Share

Jeda 2

Hari apa sekarang? Tepatnya... sudah berapa lama? Sayna masih menunggu. Dia bersabar meski tidak pernah mendapat kabar. Apa Danish baik-baik saja? Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan kembali? Sayna takut, perutnya semakin besar.

Danish memintanya untuk menunggu. Dia butuh waktu, tentu, Sayna mengerti itu. Tapi keadaan sekarang sudah tidak sama, ada yang harus Sayna beri tahu. Perutnya mungkin masih rata, tapi ada segumpal daging yang bertumbuh di dalam sana. Usianya menginjak bulan ketiga, 12 minggu 6 hari. Berarti sudah dua bulan Danish dan Sayna tidak berjumpa.

Sayna merindukannya, sebanyak dia harus menahannya, sesakit yang harus ditahannya.

“Sabar, ya...” Gadis itu mengelus permukaan perut. Katanya gerakan mulai terasa di atas usia 12 minggu, berarti tak akan lama lagi Sayna bisa merasakan sensasi kupu-kupu di sekitar sini.

Malam-malam begini, dia harus terjaga karena tiba-tiba menginginkan buah semangka. Di mana Sayna harus mencarinya? Apa ada toko buah yang masih buka? Gadis itu menangis, dia merindukan Danish.

Sayna penasaran, seperti apa reaksi pemuda itu saat mengetahui kebenarannya. Apa dia akan bahagia? Atau panik dan menyuruhnya melakukan hal-hal lain? Sayna tidak bisa memprediksi. Danish bisa jadi orang yang sabar tapi di satu sisi bisa sangat dingin saat dia marah, dia pernah mendiamkan Sayna berbulan-bulan, saat mereka masih SMA.

Apa kali ini juga akan sama? Lalu bagaimana nasib janin di perut Sayna?

“Sayna, ini tanggal berapa?”

“Tanggal 6, kenapa?”

“Ulang tahun lo, bukan?”

Sayna memutar mata. “Ulang tahun gue tanggal 27, Nish.”

“Oh, sama kayak Ibu kalau gitu.”

“Hah? Ibu siapa deh?”

“Ibu dari anak-anak gue. Hehe.”

Sekarang perkataan itu jadi kenyataan. Mengenang hal itu dalam kepala membuat Sayna ingin menjerit tertahan. Dia ketakutan. Takut pada kenyataan yang menunggunya di depan sana, takut pada reaksi Danish sebenarnya, yang pasti tidak akan semanis angan-angan. Sayna tidak sanggup membayangkan.

Yang sempat terlintas di kepalanya hanya... bagaimana wajah pemuda itu nanti akan membayang pada diri seseorang. Matanya yang polos, hidungnya yang mancung dan berkerut saat dia bahagia, senyumnya yang manis sekali, tapi di sisi lain mematikan. Menyenangkan sekali akan ada satu orang lagi yang menyerupainya di dunia ini.

Namun, apakah orang itu benar-benar akan hadir? Apakah dia bahkan layak hidup di dunia seperti ini? Dengan keadaan seperti sekarang dan memiliki seorang ibu yang jahat seperti Sayna?

“Sayna, dibanding Gio gue memang nggak ada apa-apanya. Tapi inget ya, kalau lo ada apa-apa, gue ada.”

Ke mana pemuda itu? Yang pernah mengatakan hal itu pada Sayna? Dia sangat membutuhkannya, Sayna merindukannya.

****

“Tuhan lagi ngerencanain apa sih buat hidup gue? Prosesnya gini amat.”

Hamam melirik sinis, dia tidak tahu Danish dan pacarnya ada masalah apa, tapi pemuda itu terus-terusan mengatakan omong kosong tiap ada kesempatan. Hamam sampai bosan, setiap hari Danish hanya melakukan berbagai keluhan. Efek negatifnya menguar di tempat mereka bekerja, melihat orang patah hati seperti itu, Hamam juga terpengaruh, dia jadi malas-malasan.

“Apa sih yang bisa dia kasih ke Sayna, yang gue nggak bisa kasih?” keluhannya kembali bergaung.

Kemungkinan besar ada orang ketiga di hubungan Danish dan Sayna, Hamam memprediksinya. Dan pertanyaan itu, terdengar seperti perkataan paling putus asa. Orang seperti Danish, siapa yang bisa menolak pesonanya? Dia memang tidak sempurna, tapi Sayna keterlaluan kalau sampai berselingkuh di belakang sahabatnya itu.

“Lo mau sampai kapan sih kayak gini?” Hamam akhirnya buka suara. Lama-kelamaan dia risih juga.

“Nggak tahu.” Danish menggeleng pelan. “Gue udah nggak marah ke Sayna, tapi... gue masih belum bisa lupa.”

Memangnya Sayna melakukan apa? Tapi pertanyaan itu hanya menggantung di kepala. Hamam tidak mengungkapkannya.

“Lo sekarang maunya gimana? Waktu itu lo bilang kan kalian cuma berak.”

Break, Hamam.” Danish melirik sinis.

“Iya, itu.” Hamam tidak memperpanjang. “Jangan kelamaan lah, Nish. Cewek tuh nggak suka digantung tanpa kepastian.”

“Gue suruh dia nunggu.”

“Sampai kapan?”

Danish termenung, dia tidak bilang sampai kapan. Hanya... sampai perasaannya membaik—mungkin. Atau... sampai dia lupa pada kesalahan Sayna. Entah, Danish sendiri tidak yakin dia akan lupa atau justru mengingat itu selamanya. Dia harus dibuat amnesia untuk benar-benar merasa lega, sepertinya.

“Lo juga nggak sempurna.” Hamam tiba-tiba kembali bicara. “Lo juga pernah bikin salah sama Sayna, lo bukan orang suci, Nish. Jangan jadi orang yang membenarkan kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga.”

“Tumben ngomong lo bener, Mam.”

“Gue juga kaget sendiri.” Hamam mengelus dada, Danish tertawa.

Sudah dua bulan, atau lebih? Danish lupa menghitung, dia kelelahan menahan rindu terus-terusan, tapi menyambangi Sayna lebih dulu, Danish pun masih enggan. Namun hubungan mereka telah berjalan selama dua tahun, banyak hal terjadi, Danish tidak pernah membayangkan atau memikirkan dirinya berpisah dengan Sayna, itu tidak ada dalam rencana hidupnya.

Mengingat apa saja yang sudah mereka lakukan adalah alasan terbesar kenapa Danish mengabdikan diri dan cintanya untuk gadis itu. Kadang dia tampak seperti orang tolol, mau-maunya diperlakukan seperti itu. Tapi tidak apa-apa, kan? Sayna itu calon ratu yang akan bertahta di kerajaannya, hitung-hitung berlatih saja. Orang akan melakukan apa pun untuk seorang ratu, bukan?

“Geble, kalau gitu lo sama Sayna bukan raja sama ratu, tapi ratu sama babu, alias lo jadi budaknya, Nish. Bukan budak dalam artian kacung kayak si Hamam ini, ya, tapi budak perasaan.”

“Bener. Gue pernah denger kata pepatah, jangan terlalu sibuk mencintai orang lain sampai lo lupa mencintai diri sendiri, Nish.”

Danish pernah dapat sumbangan wejangan-wejangan itu dari dua temannya yang lain. Dulu, sudah lama sekali, dan memilih untuk mengabaikannya.

“Menurut gue, semakin lo ngikutin dia, nyanjung-nyanjung dia, meninggikan terus posisinya, menuankan dia juga, berjuang membabi buta, semakin sedikit lo dihargai, Nish.”

Dan itu benar-benar terjadi. Pada akhirnya, Sayna pun khilaf, gadis itu lupa ada orang yang mencintainya, menunggunya, berjuang untuknya, dia lupa menghargai Danish seperti manusia pada umumnya. Sayna mulai menganggap Danish mudah dan menyepelekannya karena Danish begitu mudah memberi dan menghaturkan maaf serta memaklumi keadaan mereka.

Terutama karena Giovanni....

Itu sebabnya Danish tidak membiarkan Pramudya mendekatinya akhir-akhir ini, Danish takut, dia sedang sendirian, dia tidak mau gadis itu mengambil tempat di sana. Kalau begitu, apa bedanya Danish dengan Sayna, kan? Lagi pula, Dya tidak boleh jadi pelarian. Mereka akan kembali berteman saat keadaan sudah aman. Saat Danish kembali pulang ke tempat yang seharusnya. Sayna-nya.

“Lo sama Sayna bakal jalan lagi kan, Nish? Atau lo mau sendiri?” tanya Hamam, wajahnya terlihat khawatir.

Iya, Hamam khawatir, karena kalau Danish jomblo seperti dirinya, Hamam bisa mati. Danish adalah saingan terberatnya di muka bumi. Bukan hanya dalam memperebutkan Pramudya, tapi juga gadis-gadis lainnya.

“Gue bilang kan kami cuma butuh jeda, bukan putus, Hamam.” Danish sedikit menjelaskan. “Putus dari Sayna itu hal terakhir yang gue pikirkan, bahkan nggak pernah gue pikirin sama sekali sih.”

“Bagus.” Hamam manggut-manggut, dadanya terasa lega. “Tapi menurut gue, orang yang ambil jeda itu akan dapat dua kemungkinan. Jeda bisa bikin orang jadi makin keras kepala buat bertahan, atau justru lo nyaman sendirian dan jeda itu akhirnya memisahkan.”

“Lo kok jadi bener sih ngomongnya? Gue nggak suka, ah.”

Hamam terkikik, Danish takut jadi orang tolol sendirian, padahal Hamam setia padanya. “Lo yang mana, Nish?” tanyanya agar obrolan tidak teralihkan.

“Gue kangen sama dia,” ucap Danish jujur. Harinya berat karena terus-terusan dibayangi oleh Sayna serta hilangnya kepemilikan Danish atas gadis itu. Dia tidak suka. “Gue nggak mengabaikan Sayna, sama sekali. Gue cuma belum punya tenaga, daya dan upaya buat berhadapan sama dia.”

Danish juga tidak berhenti mencintai Sayna, dia hanya berhenti menunjukkannya. Mereka sedang dalam masa jeda yang entah kapan berakhirnya.

“Menurut gue ini udah terlalu lama, Nish. Udah cukup, hati manusia nggak sama tiap harinya. Jangan sampai deh dia nemu siapa di sana, yang nemenin pas lagi kesepian karena lo nggak ada.”

Hamam benar. Danish ada saja, Sayna bisa bermain gila, apalagi saat ini, dia bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Padahal saat ini mereka menjeda untuk memperbaiki segalanya.

“Sebentar lagi,” ucap Danish. “Gue—”

“Ih, keburu lumutan burung lo anjir!” Hamam emosi. Danish dalam masa galau begini tidak membiarkan Pradnya atau Pramudya main ke Jakarta—ke laundry lebih tepatnya, Hamam kan ikut sengsara. Dia rajin berbalas pesan dengan mereka tapi tidak bisa bertemu karena terhalang oleh palang bernama Danish Adiswara. “Gue pengen ketemu sama Dya dan Anya.”

Danish kontan membeliak. “Heh, mereka nggak bisa lo jadiin gebetan!”

“Gue sama mereka cuma temenan, Nish. Gue sadar diri.”

“Ntar gue bilang Dya biar ke sini akhir minggu ini.” Danish membuang napas, kasihan juga Hamam kalau terus terkena imbas akan patah hatinya.

“Makasih, Bos, hoho gue jadi semangat kerja lagi!”

Danish tersenyum simpul melihat reaksi sahabatnya itu. Dia juga lama sekali tidak melihat si kembar akhir-akhir ini, sibuk dengan diri sendiri. Sekarang Danish kebingungan, dia mau apa sebenarnya? Kepalanya tidak sejalan dengan hati. Satu sisi merasa sudah tidak apa-apa, mereka bisa memulai lagi, tapi... ada sudut hatinya yang berdenyut nyeri. Kalau sudah begini harus bagaimana lagi?

“Nish,” panggil Hamam dengan mode serius di nada bicaranya. “Kalau lo beneran cinta sama Sayna, lo pasti nggak akan ninggalin dia. Bahkan ketika lo punya ratusan alasan buat menyerah, lo tetap akan temukan satu alasan buat bertahan. Bener, kan?”

Danish selalu punya alasan untuk bertahan, dia hanya sedang mengumpulkan nyali untuk kembali. Mungkin... sebentar lagi.

To be Continued.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status