Share

Jeda

Merasa sudah dewasa, Danish jarang sekali berbagi hal-hal dengan ibunya. Namun untuk kasus seperti kecelakaan ini, dia tidak bisa. Lukanya menganga, tetap dipertanyakan andaipun dia rahasiakan. Dan itu sebuah petaka lain, sebab Melia membuat kehebohan yang berlebihan, mulai dari Danish harus izin ke kampus dan tidak masuk kelas sampai dia pulih, hingga mengabari teman-temannya yang jauh di luar kota.

Butuh waktu yang pas bagi Aryan untuk menghubunginya, tapi Angga yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta menelepon Danish lebih cepat dari yang ia duga. Angga, selain menanyakan bagaimana kabar dan separah apa luka yang Danish terima, juga menggosip perihal pacar terbaru Melia.

“Sayang banget, gue kira Tante Mel bakal jadi ibu sambung gue dan kita jadi sodara, Nish.” Angga terdengar sedih. “Papa jadi duda udah lama, nggak kawin-kawin, gue kira nunggu Tante Mel, tapi kan nyokap lo nggak bakal nikah dulu sampai anak-anaknya mandiri. Berarti Tante lagi nungguin lo kelar kuliah, Nish.”

Uh, kepalanya sakit dan obrolan berat dengan Angga siang bolong begini membuat Danish semakin pusing. Kenapa sih harus menikah lagi? Ibunya terlihat bahagia sendirian, punya suami berarti ada yang harus diurusi, ada komitmen yang dibangun, ada tanggung jawab baru. Kenapa Melia ingin hidup repot lagi seperti itu?

“Dibanding cowoknya itu, mending bokap gue ke mana-mana kan, Nish?”

“Iya sih.” Minimal, Danish sudah kenal dengan papanya Angga sejak kecil. Mereka juga bersahabat sudah lama, pasti lebih mudah bersaudara dengan Angga dibanding anak dari Tiodore yang masih asing. “Tapi gue tetap nggak mau Mama nikah sama bokap lo. Dia masih suka abuse nggak, sih?”

“Elah, lo sama bokap gue lebih jagoan lo kali. Kalo dia mukul Tante Mel, lo cekek aja sampe mati. Hehe.”

Angga sepertinya sudah tidak waras, pasti dia yang sebenarnya diam-diam memiliki keinginan terpendam untuk membunuh ayah kandungnya sendiri.

“Eh, udahan ya, gue ada kelas. Jangan mati dulu, luka dikit di kepala nggak apa-apa, itu proses pendewasaan namanya. Hahaha. Sampai ketemu pas liburan, ya!”

Sambungan telepon itu terputus, dan Danish sendirian lagi, tidak apa siapa-siapa di rumah selain Ceu Yati yang sibuk mengurusi Bolu—Chincillanya yang lucu. Melia ke kantor, Dinara baru saja pulang setelah menjemput Irya dari sekolah bayi, tidak ada yang bisa menemani Danish saat ini.

Tanpa Sayna, hidupnya hampa sekali. Apa kabar gadis itu? bagaimana perasaannya setelah ditinggal pergi? Sayna yang Danish kenal biasanya berbalik marah dan memusuhi, apa kali ini dia tetap begitu? Atau Sayna menunggunya seperti yang Danish mau?

Danish merindukanya, tapi masih sulit untuk kembali bersama, dia butuh waktu. Minimal sampai dia lupa pada bayang-bayang kesalahan gadis itu. Dia bersumpah sudah memaafkannya, tapi untuk lupa, berapa lama Danish butuh jeda dengan Sayna?

Setelah semuanya, perjuangan mereka, pengorbanan Sayna, perbuatan keduanya, Danish tahu dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak akan ke mana-mana. Meski dia ingin, itu tetap tidak akan dia lakukan. Dia harus bertanggung jawab pada Sayna, orangtuanya, masa depannya. Danish sudah merenggut hal yang paling berharga dari Sayna—mahkotanya.

“Nish,” kata Arya segera saat Danish menerima panggilan telepon darurat itu dari iparnya. “Kamu di mana? Kamu tahu kalau Dya ke Jakarta?”

Mendadak, Danish terkesiap. Dia mengabaikan pesan yang dikirimkan gadis itu dua jam lalu, karena Danish sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.

“Kenapa, Mas?” tanyanya.

“Dya nunggu kamu di Senci, kamu nggak tahu apa gimana? Lupa?”

Danish memijit pelipisnya. “Aku ke sana.”

****

“Kok bisa-bisanya? Kalian berantem apa gimana? Mas ke sini jam 11 dan ini jam 1 siang tapi Danish belum datang juga. Kenapa kamu nggak pulang aja?”

Pramudya menundukkan kepala mendengar kakaknya yang nomor dua tengah mengomel dan terlihat kesal. Dya bertemu Arya di kawasan ini kurang lebih dua jam lalu ketika pria itu menuju tempat meeting dengan klien bisnisnya. Dan saat Arya selesai, gadis itu masih di sana, dia datang sendirian ke Jakarta, tidak mampir ke rumah, dia akan bertemu Danish—katanya.

“Mas, maaf.” Danish muncul tergopoh-gopoh, lupa mandi bahkan berganti pakaian. Dia hanya mengenakan sweater dan menutup kepalanya dengan hoodie berwarna merah tua. “Aku tadi ketiduran habis baca chat dari Dya.”

“Danish masih harus pemulihan.” Pramudya menambah alasan.

Arya menarik napas, rahangnya yang tadi mengeras mulai dilemaskan. “Mas pulang dulu kalau gitu. Baik-baik kalian berdua.”

“Iya, Mas.” Dua anak muda itu menjawab patuh.

Biasanya Arya tidak gampang kesal, Arya selalu sabar pada banyak hal, tapi dia bisa berbeda kalau itu menyangkut adik-adiknya. Bahkan status Danish sebagai ipar satu-satunya, yang biasanya istimewa, tidak diindahkan. Arya tetap marah, jika salah satu dari si kembar diperlakukan tidak benar.

“Lo kenapa, sih?” tanya Danish jengkel. Pramudya gila kalau dia pikir Danish bersedia diajak main sementara kuliahnya saja harus libur. “Gue udah bilang, jangan ganggu gue dulu!”

Dya jelas tahu kalau Danish dan Sayna sedang bermasalah, mereka dalam masa jeda. Danish tidak mau ada Dya di sana, tidak mau memberi celah atau apa. Danish harus move off , dari seseorang yang mencoba mendekat, dari hubungan yang ingin mengikat.

“Sori.” Gadis itu menjawab pelan. Kepalanya tertunduk. Dia datang ke Jakarta bukan untuk Danish, hanya... ingin saja. Sayang sekali Dya harus bertemu Arya dan terpaksa membeberkan alasan.

“Lo tahu gue pusing, Dya! Kepala gue aja belum sembuh, dan yang kayak ginian nambah-nambahin masalah aja. Lo lihat gimana keselnya muka Mas Arya. Gara-gara lo kan?!”

Bukankah mereka teman? Dya butuh seseorang saat ini, dan hanya Danish satu-satunya yang tahu soal itu. Dua hari dikurung dalam lemari, tanpa makan dan minum, pengap, gelap, Dya langsung terbang ke Jakarta begitu dia bebas dari sana. Dia sengaja duduk di tempat ramai, Dya rindu riuhnya suara orang berlalu lalang.

“Gue pergi dulu,” ucapnya dengan pikiran dan perasaan tak keruan.

“Ke mana lo? Balik sana ke Surabaya! Kalau lo masih keliaran di Jakarta, lo tahu siapa yang jadi jaminan keberadaan dan keselamatan lo?” Danish menjeda, telunjuknya mengarah ke wajah. “Gue, Pramudya.”

“Gue mau ketemu sama Mas Hamam.”

Itu ide buruk. Dya memang jago membuat keadaan semakin terpuruk. “Jangan macam-macam sama Hamam.” Danish mengatakannya dengan nada mengancam. “Lo nggak pantas buat Hamam, Dya. Dia orang baik, dia pantes dapat cewek baik-baik.”

“Gue cuma mau berteman.” Suara Pramudya terdengar putus asa. “Gue nggak ada maksud apa-apa.”

“Hamam suka sama lo!”

“Terus itu salah gue?”

Danish tidak habis pikir dengan pemikiran orang seperti ini. Memang bukan salahnya, itu murni urusan Hamam dengan dirinya sendiri, tapi Pramudya pasti tahu bahwa dia tidak bisa memberi Hamam apa-apa, bahkan sekadar harapan. Harusnya dia bisa pergi, menjauh saja, jangan buat Hamam pada akhirnya menderita.

“Harusnya gue nggak pernah kasih lo kesempatan buat jadi teman. Lo makin seenaknya, ngelunjak!”

“Nish—”

“Balik ke rumah lo, Dya!”

“Oke.” Gadis itu mengalah, dia menyerah. Hidup memang tidak adil, tidak pernah adil untuknya. “Gue pergi.”

Seumur mengenal Pramudya, Danish tidak pernah di posisi seperti ini. Melihat gadis itu berbalik pergi, meninggalkannya sendiri. Dya biasanya bertahan sekuat batu karang, menunggu tak patah arang. Hari ini dia terlihat berbeda, entah kenapa.

Danish meraih gelas minum di hadapannya—milik gadis itu, menenggaknya hingga tandas. Semuanya kacau sekali akhir-akhir ini, Dya tidak terlihat baik-baik saja, tapi Danish bisa apa? Dirinya sendiri pun kerepotan. Hatinya berantakan, perasaannya berserakan.

“Sori, Dya.” Danish bergumam pelan, menyimpan wajahnya di atas meja, menarik napas dalam dan membuangnya keras-keras.

Dia rindu pada Sayna, semakin hari rasanya Danish makin tersiksa, padahal dia sendiri yang meminta jeda. Padahal Danish yang memutuskan pergi dulu dari Sayna, menjauh darinya, tapi kenapa dia yang tersiksa? Apa sudahi saja?

Buat apa ada jeda kalau dia menderita? Kalau perasaannya pada Sayna tetap sama? Danish mencintainya, sangat, masih.

Lalu apa yang terjadi di pertemuan mereka nanti setelah cedera begini hebatnya? Bagaimana Danish bisa melupakan bagian Sayna bermain gila dengan orang lain di belakangnya?

Katanya, waktu menyembuhkan luka, padahal tidak pernah terjadi apa-apa jika tidak ada usaha. Waktu tidak menyembuhkan apa-apa, bahkan waktu berjalan terlalu lambat untuk membuat Danish melupakan semuanya hingga dia sekarat.

Sudah satu minggu, dan Sayna jadi orang yang paling Danish hindari sekaligus paling ingin dia rengkuh dalam pelukannya saat ini.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status