Gue janji nggak akan nanya apa-apa.” Danish memulai, melewati sapaan yang seharusnya, mengendap-endap berjalan ke arah Sayna.

“Nish...”

“Kangen, Sayna...”

Tanpa aba-aba—melupakan Inara yang juga ada di sana, tanpa melepas ransel atau sepatunya, Danish bergegas mendekati Sayna, kemudian langsung memeluknya. Dia lupa pada semua, pada hal-hal yang seharusnya, pada logikanya.

Danish hanya rindu, dan begini cara dia menunjukkannya.

Danish hanya ingin memeluk Sayna, dan tidak membiarkan gadis itu lepas atau pergi dari pandangannya lagi. Tidak. Hampir dua minggu dia merasakan itu sendiri.

“Uhm... aku pamit dulu.”

“Jangan jauh-jauh.”

Walau tubuh gadis itu gemetar hebat dalam dekapannya, tapi dia masih sempat mewanti-wanti sang sepupu. Danish tersenyum, menambah erat pelukannya pada Sayna, sekaligus memberi izin pada Inara untuk keluar dari sana.

“De, jangan malam-malam pulangnya...”

“Iya.”

“Jangan—”

“Saya nggak nginap, Inara. Kamu jangan jauh-jauh dari sini, ya. Kami cuma butuh waktu berdua sebentar.”

Inara menyengir senang sebelum menutup pintu kamar Sayna. “Kalem we atuh kalian. Aa kasep kalau putus sama Kakak ada aku, ya. Tenang aja.”

Gadis itu mengedip genit sebelum benar-benar hilang dari pandangan. Dan meski sedang tersedu sedan, baik Danish maupun Sayna tertawa mendengar Inara bicara begitu barusan.

“Kalian beneran sepupuan?” tanya Danish memecah kebisuan, Sayna hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara selain sisa-sisa isakan. “Bisa beda banget.”

“Dia lebih cantik, kan?”

Danish terkekeh. “Iya,” jawabnya. “Tapi gue tetep paling suka sama Sayna Lalisa, bukan Inara, Anya, Dya atau yang lainnya.”

Sayna menyuruk di dadanya, ada hangat dan lembab sekaligus di sana, air mata gadis itu merembes di pakaian yang Danish kenakan.

“Inara itu someah, kalau kata orang Sunda. Banyak yang suka. Anaknya cantik pula.”

Danish setuju. “Pantes selama dua tahun pacaran nggak pernah dikenalin, lo takut gue kecantol sama Inara, ya?”

Mata Sayna bengkak, hidungnya merah, wajahnya basah, dia bertatap dengan Danish yang tengah melebarkan bibir dengan penuh pesona, seperti biasa. Dadanya berdebar, dan selalu suka debaran itu kendati mereka bukan lagi pasangan baru. Sayna merindukannya, sebanyak yang tidak bisa diungkapkannya.

“Nish, maaf...”

Siapa yang tidak luluh, ditatap seperti itu oleh orang yang paling dicintainya sejagat raya?

“Gue maafin,” balas Danish kemudian.

Demi apa pun, dia tidak ingin tahu. Seperti apa kesalahan Sayna, Danish akan memaafkannya, walau hal itu fatal sekalipun. Sebab hidup tanpa Sayna mengisi hari-harinya jauh lebih mengerikan, Danish tidak mau lagi merasakan hal itu.

“You desserve better, Nish.”

“Better than you?”

Sayna mengangguk, tapi tangannya terus mengerat hingga tubuh mereka makin merapat, erat. Kontradiksi dengan ucapannya itu.

“Lo punya banyak alasan buat pergi, selesai sama hubungan ini.”

Sayna benar, mereka pun tahu itu. Entah sejak kapan semua terasa rapuh. Terutama setelah gadis itu menghilang dan tidak mau dihubungi atau ditemui akhir-akhir ini.

“Tapi gue selalu punya satu alasan buat bertahan.” Danish menangkup wajah gadis itu, melayangkan kecupan sekilas di bibirnya yang bengkak dan bergetar. “Gue cinta sama lo, Sayna. Dan siapa pun yang datang, even dia ratusan kali lebih baik daripada lo, gue nggak peduli, gue nggak mau. Kalau bukan Sayna orangnya, gue nggak akan terima.”

Apa Danish akan tetap seperti ini, kalau tahu yang sebenarnya?

Kenapa Sayna ragu?

Mungkin cinta Danish memang sebesar itu, tapi logikanya juga pasti bekerja.

“Nish, gue mau ngomong sesuatu.”

To be Continued.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status